Rabu, 25 April 2012

Ketika Bang Maman "Ngeksis" di LKS

Oleh : Septiardi Prasetyo
          Guru MI At-Taufiq, di Yayasan Pendidikan Al-Hikmah


Baru-baru ini dunia pendidikan kita dihebohkan oleh cerita berjudul Bang Maman Dari Kali Pasir  di buku Lembar Kerja Siswa (LKS) mata pelajaran Pendidikan Lingkungan Budaya Jakarta, kelas II Sekolah Dasar (SD). Mungkin diantara masyarakat ada yang masih bertanya-tanya,”Unsur cerita mana yang dipandang meresah masyarakat tersebut?” Sebagai gambaran, saya akan merangkumkan cerita tersebut untuk anda.
Bang Maman memiliki anak perempuan bernama Ijah yang dinikahkan dengan Salim, anak seorang kaya raya. Ketika orang tua Salim meninggal ia mewarisi kebun yang luas. Karena ia tidak pandai berkebun maka pengelolaannya diamanatkan kepada Kusen. Tapi dikemudian hari Kusen menjual seluruh kebun Salim hingga ia jatuh miskin. Mengetahui Salim jatuh miskin, Bang Maman kecewa dan menyusun tipu muslihat supaya Ijah bercerai dengan Salim. Dengan cara meminta Patme pura-pura menjadi istri simpanan Salim. Akhirnya Ijah pun bercerai dengan Salim. Dikemudian hari Ijah berkenalan dengan Ujang hingga akhirnya mereka melangsungkan pernikahan. Ketika pesta pernikahan berlangsung, polisi datang menangkap Ujang. Ternyata Ujang adalah seorang buronan tersangka perampokan yang paling diincar polisi. Pesta pun berakhir dengan penangkapan Ujang tersebut.
Dari rangkuman cerita di atas, anda akan menemukan kata istri simpanan. Penggunaan kosakata inilah yang menjadi pusat kecemasan para orang tua. Mereka menilai belum saatnya siswa kelas II SD dikenalkan dengan kata tersebut. Terlebih menggunakannya sebagai bahan pelajaran di pendidikan formal. Setiap guru di sekolah mana pun pasti tidak akan berbeda faham dengan sikap para orang tua tersebut.
Selain pemakaian kosakata yang tidak tepat, unsur cerita di atas saya nilai bermasalah. Unsur cerita yang baik yang layak digunakan sebagai pembelajaran di kelas adalah cerita yang bisa menunjukkan posisi benar dan salah beserta konsekuensinya kepada siswa. Contoh, bila seseorang bermain api maka dia sendiri yang akan merasakan panasnya. Bila seseorang bermain air maka dia sendiri yang basah. Pada rangkuman cerita Bang Maman Dari Kali Pasir di atas siswa bisa menilai tokoh Bang Maman sebagai orang yang serakah dan suka melakukan tipu daya. Begitu pun dengan Patme yang suka memfitnah. Dan Kusen, seorang pencuri dan tidak amanah. Ketiga tokoh ini telah melakukan kesalahan namun apa hukuman bagi mereka? Jawabannya adalah tidak ada hukuman dan konsekuensi apapun bagi ketiga tokoh jahat tersebut. Kalau begitu jalan ceritanya, maka nilai positif apa yang bisa siswa baca, renungkan dan pahami dari cerita ini? Penulis cerita ini bertanggungjawab penuh atas bebasnya para tokoh pelaku kejahatan dari jeratan hukum (pidana/ adat).
Kita semua berharap sumber belajar siswa tidak lagi dihiasi karakter “bang Maman- bang Maman” yang lainnya. Peran para guru di sekolah sangatlah vital sebagai garda terdepan dalam memfilter segala informasi dan pengetahuan bagi siswanya. Jangan sampai karena kekurangtelitian kita dalam memilihkan sumber belajar yang baik bagi siswa, mengakibatkan siswa kita terjebak pada pemahaman tentang nilai yang tidak sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.
Meneliti dan memahami sumber belajar siswa di setiap pergantian semester merupakan tugas pertama dan utama para guru sebelum memutuskan layak tidaknya untuk didistribusikan kepada siswa. Tidak lupa untuk secara intensif menanamkan nilai-nilai positif saat pembelajaran di kelas. Karena penetrasi tokoh “bang Maman” ini telah biasa siswa amati ketika mereka menonton televisi, membaca cerita di majalah, buku, internet dan lainnya.

Ketika Nurani Tergadaikan

Oleh : Drajat
          Guru SMPN 1 Cangkuang Kabupaten Bandung
          Artikel ini pernah dimuat di rubrik Forum Guru
          Koran Pikiran Rakyat, Selasa 24 April 2012
 

Belakangan ini dunia pendidikan kita disibukkan dengan Ujian Nasional (UN). Terlepas dari pro dan kontra penyelenggaraannya, mudah-mudahan anak-anak kita terselamatkan dari “hantu” yang menakutkan. Paling tidak, mereka merasa nyaman apa pun yang terjadi. Sebab, kehidupan masih panjang. Hidup ini tidak ditentukan oleh lulus tidaknya ujian, yang hanya mengandalkan beberapa mata pelajaran. Kehidupan yang hakiki adalah bagaimana kita bisa menghadapi hidup ini dengan lapang dada.
Celakanya, dunia pendidikan kita terjebakdengan sebuah “nilai”. Nilai besar sering diidentikkan dengan keberhasilan dan gengsi. Akhirnya segala cara dilakukan. Lalu, masih perlukah UN dilaksanakan? Mari kita berselencar apa yang terjadi di hadapan kita, ketika media begitu gamblang menginformasikan “kejanggalan” penyelenggaraan. Bagaimana anak-anak kita mempunyai jawaban “sakti” padahal ujian belum dimulai. Atau kasak-kusuk tangan-tangan yang tidak bertanggungjawab demi keselamatan institusi! Mari kita bertanya kepada nurani, sudah sejauh mana kita memberikan cawan “kejujuran” kepada anak-anak? Atau malah kita sendiri menumpahkan “nila” yang akhirnya negeri ini menjadi sarang penyamun?
Saying, disaat yang sama ketika ada yang memberikan solusi terbaik harus “teramptasi” oleh kebijakan yang membabi buta. Bagaimana komunitas “air mata guru” dikucilkan dari lingkungannya akibat membongka kecurangan, misalnya. Bahkan dengan bahasa yang apik pihak sekolah menyediakan surat pernyataan, agar pengawas atau panitia UN tidak membocorkan apa pun yang terjadi di lapangan.
Rasanya nurani kita (harus) tergadaikan! Bagaimana seluruh civitas sekolah berada pada kondisi, bagai makan buah simalakama, dimakan ibu mati, tak dimakan ayah mati.
Penulis terkesan dengan tulisan M. Izza Ahsan, anak kelas tiga SMP yang nekat keluar tatkala akan ujian. Dengan apik dia menuliskan, sindrom sekolah mengalir ke seluruh peredaran darah dan menekan otakku. Merampok kebahagiaanku. Aku semakin tidakbetah di sekolah. Ditambah lagi dengan keberadaan guru penghancur mental. Guru yang mempermalukan murid di depan umum. Guru yang tidak mempergunakan jangka sebagai alat mengajar, melainkan asebagai alat menghajar. Guru yang membuat kelas jadi sesunyi kuburan dengan dalih menciptakan suasana kondusif.
Sekolah seperti memenjarakan dan hanya mengotori otakku, menghambat impianku. Sekolah itu seperti susah payah menimba air dari dalam sumur, lalu mengguyurnya ke tempat semula. Sebagai remaja yang ingin terus belajar dalam arti sebenarnya, aku tidak ingin tersesat di sekolah. Akhirnya aku memutuskan keluar dari sekolah formal dan menciptakan sekolahku sendiri. Aku memilih melawan arus; membebaskan diri sepenuhnya, tetapi juga mendapat tantangan berat dari luar. Yaitu, dari orang-orang yang menganggap anak yang tidak ingin sekolah, tetapi ingin belajar adalah lelucon; sedangkan anak yang sekolah, tetapi tidak belajar adalah biasa (Dunia Tanpa Sekolah, Read-Mizan). Tampaknya dunia pendidikan kita harus belajar kepada Izza, sehingga nurani kita tidak tergadaikan.

Gerakan Nasional Jujur Ujian Nasional

Oleh : Asep Kusnawan
          Guru di Yayasan Pendidikan Salman Alfarisi Bandung
          Artikel ini pernah dimuat di rubrik Forum Guru
          Koran Pikiran Rakyat, Kamis 16 Februari 2012
 

Tokoh pendidikan Ki Hajar Dewantara mengungkapkan, pendidikan merupakan upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiranm dan tubuh anak. Bagian-bagian itu tidak boleh dipisahkan agar kita dapat memajukan kesempurnaan hidup anak-anak kita.
Semangat dan kata kunci esensi nilai pendidikan adalah mengembalikan khitah pendidikan sesuai dengan filosofi pendidikan Indonesia. Yaitu, membentuk insane yang cerdas melalui pendidikan karakter sebagai landasan utama dalam setiap proses yang dijalankan di lingkungan sekolah.
Sekolah adalah motor penggerak untuk memfasilitasi pembangunan karakter yang menghasilkan peserta didik yang kuat dalam nilai-nilai akhlak dan moral. Pembangunan karakter dan pendidikan karakter menjadi suatu keharusan, karena pendidikan tidak hanya menjadikan peserta didik cerdas, tetapi juga berbudi pekerti dan keberadaanya menjadi rahmat bagi lingkungan di mana dia tinggal.
Visi dan pengembangan Rencana Strategis Pndidikan Nasional kita yang menggambarkan harapan luhur dari amanat UU harus kita renungkan bersama. Tentu, konsep pendidikan karakter itu sudah ada di dalam kurikulum pendidikan. Yang menjadi pertanyaan, bagaimana implementasi pendidikan karakter di sekolah selama ini sehingga setiap tahun menjelang Ujian Nasional semangat “jujur” selalu didengungkan?
Jangan-jangan selama ini kita terjebak pada target pencapaian kompetensi semata dan mengejar SKL dari setiap SKKD yang ditargetkan dan bahkan melupakan pendidikan karakter itu sendiri. Pendidikan karakter di sekolah pada akhirnya menjadi pelajaran yang bersifat hafalan dan kognitif, karena kita sibuk mengejar target kurikulum yang sangat padat.
Wajar jika pada akhirnya, dengan UN atau USBN yang telah berjalan selama ini, nlai akhir menjadi bagian penting bagi hampir sebagian besar sekolah. Gerakan nasional dengan mengusung kata jujur, mungkin saat ini punt tetap menjadi tema utama jelang UN dan USBN tahun ini, untuk menggambarkan bahwa karakter jujur lebih penting daripada hasil itu sendiri.
Tak kalah pentingnya, memerlukan proses panjang untuk membangun karakter peserta didik dengan baik. Semangat jujur menjelang UN menjadi penting. Mengingat kata jujur saat ini seolah menjadi barang langka.
Jujur dimulai dari level paling tinggi, dari para pemimpin negeri ini, para pemangku kebijakan, para kepala dinas, para pengawas, dan para guru. Tentu, karakter jujur akan sangat mungkin tertanam kuat di dalam diri anak-anak kelak karena mereka melihat keteladanan kejujuran secara utuh yang ditampilkan oleh para pemimpin dan guru mereka.
Maka Gerakan Nasional Jujur untuk UN tahun ini seyogyanya bukan semata-mata jargon tanpa makna. Akan tetapi, semanat yang memang harus benar-benar ada di saat ada UN ataupun tidak ada. Ungkapan bahwa kejujuran adalah amanah dan kebohongan atau ketidakjujuran adalah khianat tampaknya harus dipegang sebagai komitmen bersama.

Jangan Tinggalkan Bahasa Ibu

Oleh  :  Naning Yuningsih
Guru di SMP dan SMA Darul Falah, Cihampelas, Kabupaten Bandung Barat
Artikel ini pernah dimuat di rubrik Forum Guru
Koran Pikiran Rakyat, Kamis 23 Februari 2012


Salah satu produk budaya adalah bahasa. Budaya suatu masyarakat dapat dipahami melalui bahasa. Bahkan, nilai budaya yang berlaku dalam masyarakat dapat diketahui melalui bahasa. Dalam masyarakat sunda, terdapat berbagai budaya yang sangat dekat dengan daya ungkap bahasa. Di antaranya ada wawacan, pantun, peribahasa, dan ungkapan.
Salah satu ungkapan di masyarakat sunda misalnya, herang caina, beunang lauknya. Ungkapan itu memanifestasikan masyarakat yang penuh kekeluargaan dalam menyelesaikan berbagai masalah. Kandungan budaya dalam ungkapan tersebut tentu masih dapat dijadikan pedoman pada kondisi sekarang ini. Kalau saja masyarakat Sunda (Indonesia, bahkan dunia) memahami ungkapan ini, tidak akan terjadi tindakan anarkistis, misalnya yang sekarang marak dilakukan antarpelajar dan berandal motor.
Dalam peribahasa Sunda ada hal yang berkaitan sesuatu yang seharusnya membanggakan. Seperti peribahasa buruk-buruk papan jati dan jati kasilih ku junti. Peribahasa itu menggambarkan keberterimaan terhadap sesuatu yang dimiliki. Peribahasa pertama menggambarkan, sesuatu yang dimiliki secara individu ataupun sosial merupakan anugerah yang harus dibela dan disyukuri. Peribahasa kedua, menggambarkan bahwa apa yang kita miliki jangan sampai terlupakan oleh sesuatu yang lain. Dalam hal itu termasuk tentang bahasa daerah.
Bahasa daerah dewasa ini hampir kasili oleh bahasa lain, terutama oleh bahasa nasional. Padahal, bahasa mempunyai perannya sendiri, yang sering kali saling melengkapi. Hanya saja para penuturnya kadang-kadang tidak menempatkan bahasa itu sesuai dengan waktu dan tempatnya. Pada akhirnya bahasa daerah yang mempunyai kedudukan kedua secara sosial polirtik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tergeser oleh bahasa nasional yang mempunyai kedudukan sebagai bahasa pertama.
Untuk itu, perlu berbagai usaha agar bahasa daerah tidak terancam punah. Mengingat bahasa daerah merupakan akar dari bahasa nasional, sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945. menurut Halim (1976), bahasa-bahasa daerah masih dipakai sebagaialat perhubungan yanghidup, dibina oleh negara karena bahasa-bahasa itu adalah bagian dari kebudayaan yang masih hidup.
Globalisasi memberi pengaruh besar terhadap pergeseran bahasa daerah. Para pakar bahasa memperhitungkan, jika tidak ada upaya untuk mempertahankan bahasa daerah, sekitas 90 persen bahasa-bahasa di dunia dalam kondisi sekarat atau terancam punah dalam kurun waktu 100 tahun. Sadar akan hal itu UNESCO mencanangkan hak untuk berbahasa daerah (ibu) atau linguistic human right.
Namun, apalah arti UNESCO apabila tidak ada usaha nyata dari tataran akar rumputnya. Khususnya penutur daerah itu sendiri. Untuk itu, selagi kita mampu berkomunikasi melalui bahasa daerah dengan lawan tutur, lebih baik kita menggunakannya. Tentunya menyesuaikan dengan situasi dan kondisi, karena kita pun punya dua jenis bahasa lainnya, yaaitu bahsa nasional dan bahasa asing, semuanya merupakan khazanah dunia yang tetap kita jaga, terlebih bahasa daerah kita sebagai bahasa ibu. Di sekolah pun jangan sampai terlupakan untuk berkomunikasi dengan menggunakan bahasa ibu. Oleh karena itu, jangan tinggalkan bahasa ibu.

Ajari Siswa Menulis Karya Ilmiah

Oleh : Nana Jiwayana
          Pengajar Bahasa Indonesia di Lembaga Neutron Bandung
          Artikel ini pernah dimuat di rubrik Forum Guru
          Koran Pikiran Rakyat, Rabu 22 Februari 2012
 

Beberapa waktu yang lalu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan surat edaran nomor 152/R/T/2012 yang isinya mewajibkan mahasiswa dari semua jenjang untuk membuat karya tulis ilmiah dan karya tersebut harus dipublikasikan di dalam jurnal ilmiah sebagai syarat kelulusan. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di perguruan tinggi.
Produktivitas mahasiswa dalam membuat karya tulis ilmiah memang sangat meinim. Hal inilah yang menjadi pertimbangan kebijakan ini dibuat. Karya tulis ilmiah ini juga sebenarnya memiliki fungsi lain, yaitu sebagai representasi dari salah satu Tridarma Perguruan Tinggi berupa penelitian. Dengan adanya kebijakan ini, mahasiswa didorong agar aktif dalam melakukan penelitian berdasarkan bidang ilmunya.
Namun, di balik tujuan yang mulia itu masih ada sedikit ganjalan yang berpotensi menggagalkan program ini. Salah satunya, ketersediaan jurnal ilmiah di Indonesia yang masih minim. Program ini juga berpotensi gagal karena kemampuan menulis karya tulis ilmiah mahasiswa yang rendah.
Beberapa pakar pendidikan bahkan menyalahkan sekolah karena tidak mampu memberikan kemampuan menulis bagi siswanya, sehingga ketika telah menjadi mahasiswa merekapun kesulitan membuat karya tulis ilmiah. Hal ini bukan hanya terjadi kepada mahasiswa jurusan nonbahasa, tetapi juga mahasiswa jurusan bahasa.
Meskipun dinilai subjektif, pendapat pakar pendidikan itu ada benarnya. Jika kita jujur, di sekolah guru memang sangat kurang memberikan kemampuan menulis karya tulis ilmiah. Bahkan, kita telah membentuk mereka menjadi calon plagiator di dunia kampusnya kelak. Sebagai seorang pengajar, kita sering kali khilaf dan mengajarkan mereka untuk menyalin. Apakah itu menyalin yang ditulis guru di papan tulis atau menyuruh mereka menyalin dari buku perpustakaan. Sadar atau tidak, dengan kebiasaan itu guru sedang mencetak siswa menjadi plagiator.
Kita jarang sekali memberi siswa kelaluasaan dalam berkreativitas, khususnya dalam menulis. Dalam proses belajar-mengajar punkita malah sering memberi mereka ceramah. Budaya menulis begitu minim kita berikan, sebaliknya budaya lisan (mendengarkan) selalu kita praktikan. Karena kebiasaan ini, siswa menjadi terbiasa sebagai objek yang hanya bisa mengekor, mangut-mangut, dan menjadi manusia yang pasif. Otak dan kemampuannya dalam menulis menjadi tidak terasah.
Melihat kealpaan ini, guru mesti mengubah kebiasaan pengajaran kita yang tidak mengasah kemampuan siswa untuk menulis. Guru harus menjadikan siswa sebagai subjek hidup dan membimbingnya menjadi manusia yang kreatif dan mampu meenuangkan pikiran ilmiahnya ke dalam bentuk tulisan ilmiah.
Jika di sekolah dibiasakan menulis karya ilmiah, tentu ketika di kampus dihadapkan pada kewajiban membuat karya tulis ilmiah sebagai syarat kelulusannya, tidak akan sulit atau dipandang sebagai hambatan kelulusan mereka. Jadi, mulai sekarang mari kita ajari siswa kita menulis.

Menggagas Pendidikan Multikultural

Oleh : Endang Komara
          Guru Besar Kopertis Wilayah IV
          Wakil Ketua Bidang Akademik STKIP Pasundan
          Artikel ini pernah dimuat di rubrik Opini
          Koran Pikiran Rakyat
 

Wacana multikulturalisme untuk konteks pendidikan di Indonesia mulai mengemuka ketika sistem otoriter-militeristis tumbang dengan jatuhnya rezim Soeharto. Saat itu timbul konflik antarsuku, antargolongan yang menimbulkan anomaly ddi sebagian masyarakat. Hal tersebut disebabkan oleh ketidakpuasan anggota masyarakat dalam hal berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, terutama dalam aspek kehidupan ipoleksosbudhankamag (ideology, politik, sosial-budaya, pertahanan keamanan, dan agama).
Pendidikan multikultural (multicultural education) merupakan respons terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Ini sejalan dengan UUD 1945 Pasal 31 (1) bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran. Dalam dimensi lain, pendidikan multikultural seperti dijelaskan oleh Hilliard (1992) merupakan pengembangan kurikulum dan aktivitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi, dan perhatian terhadap orang-orang non-eropa. Sementara secara luas, pendidikan multikultural itu mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnik, ras, budaya, strata sosial, dan agama.
Pendidikan multikultural berawal dari berkembangnya gagasan dan kesadaran tentang multikulturalisme. Ini terkait dengan perkembangan politik dan sosial. Multikulturalisme adalah salah satu konsep yang bisa menjawab tantangan perubahan zaman dengan alasan multikulturalisme merupakan ideologi yang mengagungkan perbedaan atau suatu keyakinan yang mengakui dan mendorong terwujudnya pluralisme budaya sebagai wujud kehidupan masyarakat.
Pendidikan multikultural bertujuan mewujudkan pendidikan yang bersifat antirasis yang memperhatikan keterampilan-keterampilan dan pengetahuan dasar bagi warga masyarakat.
JA Banks (1985) mendeskripsikan pendidikan multikkultural dalam empat fase yang pertama, ada upaya untuk mempersatukan kajian-kajian etnis pada setiap kurikulum. Kedua, hal ini diikuti oelh pendidikan multietnis sebagai usaha untuk menerapkan persamaan pendidikanmelalui reformasi keseluruhan sistem pendidikan. Ketiga, kelompok-kelompok marginal mulai menuntut perubahan-perubahan mendasar dalam fase pendidikan. Fase keempat, perkembangan teori, riset, dan praktik, perhatian pada hubungan antarras, kelamin, dan kelas telah menghasilkan tujuan bersama bagi kebanyakan teoretiku, jika bukan praktisi dari pendidikan multikultural.
Harapannya, dengan implementasi pendidikan yang berwawasan multikulturalisme dapat membantusiswa mengerti, menerima, menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya, dan nilai-nilai kepribadian. Lewat penanaman semangat multikulturalisme di sekolah-sekolah akan menjadi media pelatihan dan penyadaran bagi generasi muda untuk menerima perbedaan budaya, ras, etnis, dan kebutuhan di antara sesame dan mau hidup bersama secara damai.
Ide pendidikan multicultural akhirnya menjadi komitmen global sebagai direkomendasikan UNESCO pada Oktober 1954 di Jenewa, antara lain: pertama, pendidikan hendaknya mengembangkan kemampuan untuk mengakui dan menerima nilai-nilai yang ada dalam kebhinekaan pribadi, jenis kelamin, masyarakat, dan budaya serta mengembangkan untuk berkomunikasi, dan berbagi, bekerja samadengan orang lain. Kedua, pendidikan meneguhkan jati diri dan mendorong konvergensi gagasan dan penyelesaian yang memperkokoh perdamaian, persaudaraan, solidaritas antarpribadi dan masyarakat. Ketiga, pendidikan hendaknya meningkatkan kemampuan menyelesaikan konflik secara damai tanpa kekerasan.
Oleh karena itu, pendidikan hendaknya juga meningkatkan pengembangan kedamaian dalam diri pikiran peserta didik sehingga mereka mampu membangun secara kokoh kualitas toleransi, kesabaran, kemampuan untuk berbagi dan memelihara di antara sesamanya.
Pendidikan multicultural sebagai wacana baru dapat diterima tidak hanya melalui pendidikan formal, kehidupan masyarakat, ataupun dalam keluarga. Dalam pendidikan formal, pendidikan multicultural ini dapat diintegrasikan melalui kurikulum mulai pendidikan anak usia dini, SD, SMP, SMA sampai perguruan tinggi.
Untuk mewujudkan gagasan ini hars didasarkan pada konsep ketakwaan dan iman, keberadaban, kesopanan, toleransi, kemandirian, bebas dari paksaan, kekerasan, ancaman, keadilan sosial, dan persamaan hak dalam konsep dan praktik pendidikan. Juga dalam proses pembelajaran menghargai keberagaman etnis dan perbedaan, persamaan hak, toleransi dan sikap terbuk. Mengembangkan kompetensi untuk mampu mandiri dan mampu mengatur diri sendiri tanpa campur tangan pihak lain, bebas dari ancaman dan paksaan. Semoga!

Ironisme Plagiarisme di Perguruan Tinggi

Oleh : Encon Rahman
          Guru SD Negeri Mekarwangi 1 Kec. Argapura, Kab. Majalengka
          Artikel ini pernah dimuat di rubrik Forum Guru
          Koran Pikiran Rakyat, Kamis 8 Maret 2012



Diduga kasus plagiarisme bukan cuma terjadi di perguruan tinggi yang disebutkan dalam surat Dikti. Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Jawa Barat Didi Turmudzi menduga kasus-kasus serupa terjadi di semua perguruan tinggi, bukan hanya terjadi pada kandidat guru besar, melainkan juga di kalangan akademisi lain (Pikiran Rakyat, 4/3/12).
Fenomena plagiarisme di perguruan tinggi bukan saja “memamerkan” kebobrokan ruang akademisi kita, sekaligus sebagai potret buram rendahnya kejujuran seorang intelektual dalam tataran akademik. Terlepas, plagiarisme di pandang sebagai aksi criminal di dunia akademik, saya menilai plagiarisme merupakan bagian dari budaya (kultur) perguruan tinggi (PT) kita yang sangat kental.
Eksistensi budaya plagiarisme di PT bermula dari ketidakmampuan mahasiswa dalam menuangkan gagasan secara tertulis. Kondisi tersebut dipicu pula oleh rendahnya keterampilan membaca. Dan realita ini, lahirlah budaya instan yang memalukan, plagiarisme!
Penulis besar adalah pembaca besar. Dengan kata lain, sebuah keniscayaan jika seorang penulis besar bukan pembaca besar. Oleh sebab itu, harap maklum jika plagiarisme di PT merupakan kultur tak terbantahkan. Argumentasi ini bukan sekadar isapan jempol semata, mari kita mencermati seberapa banyak koleksi buku yang dimiliki mahasiswa bahkan dosen PT di negeri ini.
Jika kita jujur, koleksi buki referensi yang dimiliki setiap mahasiswa S-1, S-2, atau S-3 masih dikatakan belum sepadan dengan tingkat intelektual mereka. Padahal, koleksi buku merupakan salah satu bentuk fiksi dari intelektualitas akademik seseorang.
Dengan demikian, tak mengherankan jika hingga detik ini, budaya menulis skripsi, tesis, disertasi, atau menjadi kandidat guru besar masih dianggap beban dalam penyelesaian studi/jabatan di perguruan tinggi. Karya tulis ilmiah sebagai salah satu syarat memperoleh gelar kesarjanaan atau kenaikan jabatan di PT akhirnya menjadi momok bagi kalangan akademik. Sebagai jalan pintas dalam mengatasi persoalankemampuan menulis yang sangat rendah, banyak kalangan akademik akhirnya melakukan plagiat atau memesan karya tulis kepada orang lain (ghost writer).
Merebaknya persoalan plagiarisme di perguruan tinggi setidaknya menyadarkan ingatan kita bahwa PT dengan segala atribut keilmuwan dan keilmiahannya mestinya senantiasa menjadikan karya tulis sebagai suatu kewajaran atau keharusan, tidak menjadikan tabu dan dianggap menghambat. Justru, tanpa aktivitas karya tulis, sebuah PT akan kehilangan esensi dan jati diri. Dengan demikian, kasus plagiarisme di PT merupakan tamparan keras (baca:ngisinkeun!) bagi seluruh akademisi (dosen dan mahasiswa) PT yang bersangkutan, tanpa kecuali.
Karya tulis yang berasal dari penelitian merupakaan kegiatan dalamupaya menghasilkan pengetahuan empirik, konsep, metodologi, atau informasi baru yang dapat memperkaya ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian. Demikian pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (USPN) menandaskan. Itulah sebabya, karya tulis atau kenaikan jabatan jangan sampai ternodai oleh budaya plagiarisme.

Memaksimalkan Peran Perpustakaan

Oleh : Teni Sulastri
          Guru IPS di SMPN 25 Bandung
          Artikel ini pernah dimuat di rubrik Forum Guru
          Koran Pikiran Rakyat, Rabu 7 Maret 2012
 

Ada ungkapan, buku adalah gudangnya ilmu, membaca adalah kuncinya. Hal ini tidak bisa dimungkiri karena memang di dalam buku terdapat berbagai ilmu pengetahuan, seperti ilmu religi, sains, teknologi, dan humaniora.
Untuk memperoleh ilmu pengetahuan yang terkandung di dalam buku itu adalah dengan cara membacanya. Setelah itu, diaplikasikan sekaligus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Berbicara tentang buku dan manfaatnya, jangan lupakan perpustakaan. Mengingat perannya yang cukup penting, perpustakaan tak lagi terbatas disekolah-sekolah, tetapi juga dimiliki berbagai instansi, institusi, perusahaan, dsb. Bahkan, untuk memperluas dan memobilisasi peran perpustakaan, di berbagai daerah sudah dikembangkan perpustakaan keliling.
Mengutip dari buku berjudul Bintang Pelajar karangan Choirudin Hadhin Surapto, perpustakaan memiliki tiga manfaat yakni pertama, sebagai sumber belajar; perpustakaan dapat dipergunakan untuk memperdalam pemahaman dan penghayatan pengetahuanyang diperoleh siswa dan guru.
Kedua, sebagai sumber informasi; perpustakaan dapat dipergunakan untuk memperluas cakrawala dan keterampilan murid, selain yang telah diberikan oleh gurunya. Ketiga, sebagai tempat rekreasi, perpustakaan dapat dipergunakan untuk hiburan, memupuk keterampilan, nilai, dan sikap hidup.
Namun, untuk memaksimalkan peran perpustakaan, tentunya aspek pengelolaan (manajemen) perpustakaan juga harus profesional, mulai perawatan, penataan, pengelompokkan buku-buku, pencatatan keluar masuknya buku (rekapitulasi peminjaman), dsb. Termasuk faktor kenyamanan dan kebersihan juga harus diperhatikan.
Sayangnya, ini juga dirasakan tak cukup. Faktanya, perpustakaan masih sedikit didatangi pengunjung, termasuk perpustakaan di sekolah.
Tentunya, perlu ada langkah-langkah yang harus dilakukan pihak sekolah agar peran perpustakaan bisa dimanfaatkan secara maksimal oleh murid.
Contohnya, perlu ada stimulus dengan pemberian reward oleh kepala sekolah kepada siswa yang banyak meminjam dan membaca buku perpustakaan. Penghargaan ini bisa diberikan per semester atau per tahun atau diserahkan kepada momen-momen tertentu, seperti pada saat Hari Aksara Hari Buku, atau Hari Perpustakaan.
Pada sisi lain, sekolah juga bisa mendorong siswa atau alumni ikut terlibat dalam upaya memperkaya koleksi buku perpustakaan. Dengan harapan, peran perpustakaaanakan ikut memberikan sumbangsih penting terhadap pengembangan ilmu dan wawasan, tidak saja untuk murid, tetapi juga guru-guru.
“Ilmu itu penguasa, sedangkan harta itu dikuasai. Para pemilik harta akan meninggal, si empunya ilmu akan tetap hidup. Tubuh mereka boleh lenyap, tetapi pribadinya terpatri di dalam hati (Ali bin Abi Thalib).

UN Membuat Siswa Percaya Takhayul

Oleh : Andri
           Psikiatris Bisang Psikosomatik Medis
          Artikel ini pernah dimuat di rubrik Opini
          Koran Pikiran Rakyat


Seperti tahun-tahun sebelumnya, kehebohan menjelang dan saat Ujian Nasional (UN) sudah bisa diprediksi. Kehebohan ini kadang lebih banyak dipicu oleh para individu yang sebenarnya juga menyadari makna UN itu sendiri. Awalnya ide UN kalau tidak salah dilntarkan oleh mantan Wapres Jusuf Kalla agar ada standarisasi dalam kelulusan buat para siswa. Sebenarnya tidak ada yang aneh atau masalah dalam hal ini. Namun, ketika UN menjadi satu-satunya penentu kelulusan siswa, mulai ada cerita-cerita dramatis terkait UN. Bahkan beberapa tahun yang lalu sampai ada siswa membakar sekolahnya sendiri akibat tidak lulus UN. Hal ini karena tidak lulus UN banyak membuat siswa bernasib buruk tidak mampu melanjutkan pendidikan karena belum bisa lulus sekolah. Bahkan, untuk siswa SMU, ada siswa pintar yang sudah diterima di perguruan tinggi negeri batal diterima karena UN-nya tidak lulus. Itu hanya sebagian kecil cerita dramatis nan menyedihkan terkait UN>
Kemudian syarat UN sebagai satu-satunya syarat kelulusan diubah. UN masih tetap mempunyai porsi dalam kelulusan namun ujian akhir sekolah dan nilai ujian rata-rata harian juga diperhitungkan. Hal ini tentunya untuk mengurangi masalah dramatis akibat UN yang bisa kembali terjadi.
Namun, lihat apa yang terjadi hari ini? Saya terus terang merasa aneh karena begitu banyaknya berita terkait UN yang agak sedikit berlebihan bahkan ada beberapa yang mulai mengarah kepada ritus yang sebenarnya bisa diterima di kalangan akademisi yang menjunjung nilai keilmuan.
Pertama adalah beritabahwa soal UN yang akan dibagikansampai dijaga ketat oleh polisi bersenjata api. Saya jadi berpikir memangnya yang dijaga apa? Kenapa ada kesan “angker” yang ditampilkan. Apakah arus dijaga oleh polisi bersenjata api? Apakah bapak-bapak yang berhubungan dengan UN mengetahui bahwa kebocoran soal UN lebih banyak ketika berada di sekolah samapai ada joki-joki UN yang mengisi soal itu terlebih dahulu dan para siswa menunggu jawaban dari si joki itu?
Lalu kedua adalah berita tentang banyaknya gerakan doa bersama dalam menyambut UN. Tentunya berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa tidaklah salah. Sesuatu yang sangat wajar dilakukan oleh kita semua sebagai umatnya. Namun ketika doa itu kemudian dilanjutkan dengan dengan adanya kegiatan “ritual” membasuh kaki guru dengan air kembang seperti yang ditayangkan salah satu TV swasta apakah ada relevansinya? Lalu ketika si siswa diberikan air mineral yang sudah dijampi-jampi dan pensil-pensil 2B yang sudah kalimat doa apa ada hubungannya dengan kesuksesan UN?
Kita belajardari sejak kecil bahwa kita memang perlu untuk bekerja keras dan berdoa, ora et labora adalah hal yang sudah kita dengar sejaak kecil. Kerja keras tanpa didukung doa adalah hambar, tetapi doa tanpa kerja keras juga adalah kesia-siaan. Ketika menghadapi masalah-masalah dalam khidupan, kita akan cenderng berusaha beradaptasi dengan masalah-masalah itu dengan cara-cara yang telah kita pelajari dari pengalaman-pengalamankita.
Bisa dibayangkan kalau anak-anak yangsedang dalam masa tumbuh kembang ini mendapatkan pelajaran bahwa dalam menghadapi masalah yang penting adalah melakukan ritus-ritus yang tidak ada hubungannya dengan usaha dan kerja keras untuk menghadapi masalah itu. Jangan salahkan kalau anak-anak ini nantinya akan cenderung menjadi manusia-manusia yang percaya takhayul, lebih percaya ritus-ritus bisa membantu daripada kerja keras dan izin Tuhan Yang Maha Esa.
Kita sebagai yang sudah lebih paham harusnya juga mengerti tentang hal ini. Media juga perlu menyaring dengan baik berita-berita terkait UN yang ditayangkan. Saya lebih suka berita tentang seorang siswa cacat tidak punya tangan dan harus mengerjakan UN dengan kakinya daripada berita siswa meminum air mineral hasil jampi-jampi dan berharap nanti semuanya akan beda hasilnya buat dia tanpa belajar. Saya mengerti ada beberapa ritus yang mampu membuat seseorang menjadi lebih percaya diri, tetapi apakah itu yang ingin kita tanamkan kepada anak-anak kita? Jangan heran kalau masih akan ada “ponari-ponari” lain di masa yang akan datang kalau kita masih berpikir seperti sekarang.

Tips Antigalau Menghadapi Ujian Nasional

Oleh : Mohammad Cahya
          Anggota Asosiasi Guru Penulis PGRI Jawa Barat
          Artikel ini pernah dimuat di rubrik Forum Guru
          Koran Pikiran Rakyat, Senin 23 April 2012
 

Bagi para siswa SMP/MTs, Ujian Nasional (UN), yang diselenggarakan sekolah atas dasarperaturan menteri sekaligus dinilai pemerintah, masih merupakan hal yang menakutkan. Dari limakali hajatan UN (2007, 2008, 2009, 2010, 2011), soal-soal yang keluar tidak bertumpu pada kompetensi siswa, tetapi bertumpu pada kompetensi kalangan pembuat soal (soal terlalu panjang, kalimat soal banyak menggunakan istilah asing, opsi jawaban sangat homogen).
Ditambah dengan banyaknya kabar tentang bocoran kunci jawaban lewat SMS, seperti saat berlangsungnya UN SMA/SMK/MA, membuat siswa SMP/MTs. Menjadi galau. Bagaimana cara mengatasi kegalauan ini? Ada empat obat yang bisa dijadikan sebagai solusi dari kegalauan siswa. Yaitu, percaya diri, percaya SKL UN, percaya try out, dan percaya pembahasan try out.
Pelaksanaan UN 2012 memang tinggal hitungan jam. Meskipun demikian, masih ada waktu yang dapat disiasati siswa untuk meraih sukses UN 2012 . Dua referensi berikut, rasanya dapat dijadikan motivasi bagi siswa untuk bersikap percaya diri. Pertama, referensi Piaget. Menurut kategori Piaget (1970) siswa setingkat SLTP merupakan period of formal operation. Artinya, siswa SMP/MTs. Mengalami perkembangan kemampuan berpikir symbol dan bisa memahami suatu hal secara bermakna tanpa memerlukan objek yang bersifat konkret.
Kedua, referensi Gardner. Gardner (1993)  mengatakan, pada perkembangan pola piker siswa SMP/MTs., berkembang tujuh kecerdasan linguistic, logis-matematis, musical, spasial, kinestik-ragawi, intra-pribadi, antar pribadi. Dari dua referensi itu, jelas tergambar bahwa siswa SMP/MTs. Telah diberi potensi kecerdasan oleh Tuhan untuk menjawab semua tantangan zaman, termasuk menjawab (100 persen benar) soal-soal yang diujikan dalam UN.
Standar kompetensi lulusan (SKL) adalah materi pelajaran yang akan keluar menjadi soal UN. Sesuai dengan amanat Permendikbud No. 59 Tahun 2011, pemerintah berkewajiban menyosialisasikan SKL UN ke seluruh sekolah yang ada di Indonesia. Dengan demikian, penulis yakin bahwa SKL UN 2012 telah sampai kepada siswa. Dan yakin pula, siswa telah mempunyai bekal pengetahuan untuk membaca sekaligus menjawab soal-soal bermuatan SKL UN yang mengarah pada upaya pencapaian sukses UN 2012.
Salah satu fasilitas yang diberikan pihak sekolah kepada siswa dan wajib diikuti siswa adalah try out. Sekolah memberikan soal-soal yang materinya sesuai SKL UN dengan jumlah soal dan waktu yang sama dengan UN sebenarnya, serta ditunjang oleh pengawas profesional. Dengan percaya try out, siswa pasti mempunyai bekal pengetahuan untuk menjawab soal-soal UN secara tepat.
Di samping itu, sekolah pun membahas soal-soal yang diujikan dalam try out. Dengan percaya membahas try out, penulis yakin bahwa siswa akan sigapmenjawab soal-soal yang diujikan dalam UN.
Penulis ingin menyampaikan enam tips dalam menjawab soal yaitu: baca kalimat soal, tentukan kata kunci soal, baca dan pahami ilustrasi soal, temukan jawaban-jawaban yang salah, temtukan jawaban yang tepat, dan hitamkan lingkaran jawaban yang tepat di LJK.
Sebagai penutup, penulis berharap agar keempat obat antigalau itu dapat melekat kuat dalam diri siswa, sehingga UN 2012 berjalan lancer dan dengan hasil yang gemilang. Selamat berjuang kepada seluruh anak bangsa yang peduli terhadap pendidikan di Indonesia.

Pentingnya Pembelajaran Afektif

Oleh : Sidiq Wachyono
          Guru SMAN 1 Cisarua Kabupaten Bandung Barat
          Artikel ini pernah dimuat di rubrik Forum Guru
          Koran Pikiran Rakyat, Sabtu 21 April 2012

Modernisasi dan globalisasi dengan didukung kemajuan iptek merupakan bingkisankehidupan yang memberi kenikmatan, kemudahan dan padat nilai tambah. Namun kesemuanya itu jika tidak diiringi dengan pendidikan nilai moral akan melahirkan erosi nilai moral afektual, kultural, dan spiritual. Pada puncaknya, manusia menjadi arogan, eksistensialis, egois, individualis, sekuler, mendewakan ciptaanya sendiri, serta lupa dan bersombong diri terhadap Maha Penciptanya.
Kekeliruan yang terjadi dalam pendidikan dan pengajaran di sekolah yaitu mengesampingkan pembelajaran afektif oleh karena ketidakpahaman atau hanya mengejar target hasil nilai ujian kognitif. Padahal, pembelajaran afektif sangatlah penting karena menentukan pembentukan jati diri atau yang lebih popular dengan istilah pembentukan karakter anak.
Pendidikan dan pengajaran perupakan upaya pemaknaan seluruh potensi diri manusia yang mencakup potensi kognitif, afektif dan psikomotor. Dalam pendidikan di sekolah, seharusnya ketiga potensi itulah, baik kualitas maupun kuantitasnya dikembangkan dan ditingkatkan. Jadi bukan hanya salah satu potensi yang dibelajarkan, ketiga potensi itu merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan.
Pentingnya pembelajaran afektif diutarakan oleh pakar pendidika afektif Jack R. Fraenkel (1981) yang menyatakan bahwa potensi moralitas manusia itu lebih hebat dari kekuatan bom nuklir. Sementara piaget (1963) mengatakan bahwa emosi merupakan sumber energi dari berfungsinya intelektual.
Dalam ungkapan hadis Rasul pun dikisahkan mengenai akan hancurnya kehidupan bila segumpal daging yang bernama hati manusia itu rusak.
Dalam peristiwa sejarah, kita mengetahu betapa dahsyatnya ledakan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki yang efek bahayanya masih dirasakan sampai saat ini. Belum lagi kejadian yang merugikan rakyat, yang semuanya itu adalah hasil perbuatan manusia yang tidak bermoral dan tidak berperikemanusiaan.
Dunia afektif terdiri atas sejumlah potensi afektual yang mencakup sembilan potensi pokok. Yakni insting, emosi, perasaa (feeling), cita-rasa, keinginan (willing), kecintaan (love), sikap (attidude), sistem nilai (value system) dan sistem keyakinan (belief system). Alangkah bijaknya jika sembilan potensi pokok dunia afektif ini dapat dibelajarkan guru kepada siswanya saat penyampaian materi pelajaran yang sedang diajarkan.
Pembelajaran anak yang diiringi dengan nilai moral atau isi pesan kebermaknaannya bagi manusia dan kebesaran Allah SWT, tidak menjadi proses dan faktor resonansi kepada ketakwaan dan kemanusiaan. Dengan demikian tujuan pendidikan yang hakiki yaitu menciptakan insane yang beriman dan bertakwa kepada Allah swt dapat terwujud.

Menata Ulang Moralitas

Oleh : Uus Firdaus
          Guru bimbingan dan konseling di SMP Negeri 1 Paseh Kab. Bandung
          Artikel ini pernah dimuat di rubrik Forum Guru
          Koran Pikiran Rakyat, Jumat 20 April 2012
 

Pendidikan merupakan wahana terbaik dalam menyiapkan sumber daya manusia. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nsional (UUSPN) No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 menyebutkan, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pasal 3 menyebutkan, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Jika tujuan ini terwujud, bangsa Indonesia akan memiliki cadangan manusia-manusia yang berkepribadian tangguh, terdidik, bersih dari segala bentuk penyimpangan serta masyarakat yang menjunjung tinggi moralitas. Sayangnya, praktik-praktik demoralisasi telah mewabah menjangkit dunia pendidikan. Pendidikan moral dan budi pekerti sebatas teori, yang ketika keluar dari pagar sekolah siswa harus menghadapi kehidupan yang kontradiktif.
Selama ini pendidikan nasional hanya terfokus pada persoalan agar siswa mampu lulus dalam Ujian Nasional sehingga yang disorot hanyalah dari hasil kelulusan. Banyak yang bangga jika tingkat kelulusan mencapai 100 persen. Padahal, apa artinya 100 persen apabila hanya akan menambah deretan pengangguran dan bertumpuknya jumlah lulusan yang tak memiliki kemampuan dan keteampilan. Yang paling menakutkan apabila pengangguran ini tidak memiliki moralitas yang baik.
Banyak yang mengatakan, fenomena lahirnya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) berawal dari dunia pendidikan. Ditandai dengan gejala tereduksinya moralitas dan nurani sebagian alangan akademisi dengan bukti empirik masih tingginya angka kebocoran anggaran keuangan, kolusi saat menerima siswa baru, pengatrolan nilai oleh guru, menjamurnya budaya menyontek, korupsi waktu mengajar, dan berbagai perilaku lain.
Di sisi lain, penanaman moral dan pencapaian tujuan pendidikan nasional untuk mampu mencetak generasi yang bukan hanya cerdas secara intelektual, melainkan juga cerdas secara emosional dan spiritual, terlupakan.
Pendidikan karakter dan akhlak yang baik selama ini kurang mendapat penekanan dalam sistem pendidikan. Pelajaran agama atau budi oekerti pun selama ini dianggap tidak berhasil. Karena pengajarannya hanya sebatas teori, tanpa adanya refleksi dari nilai-nilai pendidikan. Akibatnya, anak tumbuh menjadi manusia yang tidak memiliki karakter, bahkan dinilai lebih buruk lagi menjadi generasi yang tidak bermoral.
Apabila ingin menyelamatkan bangsadan negara dari malapetaka, pendidikan harus ditempatkan pada jalur yang sesuaidengan amanat UU. Berbagai tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati orang lain serta karakter mulia lainnya perlu terus-menerus dikembangkan dalam kehidupan sehari-hari.

Apa Kabar SKB 5 Menteri

Oleh : Kusman Rukmana
          Guru PKn di SMAN Tomo, Kabupaten Sumedang
          Artikel ini pernah dimuat di rubrik Forum Guru
          Koran Pikiran Rakyat, Sabtu 17 Maret 2012
 

Belum selesai persoalan sertifikasi, penilaian kinerja, dan tuntutan profesionalisme, dunia persekolahan “disibukkan” dengan adanya peraturan bersama (SKB) Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, dan Menteri Agama tentang Penataan dan Pemerataan Guru Pegawai Negeri Sipil.
Ini merupakan implementasi dari amanat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2008 tentang Guru, khususnya yang berkaitan dengan tugas guru dan pengawas dan PP No. 9 Tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian PNS yang harus selesai per 31 Desember 2013.
Munculnya peraturan bersama itu semata-mata untuk menjamin pemerataan guru antarsatuan pendidikan, antarjenjang, antarjenis pendidikan, antarkabupaten, antarkota, dan antarprovinsi serta untuk mewujudkan peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan formal secara nasional dan pencapaian tujuan pendidikan Nasional.
Sekalipun peraturan bersama ini baru pada tahapan sosialisasi, dalam beberapa ketentuan mendasar yang langsung bersentuhan dengan guru, tidak diiringi denganregulasi yang jelas. Perlu diingat, tugas pokok guru adalah mengajar dan mendidik.
Dengan peraturan bersama ini dikhawatirkan akan mengganggu konsentrasi guru dalam melaksanakan tugas pokoknya. Sebelum diketahui kondiri riil kelebihan dan kekurangan guru di setiap satuan pendidikan di kab./kota secara nasional, solusi dini yang coba ditawarkan oleh pemerintah melalui petunjuk teknis peraturan bersama ini seharusnya melalui pengkajian sosiologis. Hal itu untuk menghindari polemik di kalangan guru, misalnya tentang kewajiban pemenuhan beban mengajar 24 jam tatap muka, apalagi diiringi dengan sanksi terhadap guru yang telah disertifikasi akan dicabut tunjangan profesinya manakala tidak memenuhi ketentuan itu sesuai dengan permendiknas No. 30/ 2011.
Pemerintah kemudian memberikan beberapa alternatif solusi, misalnya guru yang mengajar kurang dari 24 jam, kekurangannya bisa dipenuhi di sekolah lain. Dikhawatirkan hal itu akan membuat masalah baru di lapangan. Guru jangan “dipaksa” untuk mencari sekolahlain hanyauntuk memenuhi kekurangan 24 jam kaena mencari sekolah lain, bukan hal yang mudah. Munculnya peraturan bersama ini menimbulkan pertanyaan, jangan-jangan bukan menjadi solusi, malah membuat guru jadi dilematis antara bekerja secara profesional dan “mengamankan diri” hanya untuk memenuhi 24 jam tatap muka.
Sebaiknya pemerintah memberikan rasa aman kepada guru untuk tetap fokus bekerja. Pemerintah harus segera menyelesaikan pendataan guru secara nasional. Hal ini perlu dilakukan sebagai dasar pijakan membuat kebijakan pemerataan. Selain itu, Kementrian Pendidikan Budaya mendorong pemerintah daerah agar segera menyusun produk hukum terkait penataan dan pemerataan guru PNS yang merujuk pada peraturan bersama ini.

Melatih Keterampilan Sosial

Oleh : Sidiq Wachyono
          Guru SMAN 1 Cisarua Kabupaten Bandung Barat
          Artikel ini pernah dimuat di rubrik Forum Guru
          Koran Pikiran Rakyat, Senin 12 Maret 2012
 

Salah satu cara melatih keterampilan sosial siswa adalah dengan melakukan observasi di laboratorium IPS, yaitu lingkungan sosial di masyarakat. Metode ini memberikan kesempatan siswa terjun langsung mengamati kejadian di lapangan.
Kelemahan pengajaran ilmu pengetahuan sosial (IPA) di sekolah diantaranya karena kurang simultannya proses pemelajaran kognitif, afektif dan psikomotorik. Pembelajaran IPS di sekolah masih mengedepankanaspek kognitif. Padahal, menurut Teori Pendulum (bandul jam) Mc Luhan, jika pemelajaran hanya diarahkan ke kutub kognitif maka anak akan menjadi manusia cerdas tetapi tidak bermoral dan tidak berperasaan.
Pada pasal 37 Undang-Undang Sisdiknas Tahun 2003 mengamanatkan bahwa kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat IPS yang dimaksudkan untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan analisis peserta didik terhadap kondisi sosial masyarakat.
Oleh karena itu, dalam pemelajaran IPS, siswa perlu dilatih keterampilan IPS yang meliputi keterampilan sosial, keterampilan belajar, keterampilan kelompok, dan keterampilan intelektual.
Untuk melatih keterampilan sosial siswa dapat dilakukan dengan berbagai cara. Misalnya melalui pemelajaran portofolio atau dengan pemelajaran observasi di laboratorium IPS yaitu lingkungan sosial di masyarakat.
Pemelajaran kelompok kooperatif mendorong siswa belajar secara aktif, menampilkan kerja sama, dan saling membantu. Sesame kelompoknya saling koreksi dan memegag tanggung jawab bersama. Pemelajarannya kritis, dialogis interaktif, komunikatif, dan menyenangkan.
Pemelajaran portogolio merupakan kegiatan pemelajaran dan evaluasi yang dilakukan siswa, baik di sekolah maupun di luar sekolah secara individu atau kelompok. Para siswa disodorkan beberapa paket kegiatan belajar dan dipersilahkan memilih sesuai dengan minat dan kemampuannya.
Siswa sepenuhnya diberi tanggung jawab menyelesaikan tugas yang nantinya semua hasil perolehan siswa ditampilkan dalamsuatu forum panel atau seminar kelas. Evaluasinya bersifat terbuka. Penilaian dapat dilakukan oleh siswa yang bersangkutan, teman, nara sumber, atau guru.
Cara ain untuk melatih keterampilan sosial siswa adalah dengan melakukan observasi di laboratorium IPS yang tidak lain adalah lingkungan sosial di masyarakat. Metode observasi ini memberikan kesempatan siswa untuk terjun langsung mengamati kejadian-kejadian di lapangan yang berkaitan dengan materi kajian.
Siswa ditugasi mengumpulkan sebanyak mungkin informasi dan kejadian-kejadian interaksi sosial untuk dikaji dan dilaporkan. Misalnya dalam topik pelajaran mengenai uang, siswa ditugaskan oservasi ke pasar atau ke lingkungan masyarakat miskin. Hasil pengalaman yang siswa rasakan merupakan pemelajaran berharga bagi mereka serta menanamkan kejujuran.
Di sini penulis hanya memberikan sedikit contoh cara untuk melatih keterampilan sosial siswa. Tentunya masih banyak cara lain, tetapi kesemuanya bertujuan agar pemelajaran IPS lebih bermakna dan bermanfaat bagi siswa dan kehidupannya.

Menghidupkan Budaya Menulis

Oleh : Atin Apriyanti
          Guru SDN 2 Gembongan Kecamatan Babakan Kabupaten Cirebon
           Artikel ini pernah dimuat di rubrik Forum Guru
           Koran Pikiran Rakyat, Kamis 15 Maret 2012

Menulis berkaitan dengan tradisi. Tradisi menulis berkorelasi dengan tradisi membaca. Seorang penulis akan mahir memainkan kata jika ia juga seorang pembaca. Hasil tulisannya akan dikonsumsi oleh banyak orang jika mereeka juga memiliki kebiasaan membaca. Oleh karena itu, jangan mimpi akan lahir para penulis dari masyarakat yang belum memiliki tradisi membaca.
Masyarakat kita masih lebih suka mendengar dan tak pernah menyentuh tulisan-tulisan bermutu. Juga cenderung menjadi pendengar pasif, tanpa berani berpendapat secara lisan.
Penyampaian ajaran secara lisan kini mendominasi. Hasilnya kurang begitu menggembirakan. Seolah-olah isi yang disampaikan itu hanya numpang lewat. Mateka keteki menurut istilah seorang guru bahasa Jepang asal Cirebon. Artinya, masuk telinga kanan kemuar telinga kiri.
Dulu, radio dibutuhkan untuk mendengarkan cerita dalang yang sedang memainkan wayang. Kini, dongeng telah berubah menjadi sinetron yang disajikan di telvisi. Substansinya sama. Dongeng, wayang ataupun sinetron, semua membawa para penikmatnya untuk mendengar. Tidak terkecuali, sejak usia dini hingga usia senja.
Inilah budaya yang telah lama menjerat masyarakat kita. Para ibu lebih suka mendongeng ketika menidurkan anaknya daripada membacakan kisah-kisah menarik dengan mempertontonkan bukunya. Di sekolah, mereka mendengarkan kisah para pahlawan yang terkenal berani melawan penjajah, alih-alih membaca sendiri buku-buku sejarah. Pelajaran sejarah menjadi tidak ada bedanya dengan dongeng dan guru sejarah menjadi story teller yang memukau pendengarnya. Begitulah budaya itu terbentuk.
Menurut pakar pendidikan dan komunikasi Prof. Dr. Asep Saeful Muhtadi, menulis pada dasarnya merupakan upaya menuangkan segala informasi, baik dalam bentuk pikiran, gagasan, perasaan,  ataupun pengalaman ke dalam bahasa tulisan. Menuangkan apa yang telah tersimpan dalam memori memang dapat dilakukan dengan banyak cara.
Ketika seseorang sedang memaparkan suatu ceria dalam bentuk bahasa tulis, tentu saja tidak mensyaratkan kehadiran orang lain pada saat tulisanitu dibuat. Bahkan ada orang yang sama sekali tidak bisa memulai menulis dalam suasana banyak orang. Inspirasinya hanya munculdan mengalir jika tidak seorang pun ikut hadir menemaninya. Imajinasinya berkembang dalam suasana sendiri.
Thomas Tyner menulis buku Writing Voyage. Buku itu menarik bukan saja karena isinya yang mengaja pembacanya untuk menulis, tetapi juga karena pilihan judulnya yang mencerminkan bahwa menulis pada dasarnya merupakan seni dan keterampilan. Tyner memilih kara voyage untuk menggandeng kata writing. Voyage berarti pelayaran yang menggunakan perahu mesin atau dengan bantuan layar untuk menjaring tenaga, tapi pelayaran yang menggunakan tenaga manusia. Tepatnya, voyage berarti mendayung.
Menulis adalah pekerjaan yang membutuhkan ketekunan, tetapi juga menyenangkan. Ia akan membawa pelakunya untuk mengembara kea lam gagasan yang semakin kaya, sebab menulis berarti juga menambah pengetahuan baru sekaligus mempertajam pengetahuan yang sebelumnya telah tersedia.

Kejujuran dalam Dunia Pendidikan

Oleh : Muhammad Iqbal
          Guru PAI di SMO Aisyiyah Rancaekek Kabupaten Bandung
          Artikel ini pernah dimuat di rubrik Forum Guru
          Koran Pikiran Rakyat, Rabu 14 Maret 2012
 

Terungkapnya kasus plagiarsisme di salah satu perguruan tinggi negeri di Bandung beberapa waktu lalu bukan saja mencoreng nama baik institusi tersebut, tetapi juga dunia pendidikan pada umumnya. Plagiarisme dinilai mencederai nilai dan sifat kejujuran yang menjadi tujuan dunia pendidikan.
Ironis memang. Bagaimana tidak, sejatinyainstitusi pendidikan adalah kawah candradimuka untuk mencetak generasi bangsa yang mempunyai nilai-nilai luhur seperti kejujuran dalam sikap dan sifat, keberanian berinovasi, dan keikhlasan mengabdi pada masyarakat. Cerdas intelektual saja tidak cukup jika tanpa diimbangi kecerdasan emosional. “Saling berlakukah jujur dalam ilmu dan jangan saling merahasiakannya. Sesungguhnya berkhianat dalam ilmu pengetahuan lebih berat hukumnya daripada berkhianat dalam harta”. (HR Abu Na’im).
Begitu pentingnya nilai kejujuran dalam kehidupan, bahkan lebih penting dalam dunia pendidikan karena kejujuran dalam pendidikan merupakan fondasidanbekal untuk memasyarakatkan kejujuran yang sudah begitu langka dan mahalnya di negeri kita ini. Begitu pentingnya nilai kejujuran, konteksnya dalam hal ini adalah apabila seorang insane akademisi tidak berlaku jujur, dia desebut pengkhianat bahkan lebih kejam daripada pengkhianatan kepada harta. Mungkin ini yang sering dilupakan pendidik hingga menganggap tujuan pendidikan hanya sebatas mengejar nilai matematis hingga sampai ada ungkapan “mengajar itu sulit, tetapi mendidik itu lebih sulit.”
Terjadinya berbagai kasus sontekan misal, manipulasi nilai, bahkan plagiarisme, adalah pelajaran di mana semestinya, bangsa ini berusaha meletakkan kejujuran pada posisi yang utama. Pentingnya kejujuran harus disuarakan melalui berbagai cara, terlebih dalam dunia pendidikan.
Hal yang terkait dengan pendidikan tidak boleh mengabaikan kejujuran terhadap siapa pun. Lembaga pendidikan semestinya mengutamakankejujuran daripada kecerdasan. Bahkan lembaga pendidikan harus mampu mengantarkan para lulusannya memiliki dua kekuatan itu sekaligus, yaitu kejujuran dan kecerdasan. Andaikan harus memilih, kejujuran harus diutamakan, sebab menjadikan seseorang cerdas ternyata tidak sesulit mengantarkan orang menjadi jujur.
Begitu pentingnya kejujuran, suatu hari Nabi Muhammad saw, pernah ditanya oleh seseorang tentang amalan sekiranya ringan tetap bisa menyelamatkan. Oleh karena itu, dijawab oleh beliau dengan singkat yaitu jangan berbohong. Jawaban itu sederhana sekali, tetapi itulah modal utama yang sebenarnya dalam membangun masyarakat. Semoga ke depan pentingnya kejujuran dihayati dan disadari oleh para engambil kebijakan yang terkait dengan pendidikan sehingga berbagai kasus yang menimpa lembaga pendidikan bisa dihilangkan atau setidaknya diminimalisasi. Dan yang lebih penting, orientasi membuat orang jujur lebih diutamakan dari sekadar membuat orang cerdas tetapi mengorbankan aspek penting dalam kehidupan, yaitu kejujuran.