Kamis, 12 April 2012

Menjangkau yang tak Terjangkau Lewat Buku

Oleh : Priyo Anggono
          Guru Bahasa Indonesia SMP Satya Dharma Sudjana Terusan Nunyai, Lampung Tengah, Lampung
           Artikel ini pernah dimuat di rubrik Forum Guru
           Koran Pikiran Rakyat, Selasa 27 Maret 2012

Jargon “Menjangkau Mereka yang tak Terjangkau” sepertinya belum sepenuhnya menjangkau mereka yang tak terjangkau. Ada satu hal yang luput dari perhatianpemerintah, yaitu menjangkau mereka yang tak terjangkau melalui buku pelajaran.
Tahun 2012 ini, kementrian pendidikan dan kebudayaan (Kemendikbud) mengampanyekan jargon barunya yang cukup menarik, yaitu “Menjangkau Mereka yang tak Terjangkau”. Melalui jargon itu, Kemendikbud berusaha lebih memperhatikan dan meningkatkan pelayanan pendidikan bagi anak-anak yang jauh dari jangkauan pendidikan, misalnya mereka yang tinggal di daerah terpencil dan daerah perbatasan.
Namun, jargon ini hanya mencakup kewilayahan sehingga jargon “tak terjangkau” bukan hanya “tak terjangkau” secara kewilayahan, tetapi juga secara sosial-ekonomi. Dengan demikian, semua lapisan masyarakat di negeri ini bisa memperoleh hak pendidikan.
Untuk melaksanakan program ini, pemerintah pun menyiapkan beberapa langkah, diantaranya kebijakan keberpihakan terhadap mereka, membangun sekolah baru atau memperbaiki yang sudah ada, dan menyediakan subsidi pendidikan. Langkah-langkah itu diharapkan mampu menghapus kesenjangan pendidikan.
Namun, jargon itu sepertinya belum sepenuhnya menjangkau mereka yang tak terjangkau. Ada satu hal yang luput dari perhatian pemerintah, yaitu menjangkau mereka yang tak terjangkau melalui buku pelajaran. Bila kita mencermati buku-buku pelajaran yang dipegang anak didik maupun guru saat ini, setidaknyaada dua permasalahan yang cukup menarik untuk dicermati. Pertama, berkaitan dengan gambar-gambar yang digunakan sebagai ilustrasi materi pelajaran. Kedua, berkaitan dengan nama-nama tokoh yang digunakan dalam materi pelajaran tertentu.
Bila diteliti, hamper semua gambar di buku pelajaran saat ini selalu menggambarkan keadaan wilayah yang “terjangkau” dengan pendidikan. Dengan kata lain, mayoritas gambar diambbildari wilayah Indonesia bagian barat. Sulit ditemui gamabar yang mengilustrasikan sebuah materi pelajaran yang diambil atau bertema wilayah yang “tak terjangkau”, misalnya wilayah-wilayah perbatasan terpencil ataudari wilayah timur Indonesia.
Permasalahan berikutnya berkaitan dengan nama-nama tokoh dalam buku pelajaran. Buku pelajaran saat ini cenderung menampilkan nama tokoh yang condong ke arah wilayah yang “terjangkau” atau yang lebih sering ditemukan di masyarakat kota di bagian barat Indonesia. Padahal, banyak sekali nama tokoh yang bisa diambil dari wilayah di negeri ini yang lebih bisa mewakili mereka yang “tak terjangkau” ataupun yang “terjangkau”.
Kedua, permasalahan ini sepertinya sepele. Namun, bila kita berpikir secara kritis dan komprehensif dengan mengedepankan sikap toleransidan jiwa nasionalisme yang tinggi, hal ini tidak patut diteruskan. Jargon itu juga harus diimplementasikan dalam bentuk buku pelajaran yang lebih nasionalis dan “menjangkau”. Gambar-gambar dan nama-nama tokoh yang digunakan sebagai ilustrasi materi di buku pelajaran harus bisa menampilkan dan mewakili kondisi dan sosok anak didik yang berada di semua wilayah di negeri ini, tak terkeculali dari wilayah mereka yang tak terjangkau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana komentar anda tentang artikel ini