Rabu, 29 Agustus 2012

Tradisi Idul Fitri dan Bermaaf-maafan

Oleh : Djasepudin
Guru Honorer SMA Kosgoro Kota Bogor
Artikel ini pernah dimuat di rubrik Forum Guru
Pikiran Rakyat 24 Agustus 2012

Ramadhan dan perayaan idulfitri usai sudah. Pelesiran, jalan-jalan, atau sekadar melepas penat juga telah berlalu. Liburan bagi karyawan, pegawai negeri, dan anak sekolahan pun sudah berakhir. Kini, beragam aktivitas menanti untuk dijalani dengan kesungguhan hati.
Meskipun Ramadan sudah berlalu, nilai-nilai puasa jangan sampai terlupakan. Walau Lebaran sudah selesai, makna terdalam idulfitri jangan sampai terhenti. Sungguh merugi jika lintasan momen emas itu tidak berbekas sama sekali.
Salah satu makna dari puasa dan idulfitri adalah anjuran saling memaafkan sebab setiap manusia tak lepas dari kesalahan. Semua insan tak luput dari kealpaan. Maka dari itu, saling memaafkan sungguh mulia jika ditradisikan.
Laku ini adalah laku yang baik. Sebuah upaya agar kita terbebas dari neraka. Mendapat maaf dari manusia sekaligus, Insya Allah mendapat ampunan dari Allah SWT.
Beruntung, hampir di setiap instansi, termasuk di lingkungan pendidikan, tradisi saling bermaafan banyak dilakukan. Di lingkungan pendidikan biasa dilakukan pada hari pertama masuk sekolah.
Saling bermaafan alias halalbihalal meskipun kerap “mengambil” jatah jam pelajaran, tetapi mengandung banyak keuntungan. Tentu saja rupa keuntungan yang dirasakan tiap insan atau setiap institusi pendidikan berbeda-beda. Bergantung dari pengalaman, pengetahuan, dan perenungan yang mendalam.
Akan tetapi, tetap saja ada manfaat yang universal dari tradisi halalbihalal. Manfaat pertama, dengan saling bermaafan secara tulus di antara murid, pendidik, dan tenaga kependidikan terbebas dari dosa. Bukankah maaf yang paling mahal itu adalah maaf dari manusia? Sebab Allah SWT Maha Pengampun, Al Gafur.
Kedua, dengan halalbihalal mempererat ikatan persaudaraan. Mungkin sebelumnya ada nuansa kompetisi yang sportif, rivalitas tanpa batas, atau egoisme yang berlebihan. Karena berkah halalbihalal, semua itu bisa diminimalisasi. Atau dihilangkan sama sekali.
Dengan halalbihalal kita makin mengenal karakter seseorang. Apalagi di awal tahun pelajaran anyar. Kita kedatangan adik-adik angkatan baru. Baik kelas satu SD, tujuh SMP, atau sepuluh SMA. Nah, di momen itu pula kita bisa saling berkenalan.
Ketiga, tradisi bermaafan membuat urusan menjadi lebih ringan. Sebab ketika sudah bermaafan diharap tak ada lagi dendam yang terpendam berkepanjangan. Bila demikian, masalah yang sedang terjadi akan lebih mudah untuk diatasi. Dengan kata lain dalam mencari jalan keluar atau mengadakan kompromi-kompromi bisa lebih mudah dijalani.
Tentu saja masih banyak manfaat yang bisa kita dapatkan dari tradisi saling memaafkan. Satu yang pasti kita tidak akan mendapat keuntungan yang berarti jika tradisi saling memaafkan itu dilakukan asal-asalan. Asal ikut atau asal jadi kita pasti merugi. Sebab perbuatan yang baik mesti berasal dari kesadaran dan dilakukan dengan ketulusan hati.
Selamat idulfitri, mohon maaf dari semua kesalahan dan kelupaan.

Memperkenalkan Anak Pada Gadget

Oleh : Maylanny Cristin
          Dosen Prodi Ilmu Komunikasi dan asisten terapis Medika PSY CENTER Bandung 
          Artikel ini pernah dimuat di rubrik Inbox
          Pikiran Rakyat Kamis 23 Agustus 2012 

Suatu hari seorang teman dengan bangga bercerita tentang anaknya yang sudah sangat fasih menggunakan gadget, dan di hari yang sama, seorang ibu mengeluhkan betapa anaknya begitu kecanduan gadget kepada penulis.
Di minggu berikutnya, seorang mahasiswa menyodorkan proposal penelitian berjudul “Pengaruh Penggunaan Gadget terhadap Efektivitas Komunikasi Tatap Muka.” Di bulan yang sama, topik ini menjadi pembicaraan hangat.
Gadget sebagai peranti yang berkaitan dengan perkembangan teknologi masa kini. Yang termasuk gadget misalnya telefon seluler cerdas, komputer tablet, netbook, MP3 player, e-book reader dan sebagainya.
Meskipun gadget bukan bagian interaksi sosial, tetapi fitur menarik yang ditawarkan sering kali membuat anak cepat akrab dengannya.
Oleh karena itu, banyak orang tua menilai perangkat ini sebagai hal yang menakutkan bagi laju perkembangan anaknya. Padahal, sama seperti benda lainnya, gadget memiliki dampak positif dan negatif.
Mengacu pendapat Dwi Kumaladewi, M Psi, Psikolog dari PSY CENTER Bandung, pengenalan dan penggunaan gadget bisa dibagi ke beberapa tahap usia dengan melihat tahapan perkembangan dan usia anak.
Untuk usia anak di bawah 5 tahun, pemberian gadget sebaiknya hanya seputar pengenalan warna, bentuk, dan suara. Dengan kata lain, jangan terlalu banyak memberikan kesempatan bermain gadget pada anak di bawah 5 tahun.
Terlebih di usia tersebut yang utama bukan gadget-nya tetapi fungsi orang tua. Jadi perangkat ini hanyalah sebagai salah satu sarana untuk mengedukasi anak.
Ditinjau dari sisi neurofisiologis, otak kanan anak di bawah 5 tahun masih dalam taraf perkembangan, tetapi perkembangan ini akan lebih optimal jika anak diberi rangsangan sensorik secara langsung. Misalnya meraba benda, mendengar suara, berinteraksi dengan orang, dst.
Oleh karena itu, jika anak usia di bawah 5 tahun menggunakan gadget berkelanjutan, apabila tidak didampingi orang tua, anak hanya fokus pada gadget dan kurang berinteraksi dengan dunia luar.
Berikutnya, otak bagian depan adalah bagian yang berfungsi memberi perintah dan menggerakkan anggota tubuh lainnya. Di bagian otak belakang terdapat penggerak. Di dalamnya tercakup hormon endorfin yang mengatur pusat kesenangan dan kenyamanan.
Pada saat bermain gadget, anak akan merasakan kesenangan sehingga memicu meningkatnya hormon endorfin. Nah, kecanduan berhubungan dengan ini jika dilakukan dalam jangka waktu lama dan kontinu.
Dalam waktu lama, anak akan mencari kesenangan dengan cara bermain gadget karena memang sudah terpola sejak awal perkembangannya.
Oleh karena itu, sekali lagi, aspek interaksi socsial, perkembangan anak-anak balita bebas bergerak, berlari, meraih sesuatu, merasakan kasar halus, dan lainnya.
Memang di gadget juga ada pengenalan warna dan games orang melompat. Namun kemampuan anak untuk berinteraksi secara langsung dengan objek nyata di dunia luar tidak diperoleh anak.
Pertanyaan berikutnya, adakah dampak positif gadget? Tentu ada, yang utama adalah akan membantu perkembangan fungsi adaptif anak atau kemampuan seseorang menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan sekitar dan perkembangan zaman.
Jika perkembangan zaman sekarang muncul gadget, anak harus tahu cara menguunakannya. Anak harus tahu fungsi gadget dan bisa menggunakannya karena salah satu fungsi adaptif manusia adalah mampu mengikuti perkembangan teknologi.
Sebaliknya, anak yang tidak bisa mengikuti perkembangan teknologi bisa dikatakan fungsi adaptifnya tidak berkembang normal.
Fungsi adaptif harus menyesuaikan dengan budaya dan tempat seseorang tinggal. Kalau anak tinggal di desa di mana gadget termasuk barang langka, wajar kalau anak tidak tahu dan tidak kenal.
Nilai positif lain adalah gadget memberi kesempatan anak leluasa mencari informasi. Apalagi, anak-anak sekolah sekarang dituntut mengerjakan tugas melalui internet.
Akhir kata, adalah tugas orang tua agar bisa menyeimbangkan sisi positif gadget sejalan dengan masa tumbuh anak itu sendiri.
Kitalah, para orang tua, sebagai pihak yang paling tahu kapan waktu paling tepat memberikan, menstimulasi, bahkan menginterupsi hingga menyita gadget dari anak-anaknya masing-masing

Mengembalikan Roh Pendidikan

Oleh : Edy Rusyandi
          Guru MTs Syarif Hidayatulloh, Kecamatan Cipongkor, Kabupaten Bandung Barat
          Artikel ini pernah dimuat di rubrik Forum Guru
          Pikiran Rakyat Jumat 4 Mei 2012

Peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) setiap 2 Mei 2012 secara serentak telah diselenggarakan dengan tema besar “Bangkitnya Generasi Emas Indonesia”. Hardiknas memang lebih menjadi “ritus tahunan” yang senantiasa diperingati masyarakat. Namun, sepertinya hal ihwal menyangkut problematika pendidikan nasional dari tahun ke tahun masih saja berputar-putar seolah tanpa titik temu penyelesaian. Demikian pula halnya pegangan yang dapat dijadikan pijakan normative penyelenggaraan pendidikan, ada Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) dan berbagai peraturan pemerintah lainnya. Kontroversi Ujian Nasional, perilaku kekerasanm anggaran pendidikan, dan masih lebarnya kesenjangan hak pendidikan merupakan “kabar duka” yang masih menyelimuti dunia pendidikan nasional.
Masih dalam semangat Hardiknas, mari kita erefleksikan kondisi pendidikan saat ini dengan membuka kembali naskah-naskah ajaran Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara karena beliaulah salah seorang yang meletakkan fondasi awal pemikiran dan gerakan pendidikan di tanah air.
Banyak sekali pemikiran Ki Hajar Dewantara. Salah satunya adalah menmpatkan pendidikan sebagai alat perjuangan nasional untuk mengangkat harkatdan martabat warga pribumi dari penjajahan bangsa kolonila. Ki Hajar Dewantara menyadari betul bahwa salah satu upaya untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan adalah dengan pendidikan. Upaya ini akan berhasil jika didorong dari bawah, yaitu rakyat karena rayat merupakan kekuatan utama untuk mendapatkan pengajaran agar terdidik menjadi pandai.
Menjadi ironis jika gagasan Ki Hajar Dewantara dibenturkan dengan fakta social pendidikan saat ini. Tidak sedikit pemahaman masyarakat dan (mungkin) diantara pemangku kebijakan pendidikan yang menempatkan pendidikan sebagai lahan peruntukan pencarian materi (proyek). Tak heran, saat ini kita banyak menemukan institusi pendidikan yang kian menjauh dari keterjangkauan kemampuan biaya masyarakat secara umum. Tak sedikit pula aparat dan birokrat yang terjerat kasus hukum karena melakukan penyalahgunaan wewenang di bidang program pendidikan.
Perspektif lain dari pemikiran Ki Hajar Dewantara adalah pentingnya keseimbangan dalam muatan ajar, yang disebutkan sebagai daya cipta, rasa, dan karsa. Pentingnya keseimbangan ini merupakan bentuk apresiasi atas potensi kemanuasiaan anak didik sebagai subjek merdeka untuk mengantarkan pada jati diri sebagai makhluk berbudaya. Menitikbertkan atau mengesampingkan salah satu di antaranya merupakan tindakan panafian atas potensi kemanusiaan anak didik. Tudas utama para pendidik hanyalah fasilitator atau penuntun dari tumbuh kembangnya potensi yang ada pada anak didik menuju taraf kemandirian.
Bercermin pada sejarah dan menghadirkan kembali “roh pendidikan” sebagai élan vital perjuangan bangsa oleh seluruh masyarakat pendidikan patut kita refleksikan dalam mencermati pendidikan basional kita saat ini. Bagaimanapun kondisi saat ini, optimisme atas masa depan pendidikan nasional harus tetap terjaga seraya terus memperbaiki system pendidikan yang ada saat ini