Kamis, 27 Desember 2012

Kurikulum dan Kebingungan Guru

Oleh : Farida Zakaria
           Staf pengajar di PAUD Amanda Cibiru-Bandung
           Artikel ini pernah dimuat di rubrik Forum Guru
           Harian umum Pikiran Rakyat, Senin 24 Desember 2012

Psikolog anak, Seto Mulyadi menegaskan, sebaiknya pemerintah jangan memaksakan diri melaksanakan kebijakan kurikulumbaru yang rencananya diberlakukan mulai tahun depan. Tanpa pelatihan yang benar kepada guru, yang akan terjadi adalah kebingungan di kalangan guru yang bakal berakibat buruk kepada anak (“R”, 22/12/12).
Membaca pendapat Kak Seto dalam berita di Pikiran Rakyat ini memang jika diperhatikan ada benarnya juga. Bagaimana kurikulum akan menjadi katakanlah efektif bagi peserta didik jika para gurunya masih kebingungan dengan kurikulum tersebut.
Kemudian dia, jika hanya mengurangi mata pelajaran saja, pada dasarnya hal itu perlu diapresiasi. Tetapi diharapkan dilakukan secara bertahap.
Menurut Seto Mulyadi, yang paling penting menurutnya adalah pelatihan kepada guru juga harus baik. Sebab sebaik apa pun kurikulum jika gurunya tidak baik, percuma.
Juga sebaliknya, seburuk apa pun kurikulm itu, tapi kalau ada di tangan guru yang baik dan professional akan baik juga. Dan pemerintah harus menyediakan dana khusus untuk pelatihan guru-guru di lapangan. Jika memang belum siap diaplikasikan, jangan memaksakan melaksanakannya tahun depan.
Salah satu hal penting yang bisa dipetik dari pendapat psikolog anak Seto Mulyadi di atas adalah siap tidaknya guru untuk menerapkan kurikulum baru tersebut.
Artinya, di sini ada ketidaksiapan para guru di lapangan. Karena memang kurikulum ini rencanya akan diterapkan mulai tahun depan. Dan solusina adalah dengan diadakannya pelatihan-pelatihan bagi para guru.
Jika kurikulini diterapkan misalnya tahun depan, kemudian sebagian guru-yang diprediksi berdampak kepada anak-merasa bingung, maka pemerintah rasanya terlalu egois.
Mamaksa sesuatu yang sangat penting bagi masa depan generasi mendatang, dengan cara membuat para “pahlawan tanpa tanda jasa” ini menjadi gelagapan dibuatnya.

Perhatikan anak didik
Kurikulum dibuat untuk meningkatkan mut daripada pendidikan itu sendiri. Agar kelak anak didik menjadi berkualitas dengan cara dididik melalui kurikulum yang benar-benar tepat dan sesuai.
Pemangku kebijakan diharapkan bisa membuat kurikulum yang tidak membuat bingung guru. Itu adalah harapan kita semua, khususnya para guru-guru yang memang memahami betul bagaimana keadaan anak didiknya.
Kembali kepadarasa cinta dan harapan kita semua terhadap kemajuan pendidikan Indonesia. Arif rasanya jika kita mau jujur tentang bagaimana kurikulum baru itu.
Apa memangdi dalamnya ada hal-hal yang belum siap untuk diaplikasikan. Di sinilah unsure kejujuran dan sikap arif dibutuhkan. Karena jangan sampai-meminjam pendapat Seto Mulyadi di atas-pemerintah dan pihak terkait dengan hal ini, memaksimalkan kurikulum baru tersebut, jika masih ada kekurangan dan ketidaksiapan.
Tentu saja semua pihak sangat mengapresiasi jika pemangku kebijakan bisa menyusun keurikum yang tepat dan pas diberlakukan di Indonesia. Dengan ekspektasi ke depannyapendidikan Indonesia menjadi lebih baik dan maju lagi. Wallahu’alam.

Minggu, 23 Desember 2012

Perlukah LKS Dihilangkan

Oleh : Rina Rahmawati
           Guru SMK Al-Falah, Kota Bandung
           Artikel ini pernah dimuat di koran PR
           Rubrik Forum Guru, Sabtu 15 Desember 2012

Lembar Kerja Siswa (LKS) sering kali menjadi polemik di dunia pendidikan, mulai dari harga jualnya sampai muatan materi yang tidak sesuai dengan kebutuhan kompetensi yang harus dimiliki siswa.
Sebenarnya buku LKS sangat dibutuhkan baik oleh guru maupun siswa. Buku ini sangat menunjang dalam proses pembelajaran di kelas. Selain dapat dijadikan panduan, LKS juga dapat dijadikan sumber belajar siswa, melatih kemampuan dalam bentuk soal-soal.
Adanya buku LKS sangat praktis untuk mengevaluasi hasil belajar siswa secara kognitif. Guru yang tidak menggunakan LKS biasanya memberikan latihan soal-soal dengan memperbanyak atau mengkopinya. Ada juga guru yang mengharuskan siswanya untuk menulis soal. Hal ini tentu akan memakan waktu lama sehingga akan memperlambat pembelajaran selanjutnya.
Kontroversi yang terjadi disebabkan karena pembuat buku LKS bukanlah guru yang bersangkutan sehingga banyak yang menyimpang dari muatan materi. Misalnya, dalam buku LKS jasmani yang berbau pornografi. Selanjutnya, guru ingin mencari keuntungan dengan mengandalkan penerbit. Hal ini berdampak pada harga jual yang terbilang mahal bagi orang tua siswa. Berbagai hal itulah yang menyebabkan dampak negatif pada guru sehingga dianggap “pemalas”.
Ada beberapa faktor yang membuat guru enggan membuat buku LKS, diantaranya beban guru dari segi administrasi.setiap tahun ajaran baru, guru dituntut untuk dapat menyelesaikan berbagai administrasi yang begitu kompleks, mulai dari silabus, program tahunan, program semester, bahan pengajaran, media pembelajaran, alat evaluasi, dan sebagainya. Administrasi tersebut setiap tahun harus berubah. Apalagi jika kurikulum berubah, tentu akan menjadi beban bagi guru.
Faktor lain, beban mengajar minimal 24 jam. Kegiatan tatap muka terdiri atas kegiatan penyampaian materi pelajaran, membimbing dan melatih peserta didik terkait dengan materi pelajaran, serta menilai hasil belajar yang terintegrasi dengan pembelajaran dalam kegiatan tatap muka. Tugas guru yang sedemikian banyaknya dalam satu minggu, berhadapan dengan siswa yang dilakukan berulang-ulang dengan karakter berbeda-beda di setiap kelas, akan membuat guru kelelahan secara fisik.
Dalam proses pembelajaran, guru tidak hanya sebagai fasilitator,supervisor, dan motivator, tetapi juga melakukan evaluasi terhadap siswa. Evaluasi bisa dilakukan ketika pembelajaran berlangsung dan di akhir pembelajaran. Kegiatan guru tidak hanya di dalam kelas. Tugas guru selanjutnya adalah memeriksa hasil belajar siswa berupa ulangan harian yang harus dinilai, direkap, kemudian dianalisis.
Sebaiknya Kemendikbud mempertimbangkan berbagai hal tadi. Harapannya, pertama, buku LKS tidak dihilangkan tetapi guru dituntut membuat buku LKS sendiri karena gurulah yang tahu kemampuan siswanya. Kedua, pembuatan buku LS dijadikan kewajiban oleh setiap guru untuk menambah angka kredit, tidak hanya berupa pembuatan makalah, modul, dan sebagainya. Ketiga, administrasi guru supaya lebih disederhanakan sehingga tidak menjadi beban setiap tahun ajaran baru.
Keempat, adakan pembinaan yang berkesinambungansehingga guru tidak ketinggalan informasi yang inovatif.

Selasa, 06 November 2012

Menyoal Revitalisasi Kurikulum Pendidikan

Oleh : Didin Mulyanto
          Staf Pengajar dan Tim Kurikulum MA Husnul Khotimah, Kuningan
          Artikel ini pernah dimuat di rubrik Forum Guru
          Pikiran Rakyat, Rabu 10 Oktober 2012


Akhir-akhir ini di kalangan pendidik marak berbagai diskusi terkait dengan wacana yang digulirkan pemerintah melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan untuk merevitalisasi kurikulum pendidikan sejak tingkat SD hingga SLTA sederajat. Alasan pemerintah sebagaimana yang disampaikan Ketua Badan Standarisasi Pendidikan Nasional (BSPN) salah satunya adalah karena para siswa saat ini memang cerdas secara akademis, tetapi cenderung tidak respek, tidak toleran, tidak menghormati hukum, ugal-ugalan di jalanan dan berbagai perilaku sejenisnya yang sebenarnya bertolak belakang dengan kecerdasan yang mereka miliki (Metro TV News, 7/10)
Walaupun target revitalisasi tersebut akan memakan waktu minimal enam tahun dan maksimal dua puluh tahun, tak urung wacana itu menimbulkan pro dan kontra di kalangan pendidik. Apalagi pemaknaan revitalisasi kurikulum tersebut adalah menyederhanakkan atau penggabungan beberapa mata pelajaran menjadi satu mata pelajaran saja (“PR”, 3/10). Ini akan merepotkan. Belum lagi nasib guru yang mata pelajaran akan berdampak pada penyederhanaan (baca: pengurangan) jumlah tenaga pengajar.
Telah lama disadari, ada masalah dalam sistem pendidikan kita. Jumlah mata pelajaran dengan materi yang terlalu banyak dan beragam membebani siswa. Kurangnya, penekanan pada aspek agama dan moral membuat siswa kita walaupun kritis dan cerdas, tetapi jauh dari nilai-nilai akhlak mulia, tidak memiliki empati terhadap lingkungan dan sesamanya.
Menurut penulis, revitalisasi pendidikan memang perlu dilakukan. Tentu dengan beberapa catatan. Pertama, pemerintah hendaknya mengingatkan kembali tujuan pendidikan nasional kita sebagaimana yang tertuang dalam pasal 3 UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003. revitalisasi pendidikan seharunya dimaknai sebagai penegasan untuk mencapai tujuan tersebut di mana kecerdasan siswa secara akademik disertai dengan kecerdasan emosional dan spiritual. Apalagi, sudah menjadi pengetahuan umum kalau atmosfer pendidikan kita selama ini lebih cenderung pada aspek akademik semata.
Kedua, alangkah baiknya jika revitalisasi kurikulum itu dalam bentuk pengarahan keepada siswa sejak SD hingga SLTA untuk memilih mata pelajaran sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya. Jadi, ada semacam mata pelajaran umum di mana setiap siswa wajib menguasainya dan ada mata pelajaran pilihan yang disesuaikan dengan kompetensi yang diinginkan siswa. Dengan demikian, revitalisasi kurikulum pendidikan tidak bermuara pada penyederhanaan atau penggabungan mata pelajaran, tetapi sesuai dengan makna asalnya yang berarti proses, cara dan perbuatan menghidupkan kembali berbagai mata pelajaran yang sebelumnya kurang berdaya menjadi lebih berdaya guna. Artinya sesuai dengan kebutuhan dan kompetensi siswa.
Ketiga, penekanan pada pendidikan agama, moral, serta kebangsaan di setiap jenjang pendidikan. Ini penting, karena secerdas apapun siswa kita, kalu tidak disertai dengan bekal agama, mora, serta nilai kebangsaan, akan membahayakan tidak hanya dirinya sendiri tetapi juga bangsa dan Negara. Theodore Roosevelt mengatakan:”To educate a person in mind and not in morals is to educate a manace to society” (mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman marabahaya bagi masyarakat).

Minggu, 04 November 2012

Perampingan Mata Pelajaran, Tepatkah?

Oleh : Dahrun Usman
          Guru MI Asih Putera Cimahi
          Artikel ini pernah dimuat di rubrik forum guru
          Pikiran Rakyat Rabu 3Okteber 2012


Setelah berencana menambah jam belajar di sekolah, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) bakal merampingkan jumlah mata pelajaran sekolah dasar, mulai taahun ajaran 2014-2015 menjadi empat pelajaran, yaitu agama, bahasa Indonesia, pendidikan kewarganegaraan (PKn), dan matematika.
Rencana kebijakan Kemendikbd ini sudah menuai protes dari berbagai kalangan, bahkan guru-guru SD di kota Solo menolak penghapusan pelajaran IPA dan IPS.
Kalau dilihat dari  efektivitas dan perampingan materi esensial dari setiap standar kompetensi dan kompetensi dasar agar sekolah dasar tidak padat materi, pengintegrasian beberapa mata pelajaran bisa menjadi solusi. Akan tetapi, kalau perampingan mata pelajaran dengan mengorbankan pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), akan merugikan beberapa kerangka ilmiah dasar yang seharusnya diterima anak-anak sejak SD. Pasalnya, mata pelajaran IPA dan IPS merupakan dasar penerapan pemikiran ilmiah pada siswa.
Menurut hemat penulis, pelajaran IPA dan IPS terlalu berat materinya kalau dipaksakan diintegrasikan dengan mata pelaaran matematika dan PKn. Dalam praktik di lapangan, bisajadi materi kedua pelaaran ini hanya menjadi subordinasi mata pelajaran induknya.
Penulis mengusulkan agar mata pelajaran IPA dan IPS tetap ada dan dijadikan subjek atau induk terhadap pelajaran lain dalam mengintegrasian materi bahan ajar. Hanya ,uatan standar kompetensi, kompetensi dasar, dan indikatornya yang dikurangi.
Artinya, hanya materi-materi esensial yang diajarkan sehingga tidak memberatkan anak disik. Sebagai contoh, materi pelajaran IPS bobotnya sangat berat dan luas untuk standar SD. Bahkan, menurut pengalaman penulis, banyak materi pelajaran IPS dan PKn di SD terlalu berat untuk diajarkan. Misalnya, globalisasi, sistem pemerintahan, serta peran dan fungsi lembaga-lembaga Negara.
Daripada menghapus pelajaran IPA dan IPS, Kemendikbud lebih baik memilih dan memilah beberapa materi pelajaran yang tumpang tindih dalam kurikulum. Contohnya, IPS dan PKn sama-sama membahas globalisasi, lembaga-lembaga Negara, perumusan Pancasila, dan Pemilu. Padahal materi-materi itu bisa disampaikan dalam satu pelajaran IPS atau PKn saja. bengan denikian, anak-anak tidak dua kali menghadapi materi yang sama sehingga membosankan.
Kemudian, Kemendikbud juga harus benar-benar tepat dalam membagi materi pelajaran dalam proses pengintegrasian bahan aja. Dengan demikian, tidak menimbulkan overlapping dan kejomplangan materi antarpelajaran. Di samping itu, Kemendikbud pun perlu melakukan kajian ilmiah dan telaah riil di lapangan terhadap kebutuhan kurikulum pendidikan Indonesia sekarang agar kebijakan yang diterapkan benar-benar sesuai dengan bdaya dan karakter bangsa Indonesia.
Jangan sampai, alih-alih ingin memperbaiki kualitas pendidikan dan mencerdaskan bangsa, justru malah membuat kualitas pendidikan tambah parah. Wallahu’alam bisawab.

Jumat, 02 November 2012

Kode Etik Guru, Peluang atau Ancaman?

Oleh : Marinus Waruwu
          Guru SMP Yos Sudarso, Kota Bandung
          Artikel ini pernah dimuat di rubrik Forum Guru
          Pikiran Rakyat, Senin 29 Oktober 2012


Untuk meningkatkan kualitas dan profesionalisme guru, persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) sedang menyusun kode etik bagi guru di sekolah. Menurut ketua umum PGRI Sulistiyo, kode etik itu akan diberlakukann tahun 2013.
Kode Etik Guru Indonesia (KEGI) mencakup 70 panduan sikap dan norma bagi guru dalam mendidik peserta didik. Isi kode etik itu menyangkut norma dan perilaku guru dalam relasi dengan peserta didik, orangtua, masyarakat, rekan profesinya, oraganisasi guru, dan pemerintah.
Penulis sangat mendukung berbagai upaya PGRI dalam menciptakan dan menformat para guru yang handal dan profesional dalam tugas, termasuk dengan menyiapkan kode etik bagi para guru. Namun, kelahiran kode etik ini tentu akan mengundang pro dan kontra di kalangan guru. Bahkan kode etik guru ini sudah memunculkan kegelisahan sebagian guru di sekolah. Mereka menganggap, dengan adanya kode etik maka kreativitas guru akan semakin menurun. Benarkah demikian?
Penulis mencoba merefleksikan beberapa peluang dan ancaman dengan adanya kode etik ini. Kode etik akan mendorong guru untuk bersungguh-sungguh mengutamakan profesionalisme dan kualitas dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pendidik di sekolah. Selain itu, akan mendorong independensi guru di sekolah dan di mana pun dia berada. Kode etik tentu akan menambah wawasan bagi guru tentang mana yang pantas dan tidak boleh dilakukan, mana yang bertentangan dengan aturan. Guru tahu bahwa segala tindak tanduknya di sekolah memiliki aturan main.
Kode etik guru juga dapat menghindarkan guru menjadi seorang penjilat, baik terhadap atasan maupun orangtua siswa. Dengan begitu, guru tidak akan memanfaatkan jabatannya untuk mendapatkan sesuatu dari orangtua, seperti materi, pujian, dan sebagainya.
Dengan kode etik ini pula guru akan disadarkan, menjadi seorang guru merupaka sebuah panggilan, bukan paksaan, atau karena kebutuhan ekonomi. Oleh karena itu perlu totalitas dan loyalitas dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.
Bagaimana dengan ancaman? Kreativitas guru akan terbentur dengan kode etik guru. Di satu sisi guru akan berusaha bersikap tegas dengan segala reward and punishment dalam mendidik siswa, di sisi lain, segala upaya dan daya juang guru bisa saja dibenturkan dengan norma perilaku guru seperti tertuang dalam kode etik, sehingga menyebabkan kecenderungan bahwa punishment dari seorang guru terhadap peserta didik tertentu dianggap bertentangan dengan kode etik guru. Guru menjadi serba salah!
Kode etik akan melahirkan sikap mencari-cari kesalahan guru di sekolah. Jika kode etik ini benar disosialisasikan, maka orangtua dan peserta didik akan semakin peka terhadap setiap gerak-gerik guru dalam menjalankan tugas dan pelayanannya.
Terlepas dari segala peluang dan ancaman itu diharapkan kehadiran kode etik guru akan semakin mendorong peningkatan kualitas dan profesionalisme guru Indonesia. Selain itu, para guru juga akan semakinpeka terhadap tuntutan zaman, terbuka terhadap kritik dan masukan, memiliki totalitas dan loyalitas dalam profesi sebagai guru, mencintai profesi guru serta menyadari bahwa menjadi seorang guru adalan sebuah panggilan mulia. Semoga!