Sabtu, 06 Oktober 2012

Solusi Mengatasi Tawuran Pelajar

Oleh : Satrio Wahono
          Sosiolog dan Magister Filsafat UI
          Artikel ini pernah dimuat di rubrik Podium
          Koran Tribun Jabar, Jumat 28 September 2012
-->
Wajah dunia  pendidikan kita lagi-lagi tercoreng! Betapa tidak, hanya dalam waktu dua hari saja, tragedy tawuran yang menelan korban jiwa kembali terjadi. Yang pertama adalah tawuran pada senin (25/9/2012) anatar elajar SMA 6 dan 70, yang mengakibatkan Deni Yanuar, seorang siswa SMA 6, tewas terkena bacokan senjata tajam. Sementara peristiwa tawuran kedua terjadi di Manggarai, Jakarta Selatan, antara SMK Yayasan Karya 66 dan SMA Kartika Zeni yang juga menimbulkan korban jiwa seorang pelajar padaRabu (26/9/2012).
Tak pelak deretan kasus ini laksana tamparan serius bagi para stakeholders (pemangku kepentingan) dunia pendidikan kita. Sungguh kita patut mengurut dada betapa tawuran sudah menjadi fenomena yang meluas. Artinya, ilustrasi pendidikan kita tampaknya gagal mendidik siswa-siswa mereka menjadi pribadi yang diharpkan muncul dari pendidikan. Yaitu, mengutip Anita Lie dalam Cooperative Learning (2005), siswa menjadi manusia yang mandiri sekaligus mampu hidup berdampingan dan menunjang keberlangsungan hidup sesamanya.
Dua Mata Rantai
Sejatinya, ada dua mata rantai yang bisa teramati dari peristiwa tawuran di atas. Pertama, kondisi tawuran sebagai institusi atau pranata. Maksudnya, sebagai suatu nilai yang sudah demikian melembaga serta dihayati betul oleh para anggota suatu kelompok.
Dalam kerangka antropologi, tawuran adalah semacam perekat identitas khaas kelompok dan berperan sebagai ritus akilbalig atau inisiasi (rites of passage) bagi para anggota baru kelompok. Dalam masyarakat tradisional, ritus ini bisa berupa tudas perburuan hewan. Namun, dalam konteks sekolah yang memiliki budaya tawuran, ritusnya adalah tawuran itu sendiri.
Jadi, seorang pelajar-baru tidak akan dianggap sah menjadi bagian dari kelompok pelajar yang lebih besar jika dia tidakmelewati ritus akilbalik berupa tawuran. Sekaligus, ritus tawuran akan menegaskan identitas kelelakian seorang pelajar., sebuah prestasi yang kemudian bisa dibangga-banggakan kepada khalayak lebih luas. “Filosofi” ritus tawuran jadinya adalah upaya menunjukkan kekuatan fisik khas laki-laki yang militant atas orang lain. Akibatnya, terciptalah budaya militerisme.
Tanpa melakoni ritus tawuran, seorang pelajar akan diberikan stigma sebagai “warga kelas dua” atau warga belum dewasa yang tidak memiliki martabat dan hak penuh sebagaimana mereka yang sudah melewati tawuran. Stigma inferior itu juga tercermin dalam istilah-isilah ejekan yang dilekatkan kepada siswa anti-tawuran.
Kedua, aspek hilangnya keteladanan dan anutan (role model) bagi pelajar untuk mencontoh perilaku positif. Cakupan anutan yang biasanya berusia lebih tua itu-mulai dari orangtua, guru, kepala sekolah, hingga para penguasa kita. Inilah buah dari praktik-praktik tak patut pata “orang tua” kita yang menghiasi media dan layar kaca setiap hari. Yakni, praktik seperti korupsi, konflik antar kelompok, kebohongan public, dan lain-lain.
Solusi Konkret
Beranjak dari dua hal di atas, sebetulnya kita bisa merumuskan sejumlah solusi konkret demi memutus mata rantai tawuran yang sudah demikian melembaga. Pertama, mengalihkan rites of passage tawuran yang berbau militerisme kea rah budaya militer yang genuine (sungguhan). Maksudnya, para murid SMU bisa diberikan latihan kemiliteran selama, misalnya satu bulan, sebagai ganti program masa orientasi siswa (MOS). Tujuannya, supayasiswa mendapatkan nilai-nilai militer sejati yang positif: patriotisme, jiwa ksatria, kehormatan, etika, dan lain sebagainya. Dengan begitu, budaya militerisme berubah menjadi budaya militer yang lebih konstruktif. Pemberian latihan militer ini, sebagai contoh, juga sudah dicoba di sejumlah politeknik dan terbukti berhasil meredam potensi kekerasan di antara mahasiswa.
Kedua, kita semua seyogyanya mulai memberikan tingkah-laku penuh teladan kepada para generasi di bawah kita supaya tercipta rasa hormat siswa terhadap mereka yang lebih tua. Terutama lagi yang perlu memberikan teladan adalah orangtua, keluarga dekat adalah orangtua, keluarga dekat, dan guru. Sebab, merekalah yang pada hakikatnya bersentuhan langsung dan dari waktu ke waktu dengan siswa.
Terakhir, perlu diberikan suatu pelajaran etika, atau filsafat moral dalam bahasa Kees Bertens (Etika, 1995), dalam kurikulum SMU. Khususnya lagi, etika kepedulian itu seyogiayanya memasukkan kedelapan ciri kepedulian yang diberikan MC Raugust (1992). Satu, etika kepedulian mengutamakan hubungan saling peduli terhadap orang lain. Dua, orang dalam situasi khasnya masing-masing dapat menerima dan memberikan kepedulian itu.
Tiga, menjunjung tinggi individulisme. Maksudnya, masing-masing individu-sesama pelajar, wartawan, atau siapapun juga-wajib diterima sebagai pribadi yang unik dan karena itu mereka saling membutuhkan satu sama lain. Konsekuensinya, manusia harus mengutamakan saling memberi dan menerima saja kebaikan orang lain.
Empat, etika ini berfokus pada pribadi yang konkret, bukan pada sosok yang tak berwajah atau anonym. Lima, keputusan diambil berdasarkan universalitas situasi dan kondisi. Enam, hubungan antar manusia dipandang sebagai proses jangka panjang, bukan jangka pendek. Tujuh, kebaikan (virtue) lebih diutamakan daripada kewajiban berlaku adil (justice). Delapan, perasaan peduli haruslah diikuti dengan aksi yang mensyaratkan kompetensi atau kemampuan untuk melaksanakan aksi tersebut.
Berbekal solusi-solusi di atas, semoga di masa depan kita tidak akan menyaksikan lagi babakan kelam dunia pendidikanberupa tawuran seperti yang kerap terjadi dari waktu ke waktu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana komentar anda tentang artikel ini