Minggu, 10 Agustus 2014

Meniti Tali Silaturahmi

Oleh : Septiardi Prasetyo
          Pengajar Fisika di Lembaga Bimbingan Belajar Ganesha Operation
          Unit MTC Kota Bandung

Dalam sebuah hadist, Rasulullah saw. Bersabda,“Maukah aku tunjukkan amal yang besar pahalanya lebih besar daripada shalat dan shaum?” tanya Rasulullah saw. kepada para sahabat. “Tentu saja,” jawab mereka. Beliau saw. Kemudian menjelaskan, “Engkau damaikan yang bertengkar, menyambungkan persaudaraan yang terputus, mempertemukan kembali saudara-saudara yang terpisah, menjembatani berbagai kelompok dalam Islam, dan mengukuhkan tali persaudaraan di antara mereka adalah amal saleh yang besar pahalanya. Barangsiapa yang ingin dipanjangkan umurnya dan diluaskan rezekinya, hendaklah ia menyambung tali silaturahim.” (HR. Bukhari-Muslim)
Saat bulan Ramadan kaum muslimin dimanjakan dengan berbagai ritual ibadah bernilai pahala berlipat ganda dibanding bulan lainnya. Baik itu shalat wajib plus sunnah tarawihnya. Shaum plus saur dan berbukanya. Tadarus, sedekah dan lainnya. Namun bulan Syawal pun memberi peluang kepada kita untuk memperoleh pahala yang jauh lebih besar dari shalat dan puasa yang digabungkan jadi satu, yaitu silaturahmi.
Secara umum silaturahmi bisa diartikan sebagai menyambungkan hubungan yang terputus. Baik itu diakibatkan jarak secara geografis, kesibukan maupun perselisihan. Maka kata kunci silaturahmi adalah menyambung hubungan yang putus. Sekarang yang menjadi pertanyaan apakah silaturahmi cukup dilakukan melalui telefon, sms atau media sosial.
Silaturahmi tidak sama dengan bertegur sapa atau bertukar kabar melalui media komunikasi. Karena silaturahmi berkaitan erat dengan usaha dalam membangun ikatan persaudaraan yang sebelumnya terputus. Maka membina hubungan tersebut tidak cukup melalui media komunikasi saja tetapi diutamakan bertatap muka langsung. Akan lebih sempurna bila dilakukan dengan datang langsung ke tempat tinggal yang bersangkutan. Sehingga kita bisa berinteraksi bukan hanya dengan yang bersangkutan juga dengan orang-orang di sekitarnya.
Memperbanyak silaturahmi ternyata dapat mempengaruhi kondisi psikologis dan fisiologis seseorang. Salah satunya dapat melembutkan hati. Menyambung hubungan persaudaraan yang terputus dibutuhkan keikhlasan, kebesaran jiwa dan toleransi yang tidak kecil. Maka dengan membina silaturahmi dapat mempengaruhi kelembutan hati secara langsung.
Manfaat berikutnya dapat menceriakan bentuk wajah. Memperbanyak silaturahmi berarti memperbanyak tatap muka langsung dengan orang lain. Dengan membiasakan bersilaturahmi tanpa disadari kita juga telah membiasakan diri untuk selalu tersenyum demi menyenangkan dan menciptakan rasa nyaman bagi orang lain.
Yang tak kalah pentingnya atau mungkin yang jarang terpikirkan oleh kita adalah menghilangkan rasa malas. Adakalanya orang yang harus kita sambung silaturahminya berada di tempat yang jauh. Maka untuk melakukannya diperlukan usaha, waktu kadang biaya yang tidak sedikit. Maka secara tidak langsung menjalin silaturahmi dapat menghapus rasa malas juga sifat kikir.
Semoga kita semua digolongkan oleh Allah sebagai hamba yang gemar menyambung tali silaturahmi. Amin

Jumat, 04 Juli 2014

Setuju dengan Pendidikan Karakter

Oleh : Septiardi Prasetyo
          Pengajar Fisika di Lembaga Bimbingan Belajar Ganesha Operation
          Unit MTC Kota Bandung

Dalam sebuah wawancara di salah satu televisi swasta nasional, Capres yang tidak perlu disebutkan nama dan nomor urutnya mengutarakan keprihatinan terhadap sistem pendidikan Indonesia saat ini. Kemerosotan akhlak dan lemahnya karakter generasi muda mengharuskan pemerintah mengevaluasi secara menyeluruh sistem pendidikan Nasional. Seharusnya pendidikan akhlak ditanamkan sejak anak sekolah tingkat SD.
Mengutip pernyataan beliau, idealnya untuk sekolah dasar (SD) 80% diisi pendidikan akhlak, karakter dan budi pekerti sedangkan sisanya pengetahuan umum. Untuk SMP 60% akhlak, karakter dan budi pekerti, 40% nya pengetahuan umum. Sedangkan untuk SMA sebaliknya dari SMP. Beliau berpendapat kalau pendidikan sekarang tingkat SD terlalu dijejali matematika dan pengetahuan umum lainnya.
Pakar pendidikan karakter, Thomas Lickona menyatakan bahwa pendidikan karakter (character education) terdiri atas konsep moral (moral knowing), sikap moral (moral felling) dan perilaku moral (moral behavior). Pengetahuan moral diperlukan untuk memberikan pemahaman tentang nilai-nilai positif di lingkungannya. Kepekaan siswa pun perlu dilatih melalui penjelasan contoh kasus dan pemberian motivasi tentang manfaat berperilaku baik hingga tumbuh keinginan siswa untuk menirunya. Yang terpenting yang merupakan tujuan dari proses pendidikan karakter adalah aplikasi dalam kehidupan sehari-hari. Proses ini merupakan lanjutan dari dua proses sebelumnya. Sehingga pembekalan pengetahuan moral dan motivasi harus terus disuntikkan di semua jenjang pendidikan.
Namun diproses ketiga inilah yang dinilai paling lemah. Karena dalam penerapannya diperlukan keterlibatan beberapa pihak yang oleh Ki Hajar Dewantara disebut sebagai Tri Pusat Pendidikan. Pusat pendidikan yang pertama adalah keluarga. Keluarga sebagai komunitas utama sepulang siswa dari sekolah. Jika keluarga dapat memainkan perannya dalam pendidikan maka bisa menjadi penentu terbesar bagi keberhasilan pendidikan putra-putrinya.
Kedua, lingkungan sekolah. Sebagai lingkungan pendidikan formal, sekolah memainkan peran terbesar kedua dalam pembentukan karakter siswa. Sayangnya, peran sekolah dalam pendidikan masih dibatasi oleh kurikulum dan kuantitas mata pelajaran yang masih dirasa memberatkan. Sehingga pihak sekolah terlalu disibukkan oleh berbagai administrasi dan rutinitas yang tidak ada hubungannya dengan pendidikan karakter secara langsung.
Ketiga, Lingkungan Organisasi Pemuda atau bisa diartikan sebagai lingkungan masyarakat. Tempat di mana siswa dapat secara langsung mempelajari dan menerapkan pengetahuannya. Peran lingkungan masyarakat ini terkadang menjadi faktor yang paling dominan dalam pembentukan karakter bila fungsi keluarga dan peran sekolah tidak dapat bekerja.
Setuju dengan pendidikan karakter dengan catatan persentase tidak dimaksudkan penambahan mata pelajaran atau jam belajar. Karena akan membebani dan mengurangi makna dari pendidikan karakter itu sendiri. Alangkah bijaksananya bila pendidikan karakter diintegrasikan pada setiap mata pelajaran yang telah ada.

Kamis, 26 Juni 2014

Memilih Sekolah

Oleh : Sidiq Wachyono
           Guru SMA di Kabupaten Bandung Barat
          Artikel ini pernah dimuat di rubrik Forum Guru
          Koran Pikiran Rakyat, Kamis 26 Juni 2014

Pada akhir tahun pelajaran dan memasuki awal tahun pelajaran baru, orangtua mulai sibuk mencari sekolah bagi putra-putrinya, baik yang baru menginjak bangku persekolahan maupun yang naik ke jenjang pendidikan lebih tinggi. Hal yang menjadi pertimbangan orangtua dalam mencari sekolah adalah dalam pemilihan sekolah yang berkualitas.
Pada dasarnya, sekolah-sekolah yang ada di lingkungan pendidikan kita mengemban visi dan misi pendidikan nasional. Setiap sekolah berfungsi mencerdaskan kehidupan bangsa dan bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Menurut pasal  Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, orangtua berhak berperan serta dalam memilih satuan pendidikan dan memperoleh informasi tentang perkembangan pendidikan anaknya. Satuan pendidikan yang akan dipilih atau diminati orangtua, sangat tergantung dari sudut pandang penilaian orangtua dan masyarakat terhadap kualias satuan pendidikan tersebut.
Dari hasil penelitian, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa dalam proses pembelajaran di sekolah, yakni kurikulum, kompetensi guru, sarana prasarana, lingkungan sekolah, dan evaluasi. Hal tersebut dapat dijadikan pedoman orangtua dalam memilih sekolah untuk putra-putrinya.
Para orangtua dalam memilih sekolah perlu mengetahui kurikulum yang dilaksanakan oleh sekolah tersebut. Kurikulum yang menerapkan pendidikan karakter dan sikap, sebaiknya lebih diutamakan. Lihat pula kompetensi gurunya apakah sudah profesional atau belum, gurunya berkarakter baik atau tidak. Coba cari tahu juga kehadiran gurunya di kelas, dan proses pembelajaran yang berlangsung.
Orangtua hendaknya memperhatikan sarana dan prasarana yang tersedia di sekolah yang akan dituju, karena itu diperlukan dalam menunjang kegiatan belajar mengajar. Selanjutnya perhatikan kultur sekolah, berupa lingkungan sekolah. Pilihlah sekolah yang dapat menjamin keamanan dan keselamatan siswanya, serta dapat menciptakan lingkungan pendidikan yang nyaman. Evaluasi yang dilakukan di sekolah yang akan dituju sebaiknya diketahui juga. Evaluasi yang baik, dilakukan secara multidimensi dengan memperhatikan aspek kognitif, afektif, psikomotorik dan berlangsung secara jujur.
Secara umum dalam memilih sekolah dapat dilihat dari pencapaian status akreditasinya, namun predikat akreditasinya, namun predikat akreditasi terkadang tidak dapat menjamin kualitas sekolah. Untuk menilai kualitas sekolah dapat juga dengan memihat prestasi sekolah tersebut dalam berbagai kompetensi yang diikutinya, baik di bidang akademik maupun nonakademik. Selain itu, perlu juga mengenai kualitas alumninya.
Dengan memperhatikan indikator kualitas sekolah, diharapkan orangtua dapat memililih alternative sekolah secara bijak bagi putra-putrinya. Dan, sejatinya setiap sekolah senantiasa berusaha untuk menjadi sekolah yang berkualitas.

Minggu, 15 Juni 2014

Mencari Pengganti Ujian Nasional

Oleh : Sidiq Wachyono, Guru SMAN 1 Cisarua
          Kabupaten Bandung Barat
          Artikel ini pernah dimuat di rubrik Forum Guru
          Koran Pikiran Rakyat

Kekisruhan Ujian Nasional (UN) baik di tingkat sekolah menengah atas (SMA) maupun sekolah menengah Pertama (SMP) yang terjadi dari tahun ke tahun menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah, pendidik dan tenaga kependidikan. Kebocoran soal maupun kunci jawab UN yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab menodai pelaksanaan hajat nasional tersebut. Kasus jual beli kunci jawab UN yang melibatkan siswa dan guru, serta berbagai kecurangan yang dilakukan siswa saat UN menimbulkan keprihatinan dan keresahan dalam dunia pendidikan.
Penyelenggaraan UN yang disinyalir lebih banyak mendatangkan mudarat dibandingkan manfaatnya itu, patutkah dilanjutkan? Sementara itu dalam proses pelaksanaan pendidikan, evaluasi sangatlah diperlukan untuk mengetahui keberhasilan dalam pendidikan. UN yang merupakan salah satu bentuk evaluasi, tidak baik juga jika dihapuskan sama sekali tanpa ada penggantinya.
Menurut hemat penulis, alangkah baiknya penyelenggaraan ujian bagi siswa kelas IX SMP, dan kelas XII SMA/MA/SMK dikoordinasikan oleh provinsi sebagaimana penyelenggaraan ujian untuk murid kelas VI SD saat ini. Dengan demikian, yang bertanggung jawab penuh dalam pelaksanaan ujian itu adalah gubernur dan kepala dinas pendidikan provinsi. Segala kebijakan yang menyangkut prosedur operasi standar ujian cukup diurus oleh provinsi saja. Dalam hal ini, pemerintah pusat hanya bertugas memantau kerja tim pelaksana di tiap-tiap daerah/ provinsi.
Tentunya, pihak pusat turut andil juga dalam menentukan standar kualitas pendidikan. Misalnya Badan Standar Nasional Pendidikan (BNSP) dapat menyusun standar kompetensi lulusan, kemudian memberikan kisi-kisi soal ujian atau dalam bentuk indikator soal kepada pihak berwenang di provinsi. Selanjutnya pembuatan dan penggandaan naskah ujian dilakukan oleh pihak provinsi. Kondisi geografis dan kearifan local tiap provinsi yang berbeda-beda, memungkinkan naskah ujian yang disusun oleh tim pembuat soal di tiap provinsi akan berbeda-beda.
Jika ujian siswa SD, SMP dan SMA/MA/SMK dilakukan oleh pihak provinsi, maka kinerja dari tiap-tiap pemerintah daerah dalam penyelenggaraan ujian nasional akan lebih terlihat. Dengan begitu, setiap provinsi akan menunjukkan prestanya dalam proses penyelenggaraan ujian tersebut. Provinsi yang berprestasi dalam hal penyelenggaraan ujian tersebut. Provinsi berprestasi dalam hal penyelenggaraan ujian, dapat diberikan penghargaan oleh pemerinta pusat. Sementara bagi provinsi yang melakukan pelanggaran dalam penyelenggaraan ujian ditindak dan diberi sanksi serta dilakukan proseshukum secara tegas bagi pelakunya.
Penyelenggaraan ujian yang dikelola oleh provinsi, sejalan dengan semangat otonomi daerah yang salah satunya adalah otonomi pendidikan. Ujian yang diselenggarakan oleh pihak provinsi juga dapat meminimalisasi kasus yang selama ini muncul dalam pelaksanaan UN. Sehingga pelaksanaan ujian yang jujur dan berkualitas dapat terselenggara dengan baik. Wallahu alam bishshwabi.

Kamis, 12 Juni 2014

Pembentukan Identitas Berpikir

Oleh : M. Romyan Fauzan
             Pengajar di Yayasan Pesantren Al Fatah, Cikembang
          Kec. Kertasari, Kab. Bandung

Satu-satunya orang yang bisa mengubah pikirannya adalah orang yang tak punya pikiran (Edward Noyes Westcott).
Sejak politik etis didirikan oleh pemerintahan Hindia Belanda, bangsa kita telah mengenal pendidikan tinggi. Tepatnya pada tahun 1902 di Batavia didirikan School tot Opleiding van Inlandsche Artsen dikenal sebagai Sekolah Dokter Bumi Putera. Kemudian NIAS (Nederlandsch Indische Artsen School) tahun 1913 di Surabaya (Wikipedia.org). Lebih dari satu abad pendidikan tinggi berkembang amat pesat. Tujuan tidak lain, untuk mencapai sesuatu hal yang mulia, yakni membentuk seseorang menjadi lebih baik kualitas sumber daya manusianya.
Perguruan tinggi menghasilkan orang-orang yang suatu hari memegang peranan penting bagi bangsa dan Negara. Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Sjahrir, adalah orang-orang yang mengenyam pendidikan tinggi semasa hidupnya. Mereka adalah orang-orang yang paham betapa pentingnya pendidikan dalam kehidupan sebagai pemimpin.
Dari sejarah, kita bisa melihat pikiran-pikiran yang keluar dari diri mereka. Pikiran yang berkualitas tidak hadir begitu saja. Pemikiran adalah hasil dari pikiran dan hadir dari pemupukan yang begitu panjang dan tertata sehingga menghasilkan buah yang manis dan segar. Bagaimana kita memupuk pemikiran menjadi buah yang manis seperti mereka kalau tidak ditata dengan baik.
Penulis beranggapan, pembentukan pola pikir itu dibentuk oleh waktu. Kesadaran berpikir seseorang dan kemudian ditumpahkan dalam tindakan tidak hadir begitu saja. Ada proses yang mesti dilalui oleh seseorang sehingga pola pikirnya berkualitas. Hal inilah yang penulis kira membedakan antara orang yang berkuliah dan tidak berkuliah. Pengetahuan bisa didapatkan di mana saja., itu benar adanya. Tetapi tipis beda antara pengetahuan dan pendidikan. Pengetahuan menurut Pram adalah “..Betapa pun tingginya, dia tidak berpribadi. Sehebat-hebatnya mesin, dibikin oleh sehebat-hebat manusia dia pun tidak berpribadi.” Sementara itu, pendidikan yang tentu di dalamnya ada ilmu pengetahuan adalah buah proses hidup, seperti apa yang dikatakan oleh Dewey bahwa pendidikan bukan persiapan untuk hidup; pendidikan adalah kehidupan itu sendiri.
Bisa dilihat bahwa pengetahuan tanpa pendidikan bisa menjadikan diri kita tak berkepribadian. Inilah yang penulis maksud dengan pentingnya proses pendidikan, dalam hal ini kuliah di pendidikan tinggi sebagai bagian dari jalan menuju pembentukan karakter seseorang. Kuliah sebagai salah satu jembatan dalam proses kehidupan memiliki banyak hal yang bisa digali dalam menemui identitas diri. Setelah lulus dari SMA/MA/SMK ada pemandangan terbentang yang harus dilalui menuju cita-cita seseorang.
Memang tanpa kuliah pun bisa ditemukan identitas seseorang. Namun, jangan lupa, ada kualitas internal dan eksternal yang mempengaruhi perubahan diri selama proses itu berlangsung. Kuliah yang setidaknya dikelilingi orang-orang yang selalu haus akan ilmu akan berpengaruh pada internal seseorang.
Tetapi ada yang ditakutkan ketika kuliah menjadi tujuan yang lain dari seseorang, yakni kuliah sebagai gaya hidup. Ini jelas sesuatu yang salah kaprah mengingat kita tidak hidup dengan gaya hidup, tetapi lebih dalam kehidupan itu sendiri. Seharusnya kuliah adalah pembentukan identitas seseorang ketika bagian internal dan eksternalnya bisa mengutuhkan dirinya sebagai seorang manusia dengan demikian, identitas dengan pemikiran yang berkualitas bisa lahir dari setiap generasi yang singgah di dunia perguruan tinggi di dunia perkuliahan. Amin.

Senin, 09 Juni 2014

Mengubah Karakter Bangsa

Oleh : Emas Kurnianingsih 
           Guru di SMAN 2 Banjarsari Ciamis
              dan Jurnalis Tabloid Pendidikan Ganesha Ciamis 
           Artikel ini pernah dimuat di rubrik Forum Guru, Koran Pikiran Rakyat

Membaca tulisan guru besar Universitas Padjajaran Deddy Mulyana yang berjudul “Karakter Bangsa” di salah satu harian Nasional beberapa tahun lalu, membuat saya ingin menuangkan isi hati atau lebih tegasnya menganalisis tulisan itu. Deddy Mulyana mengutip pandangan Mochtar Lubis yang berjudul “Manusia Indonesia” (1981) sebagai orang yang munafik, tak bertanggung jawab, feodal, percaya takhayul, artistik, berwatak lemah dan boros.
Mirip sekali melihat pandangan seperti itu. Namun, disadari atau tidak, kenyataan membuktikan bahwa sebagian besar penduduk Indonesia memang seperti itu. Banyak sekali pendukung fakta itu. Contohnya, pelajar dan mahasiswa sekarang banyak melakukan plagiat dan menyontek karya orang lain, karyawan, pegawai, birokrat, plitikus membeli gelar daripada belajar dengan benar.
Sulit membedakan orang yang benar-benar jujur, murni dengan orang yang pura-pura, dan penuh kemunafikan. Orang yang jujur, berkata benar, polos, bertindak sewajarnya dianggap tidak guyub dan dianggap aneh. Lebih parah lagi disebut munafik. Apa sedemikian parahnya moral bangsa kita sekarang.
Sangat disayangkan, manusia Indonesia terutama generasi penerus banyak yang berkiblat ke Negara Barat, bukan untuk hal yang positif, tetapi hal yang negatif. Kemajuan teknologi dimanfaatkan tidak pada tempatnya, gambar-gambar porno, klip film berdurasi pendek bertebaran di pesawat telefon, belum termasuk yang terdapat dalam keping DVD dan VCD. Apakah ini karena Negara kita pernah dijajah oleh bangsa Eropa yang notabene lebih maju peradabannya ataukah tidak bisa menampilkan kepribadian asli kita sampai harus meniru bangsa lain?
Kalau begitu sinyalemen Ibnu Khaldun benar adanya bahwa orang-orang taklukan selalu meniru penakluknya, baik dalam berpakaian, perhiasan, kepercayaan, dan adat istiadat lainnya. Hal ini disebabkan adanya keinginan untuk menyamai mereka yang telah mengalahkan menaklukannya. Orang-orang taklukan menghargai para penakluknya secara berlebihan. Kalau keyakinan ini bertahan lama, hal itu akan membekas dalam dan lama serta akan membawa pada peniruan semua ciri penakluknya. Mereka ini yakin bahwa peniruan atas segala yang dilakukan sang penakluk akan menghapuskan segala penyebab kekalahannya.
Tidak bisa dimungkiri, sistem pendidikan kita pada masa lalu menyebabkan bangsa kita berwatak lemah. Kepribadian yang malas, tidak jujur, dan tidak percaya diri sudah mendarah daging dan parahnya dampak masalah tersebut mengakibatkan korupsi, kolusi, dan nepotisme semakin menjamur sehingga pada akhirnya membawa krisis moral, politik, dan ekonomi. Padahal manusia masa depan yang harus dihasilkan oleh pendidikan antara lain manusia yang melek teknologi dan melek pikir yang semuanya disebut melek kebudayaan yang mampu think globally but act locally.
Mencermati kembali hari Pendidikan Nasional 2 Mei yang baru lalu, mengingatkan kita pada tujuan pendidikan nasional yaitu mencerdaskan bangsa dan membina manusia seutuhnya serta mencetak anak didik untuk menjadi insan yang beriman dan berwatak, berakhlak mulia serta cinta tanah air, dan semuanya itu memerlukan langkah konkret untuk merealisasikannya.

Rabu, 16 April 2014

Ujian Nasional

Oleh : Mohamad Surya
         Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia
         Artikel ini pernah di muat di rubrik Opini
         Koran Pikiran Rakyat, Selasa 15 April 2014

Di tengah hiruk-pikuk perbincangan politik pasca Pemilu 2014 yang diselenggarakan 9 April lalu, perhelatan besar di dunia pendidikan yang disebut Ujian Nasional pun hadir kembali. Berkenaan dengan substansi perbincangan dalam tulisan ini, isu utamanya bukan terletak pada penghapusan atau tidaknya UN, tetapi pada upaya untuk membawa kembali UN ini ke habitatnya di dunia pendidikan yang berbasis nilai-nilai pedagogik.
Mengapa? Ya, karena ada kecenderungan UN oelan-pelan telah terseret ke luar habitat pendidikan sehingga dengan mudah berkembang menjadi wacana yang tidak lagi bersifat “pendidikan”.
Di dunia pendidikan, UN merupakan salah satu bentuk konsep yang lebih generik yaitu “evaluasi belajar”. Evaluasi belajar merupakan unsur pendidikan untuk mendapatkan informasi objektif dari proses pembelajaran sebagai landasan pengambilan keputusan pendidikan yang berkenaan dengan kemajuan belajar sebagai unsur mutu pendidikan, efektivitas proses pembelajaran, efisiensi pengelolaan, relevansi isi pembelajaran, kualitas kinerja guru, relevansi kebutuhan masyarakat dsb.
Dalam konsep yang lebih luas, mutu pendidikan mempunyai makna sebagai suatu kadar proses dan hasil pendidikan secara keseluruhan. Di samping berkaitan dengan aspek proses, mutu pendidikan berkaitan pula dengan aspek hasi pendidikan. Dari aspek “hasil”, mutu pendidikan dilihat dari hasil kualitas atau kadar perubahan yang terjadi dalam diri keseluruhan peserta didik.
Saat ini, pendidikan lebih dipersempit dengan persekolahan, dan persekolahan dipersempit dengan proses belajar-mengajar yang lebih dipersempit lagi dengan proses pencapaian pengetahuan pengetahuan yang lebih berat secara kognitif. Dengan demikian, hasil pendidikan sangat dipersempit dengan hasil belajar yang berupa penguasaan kognitif yang diukur dengan alat ukur yang disebut Ujian Nasional, dan hasilnya dinyatakan dengan angka hasil olahan jawaban terhadap soal UN. Saat ini, UN masih dipergunakan sebagai satu-satunya indicator mutu, sehingga memunculkan pandangan bahwa semakin tinggi presentase kelulusan UN yang diperoleh, semakin tinggi pula mutu pendidikannya.
Tentu saja cara pandang demikian dapat mengurangi makna mutu pendidikan yang sesungguhnya dan menyempitkan makna pendidikan dan dapat mengarah kepada suatu pola pikir intelektual-elititis yaitu memandang kesuksesan dari sudut intelektual/kognitif, dan menyisihkan mereka yang berada pada lapisan bawah (nilai UN rendah) untuk kemudian membentuk satu kelompok elite intelektual.
Hasil Pendidikan
Dalam konteks yang lebih luas, hasil pendidikan mencakup tiga jenjang yaitu produk, efek, dan dampak. Hasil pendidikan yang berupa “produk”, adalah wujud hasil yang dicapai pada akhir satu proses pendidikan, misalnya akhir satu proses instruksional, akhir caturwulan/semester, akhir tahun ajaran, akhir jenjang pendidikan dsb. Wujudnya dinyatakan dalam satu satuan ukuran tertentu seperti angka, grade, peringkat, indeks prestasi yudisium, nilai UN, dsb. Sebagai gambaran mutu hasil pendidikan dalam periode tertentu.
Hasil pendidikan berupa “efek”, adalah perubahan lebih lanjut terhadap keseluruhan kepribadiaan peserta didik sebagai akibat perolehan produk dari proses pendidikan (pembelajaran) dari satu periode tertentu. Perolehan produk pendidikan yang dinyatakan dalam bentuk hasil belajar seperti angka, hasil UN, IP, dsb. Seyogianya memberikan pengaruh (efek) terhadap perubahan keseluruhan perilaku/ kepribadian peserta didik, seperti dalam pemahaman diri, cara berfikir, sikap, nilai, dan kualitas kepribadian lainnya. Selanjutnya hasil pendidikan yang berupa “dampak”, adalah berupa pengaruh lebih lanjut hasil pendidikan (yang berupa produk dan efek pada diri peserta didik) terhadap kondisi dan lingkungannya baik di dalam keluarga ataupun masyarakat secara keseluruhan.
Pada umumnya hasil yang  berupa produk inilah yang sering digunakan sebagai indicator mutu pendidikan yang sudah tentu dengan asumsi dapat memberikan gambaran hasil pendidikan. Hasil pendidikan yang beruppa efek dan dampak masih belum digunakan untuk melihat mutu pendidikan, sehubungan dengan sulitnya membuat indikator secara objektif.
Namun, hendaknya menjadi perhatian berbagai pihak bahwa melihat mutu pendidikan hanya dari segi produk (yang sudah dipersempit dari makna pendidikan) belum dapat memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai mutu pendidikan.
Dalam konteks pandang filosofis populis egalitarian (sebagai lawan dari filosofis intelektual elitis), kita harus memandang bahwa semua anak sebagai peserta didik berhak dinilai mutu pendidikannya dari sudut pandang holistik. Kita bukan harus menyisihkan mereka yang karena nilai UN-nya rendah, dan kemudian membentuk elite yang terdiri atas mereka mereka yang memiliki nilai UN tinggi, dengan asumsi merekalah yang akan menjadi pemimpin dan peanjut kehidupan. Kita harus membdayakan semua anak bangsa dengan mutu secara holistik yaitu kepribadian dan kontribusinya pada lingkungan.
Kepedulian kedua yang berkenaan dengan evaluasi belajar adalah memosisikan kembali “guru” sebagai insane pendidikan dalam keseluruhan operasional pendidikan. Dalam kaitannya desentralisasi pendidikan, sistem penilaian yang dikembangkan sudah tentu harus tetap menjaga keseimbangan standar nasional yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Dalam desentralisasi pendidikan, penyelenggaraan evaluasi belajar diharapkan akan mampu terwujud dengan lebih menyentuh sisi pendidikan yang paling esensial. Dalam habitat yang sesungguhnya, evaluasi belajar berada dalam koridor paradigma pendidikan dan guru berada dalam posisi sentral.

Selasa, 15 April 2014

Akibat Beban Berat Kurikulum

Oleh : Septiardi Prasetyo
          Pengajar Fisika di Lembaga Bimbingan Belajar
          Ganesha Operation Unit MTC Kota Bandung

Pernahkah anda mengecek isi tas putra-putri anda sebelum mereka pergi ke sekolah? Coba perhatikan jumlah buku yang mereka bawa. Bila hari itu mereka belajar empat mata pelajaran. Setidaknya pagi itu mereka akan membawa empat buku catatan, empat buku tugas, empat BSE (Buku Berstandar Elektronik) dan empat Lembar Kerja Sisa (LKS). Jumlah ini akan bertambah bagi siswa yang sekolahnya berstatus Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) atau Sekolah Berstandar Internasional (SBI). Karena mereka dibekali buku paket RSBI/SBI dan worksheet. Tidak heran bila model tas sekolah jaman sekarang berukuran besar-besar. Terlihat kontras dengan pundak-pundak mungil yang menggendongnya.
Saya bertanya kepada anda, para orang tua. Dalam sehari, berapa jamkah anda berkumpul dengan putra-putri anda di rumah? Anda bisa memperkirakan angkanya. Dan angkanya akan jauh berkurang bila putra-putri anda aktif dalam kegiatan ekskul, les musik, bimbingan belajar dan lainnya. Jangan bayangkan angkanya bila kedua orangtua memiliki kesibukan bekerja.
Kurikulum pendidikan kita dinilai memberatkan bagi siswa dan keluarga. Dari segi jumlah mata pelajaran, konten pembelajaran hingga jumlah jam pelajaran. Ada yang menilai bila anak-anak dari Jepang belajar menggunakan kurikulum kita maka kualitas output yang dihasilkannya tidak akan jauh berbeda dengan kita. Dalam buku berjudul Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidemensional, Masnur Muslich menulis Sistem pendidikan di Indonesia justru menyiapkan seluruh siswa untuk dapat menjadi Ilmuwan dan pemikir (filsuf). Seluruh mata pelajaran dirancang sedemikian rupa  sulitnya sehingga hanya dapat diikuti oleh 10 sampai 15 persen siswa saja atau mereka yang mempunyai IQ di atas 115.
Berbeda dengan di Jepang, kurikulumnya lebih terfokus pada pendidikan 85 persen siswanya yang ber-IQ di bawah 115. Sehingga pembelajaran di kelas dinilai tidak memberatkan dan lebih menyenangkan. Kurikulum di negeri matahari terbit ini lebih diarahkan pada penciptaan lulusan yang terampil dan kreatif. Yang disiapkan untuk menjadi motor pembangunan di negaranya. Berbeda dengan kurikulum kita jangankan memproduksi lulusan yang mampu bersaing dengan lulusan Negara lain, untuk menjadi tuan di tanah airnya sendiri pun masih belum mampu. Yang lebih miris lagi, profesi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri masih didominasi oleh buruh dan pembantu rumah tangga. Tidak mengherankan bila banyak dari mereka yang mengalami nasib miris.

Minggu, 13 April 2014

Wajib Belajar PAUD

Oleh : Akhmad Khusaeri, M.MPd
          Guru di Yayasan Nur Al Rahman, Cimahi
          Artikel ini pernah dimuat di rubrik Suluh
          Koran Tribun Jabar, Selasa 18 Maret 2014

Salah satu rekomendasi dalam Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan (RNPK) pada tanggal 5-7 Maret 2014 lalu adalah akan diadakannya program Wajib Belajar Pendidikan Anak Usia Dini (Wajar PAUD). Pertanyaannya kemudian, seberapa pentingkah seorang anak di bawah usia 6 tahun harus mengikuti aktivitas sekola? Dan apakah tidak lebih baik di rumah saja bersama pengasuhan orang tuannya dan menyiapkan masuk Sekolah Dasar (SD)?
Hal itu berawal dari evaluasi dan temuan bahwa masih ada kurang lebih 23 ribu desa di negeri ini yang belum memiliki tempat PAUD atau sekitar 40 persen desa yang ada di seluruh Indonesia yang belum melaksanakan program “Satu Desa Satu PAUD”. Padahal pada usia dini (4-6 tahun) merupakan masa peka bagi anak. Anak mulai sensitive untuk menerima berbagai upaya perkembangan seluruh potensi mereka. Masa peka merupakan masa terjadinya pematangan fungsi-fungsi psikis yang siap merespon stimulasi yang diberikan oleh lingkungannya.
Masa ini merupakan masa untuk meletakkan dasar pertama dalam mengembangkan kemampuan fisik, kognitif, bahasa, social, emosional, konsep diri, disiplin, kemandirian, seni, moral, dan nilai-nilai agama. Karenanya pada masa ini disebut usia keemasan (golden age) yang jika distimulasi dengan baik maka akan mampu mengoptimalisasi potensi yang dimiliki anak.
Benjamin S Bloom mengatakan bahwa 50 persen kemampuan belajar seseorang akan ditentukan pada 4 tahun pertamanya (0-4 tahun), 30 persen berkembang pada 4 tahun berikutnya (4-8 tahun). Sementara itu, hal-hal yang dipelajari seseorang sepanjang hidupnya dibangun di atas dasar ini (0-8 tahun), sedangkan sisanya 20 persen berkembang pada 10 tahun berikutnya (8-18 tahun).
Oleh karena itu, peran pendidikan pada usia dini dari orangtua, guru atau orang dewasa lainnya sangat diperlukan dalam upaya pengembangan potensi. Upaya tersebut bisa dilakukan melalui kegiatan bermain seraya belajar bermain. Sebab, dengan bermain anak memiliki kesempatan untuk mengekplorasi, menemukan, mengekspresikan perasaan, berkreasi serta belajar secara menyenangkan. Selain itu bermain membantu anak mengenal dirinya sendiri dan lingkungannya.
Satu Desa Satu PAUD
Kehadiran PAUD yang belakangan ini menjadi konsen pemerintah-dalam hal ini Kemendikbud-adalah semata dimaksudkan untuk pembinaan yang ditujukan kepada anak sampai usia enam tahun, yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan lebih lanjut (UU 20/2003).
Komitmen memberikan pendidikan sejak usia dini merupakan sesuatu yang mesti, apalagi hal tersebut menjadi kesepakatan internasional seperti Komitmen Jomtien, Thailandi (1990) menyepakati “perlunya memperjungkan kesejahteraan bagi anak”, Deklarasi Dakar, Sinegal (2000), dan komitmen New York, USA (2002). Oleh karena itu, hadirnya program “Satu Desa Satu PAUD” bisa menjadi cikal bakal adanya program Wajar PAUD dalam memberikan akses pada anak-anak usia dini di negeri ini untuk mengukuhkan pendidikannya.
Namun tentunya implementasi di lapangan tidak akan semudah membalikkan telapak tangan, aka nada banyaj jalan terjal dan menanjak dalam mencapainya. Itu semua menjadi tantangan pemerintah dan seluruh stakeholder pendidikan yang harus ditaklukan agar mimpi emas itu terwujud.
Tantangan itu di antaranya masih terdapat kesalahpahaman tentang PAUD sehingga sebagian masyarakat ada yang masih enggan mengikutinya. Oleh karenanya perlu ada pelurusan pemahaman tentang PAUD, yaitu pertama, PAUD bukan untuk “mendinikan sekolah” dengan mengajarkan hal-hal yang belum saatnya. Kedua pelaksanaan PAUD harus sesuai dengan tahap perkembangan dan potensi masing-masing anak. Ketiga, PAUD dilaksanakan melalui bermain, sehingga tidak merampas dunia anak. Keempat, PAUD bertujuan untuk melejitkan semua potensi anak (motorik, bahasa, kognitif, emosional, dan sosial) dengan mengedepankan kebebasan memilih, merangsang kreativitas, dan penumbuhan karakter.
Akhirnya, penting atau tidaknya sebuah proses pendidikan di usia dini dapat kita rasakan sendiri, ketika masa golden age anak kita berlalu begitu saja tanpa ada proses pengembangan potensi alamiahnya, maka itu menjadi jawaban tersendiri atas kebutuhan bangsa ini terhadap adanya PAUD sebuah tempat yang akan memberikan rangksangan pendidikan yang menyenangkan, merangsang semua aspek kecerdasan anak sesuai tahap perkembangan , potensi, dan kebutuhan masing-masing anak tanpa ada paksaan sehingga menghantarkan pada sebuah suasana dan tempat/ desa/ kelurahan yang ramah anak.
        

Jumat, 11 April 2014

Bebaskan PPDB Dari Kecurangan

Oleh : Muhammad Syarifudin Iriyanto
          Sekretaris Dewan Pendidikan Kota Bandung
          Artikel ini pernah dimuat di rubrik Forum Guru
          Koran Pikiran Rakyat, Kamis 10 April 2014

Kita dikejutkan dengan pernyataan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil bahwa dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang dilaksanakan sekolah setiap tahunnya telah terjadi kecurangan sehingga beredar uang suap sekitar Rp 20 miliar. Untuk itu, Wali Kota Bandung akan membentuk tim panitia independen yang melibatkan untusr kepolisian, tentara, dan kejaksaan.
Pernyataan Kang Emil itu tidak keluar sembarangan, pasti didukung data yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Sahabat saya yang selalu mengamati kecurangan PPDB di KotaBandung memprediksi, uang haram yang beredar jauh lebih besar. Bisa mencapai 2 bahkan 3 kali lipat dari perkiraan Kang Emil.
Hasil pemantauan dan kajian yang pernah kami lakukan, kecurangan selalu terjadi pada jalur nonakademis, meliputi jalur siswa berpresti dan siswa tidak mampu. Sementara itu, pada jalur akademis relatif tidak terjadi penyimpangan karena dilakukan secara terbuka dan transparan melalui sistem online yang dapat dilihat dan diawasi semua orang.
Kecurangan dan suap dalam PPDB disebabkan dua hal. Pertama, ada oknum kepala sekolah atau panitia melakukan kecurangan karena di bawah tekanan. Kedua, mereka sengaja melakukan kecurangan karena ingin memanfaatkan tekanan. Berkenaan dengan itu, perlu kesadaran dari semua pihak untuk mengikuti aturan dan ketentuan yang berlaku.
Pejabat eksekutif, legislatif, dan yudikatif hendaknya tidak melakukan tekanan dalam bentuk apa pun kepada sekolah. Katebelece atau memo dari pimpinan daerah atau pejabat yang selalu beredar saat PPDB, dengan bahasa sandi “harap dibantu sesuai dengan prosedur”, harus segera dihentikan karena dapat disalahgunakan pihak lain yang mencari keuntungan.
Bagi anggota dewan yang terhormat, salah besar kalau dengan dalih membela konstituen tetapi anda terpaksa melanggar aturan. Justru anda harus menjelaskan dan menyuruh konstituen anda aar mengikuti aturan dan ketentuan yang berlaku. Kita sepakat orang miskin harus dibantu, tetapi harus ditempuh dengan cara dan prosedur yang benar. Untuk itu, oknum yang mengaku utusan partai atau golongan tertentu, tidak usah lagi menitipkan map atau rekomendasi dari anggota dewan ke sekolah. Biarkanlah orangtua sendiri yang mengurus pendaftaran anaknya.
Pihak yudikatif seperti kepolisian dan kejaksaan dapat menegakkan hokum seadil-adilnya. Bantulah masyarakat agar sadar hokum, jangan malah melakukan perbuatan melawan hokum. Keinginan wali kota untuk melibatkan TNI, kepolisian, dan kejaksaan harus dipahami sebagai upaya menciptakan masyarakat yang sadar hukum.
Masyarakat atau oknum yang tergabung dalam LSM tertentu harus turut serta membantu pelaksanaan PPDB yang bebas kecurangan. Tidak usah lagi menemui kepala sekolah dengan memabwa memo dari pejabat manapun karena kewenganan penentuan siswa baru yang diterima tidak lagi di tangan kepala sekolah.
Bagi kepala sekolah dan panitia pelaksana, sudah saatnya kita bangun sekolah dengan modal kejujuran. Jangan memanfaatkan tekanan utnuk melakukan kecurangan demi mencari keuntungan. Kalaupun tekanan terjadi, jangan ragu menolaknya.
Salah satu penyebab maraknya kecurangan PPDB adalah karena tidak ada sanksi tegas bagi oknum yang melanggar. Untuk itu, wali kota dan kadisdik jangan ragu-ragu menegakkan aturan.
Pada orangtua, biarkanlah anak-anak kita tumbuh dan berkembang sesuai dengan jati dirinya. Jangan paksa mereka mengikuti keinginan orangtua karena dapat membunuh karakter dan masa depan mereka.

Selasa, 08 April 2014

Ruh Pembangunan Bangsa

Oleh : Septiardi Prasetyo
          Pengajar di Lembaga Bimbingan Belajar
          Ganesha Operation Unit MTC Kota Bandung

Pada prinsipnya, setiap pemegang kebijakan yang duduk dipemerintahan pusat, tidak akan sudi dan menerima bila disebut sebagai pihak yang tidak kreatif dalam mengelola bangsa ini. Di atas kertas, status pendidikan, pengalaman, dan keterampilan mereka tidak perlu diragukan lagi. Maka lahirlah berbagai program hasil “kreativitas” mereka untuk memompa sendi-sendi kehidupan disegala bidang. Hasilnya, kita saksikan rakyat mengantri minyak tanah dan gas elpiji dibawah sengatan sinar matahari. Hati nurani siapa yang tidak perih menyaksikan orang yang dicintainya bersimbah keringat, kepayahan, berdesak-desakan hanya untuk memperoleh beberapa liter minyak tanah atau satu-dua tabung gas elpiji. Bukankah sumber alam yang menguasai hajat hidup orang banyak dikelola sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat! Kemanakah kreativitas? Dimanakah hati nurani?
Kontroversi bidang pendidikan pun tidak kalah hebatnya. Kualitas pendidikan kita hanya diukur dari kemampuan siswa dalam menjawab soal Ujian Nasional(UN). Sedangkan konten dari soal UN sendiri hanya sanggup mengukur kemampuan siswa dari aspek kognitif saja. Sedangkan aspek afektif dan psikomotor yang dimiliki siswa tidak pernah menjadi pertimbangan untuk memperoleh kelulusan. Bukankah manusia itu mahluk yang unik dan kompleks?
Masih menyoroti tentang UN, pemerintah sepertinya “lupa” kalau kesenjangan penyediaan sarana pendidikan antara wilayah perkotaan dan pedesaan, pulau Jawa dan luar pulau Jawa, begitu curam! Minimnya sarana-prasarana pendidikan bisa berakibat langsung pada tingkat kelulusan siswanya. Seperti mendaki langit, begitu payahnya siswa negeri ini untuk berkualitas versi pemerintah pusat. Bukankah “kreativitas” seperti ini menyakiti hati nurani rakyat?
Kebangkitan Bangsa, Kebangkitan Hati Nurani
Sejarah mencatat, Budi Oetomo lahir karena terketuknya hati nurani para pendirinya. Penjajahan telah banyak melahirkan penderitaan dan ketidakadilan. Walaupun saat itu pembangunan digiatkan, manfaatnya tidak pernah sampai menyentuh ke akar rumput. Semua hasil pembangunan hanya diperuntukan untuk kepentingan penjajah. Di sinilah Budi Oetomo berperan, melalui pendidikan mereka berupaya menyadarkan bangsanya bahwa mereka sedang dijajah.
Bagaimana dengan rakyat kecil hari ini, sadarkah posisinya di mana? Saya berkeyakinan program Bantuan Langsung Tunai(BLT), Konversi minyak tanah ke gas atau Program Bantuan Operasional Sekolah(BOS) dan program tidak popular lainnya memposisikan pemerintah layaknya kreator kebijakan yang berhati nurani dan senang memberi.
Tanpa bermaksud memprovokasi, tapi beginilah suara hati nurani rakyat kecil yang sedang terluka. Kreativitas yang dilahirkan pemerintah pusat sampai saat ini tidak pernah menjadi solusi yang konsisten membela kesejahteraan rakyat kecil. Begitu kuatnya kepentingan individu dan golongan, memposisikan rakyat kecil sebagai pihak yang terpinggirkan.
Sudah saatnya bangsa ini bangkit dan membangkitkan kembali semangat yang pernah dihembuskan oleh Budi Oetomo. Momentum seratus tahun kebangkitan nasional, bisa dijadikan pengingat untuk apa kemerdekaan direbut dari tangan penjajah. Bahwa penjajahan hanya membuat rakyat menderita, begitupun setiap kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat.
Kenaikan harga BBM, langkanya minyak tanah dan gas elpiji, kontroversi UN dan seabrek kebijakan yang membuat pening kepala rakyat kecil, haruslah kita hadapi dengan sikap positif. Prof.Yohanes Surya, penggagas “Mestakung,” mengilustrasikan tentang seseorang yang sedang dikejar seekor anjing. Pada diri orang yang ketakutan itu akan muncul energi ekstra yang bisa digunakan untuk berlari sekuat-kuatnya. Bahkan tanpa ia sadari mampu digunakan untuk melompati suatu tembok yang tidak ia sangka sanggup melompatinya pada kondisi normal.
Kondisi kritis seperti diilustrasikan di atas akan melahirkan energi ekstra yang bisa digunakan untuk melangkah ke arah solusi. Rumus “3M” dari Aa Gym dapat dijadikan pedoman praktis untuk setiap langkah awal kita. Mulailah dari diri sendiri, mulailah dari hal yang kecil, dan mulailah saat ini.
Dan kalau sudah mulai bergerak ke arh solusi, siapkanlah diri kita seperti buah kelapa. Untuk bisa diambil manfaatnya, kelapa harus siap merasakan sakit saat dijatuhkan dari pohonnya. Setelah itu, sabut kelapanya dikelupas. Lalu, kelapa yang telah bersih dari sabutnya disisit batoknya hingga bersih. Kemudian siap-siap kelapa tersebut untuk dibelah. Belum selesai, kepala itu lalu harus siap diparut. Sesudah diparut, diperas. Hingga akhirnya,  keluarlah saripati dari semua yang telah kita usahakan.

Senin, 07 April 2014

Wajib Belajar 12 Tahun

Oleh : Ahmad Khusaeri
          Guru di Yayasan Al Rahman, Cimahi
          Pernah dimuat di Rubrik Forum Guru
          Koran Pikiran Rakyat Jumat 4 April 2014

Saya dan mungkin seluruh pembaca setuju dengan hadirnya program rintisan wajib belajar 12 tahun atau yang dikenal dengan program pendidikan umum universal (PMU). Sekalipun itu masih rintisan, harapannya dapat menjadi jembatan dalam mewujudkan Indonesia Cerdas, di mana seluruh warga negaranya minimal berpendidikan sampai tingkat SMA/sederajat secara merata dan bermutu.
Oleh karena itu, pendidikan jangan sampai sekedar menjadi salah satu menu politik dalam kampanye yang selalu abai dalam realitasnya. Kesempatan mengenyam pendidikan harus benar-benar terwujud bagi seluruh anak negeri ini, tanpa terkecuali mereka yang berada di daerah 3T (tertinggal, terpencil, terluar). Mereka semua harus bisa menatap masa depannya dengan bekal pendidikan yang cukup agar kelak memiliki kapasitas dan kapabilitas sebagai bangsa yang bermartabat dan berdaya saing.
Dengan pendidikan akan banyak memberikan manfaat dalam kehidupan, bukan saja keuntungan mareriil, tetapi lebih dari itu menjadi sumbangan besar dalam membangun sekaligus meningkatkan kapabilitas seseorang. Dengan demikian, tidak salah jika kontribusi pendidikan untuk menyiapkan generasi tidak cukup dipahami hanya dari sekedar sumbangannya terhadap peningkatan pengetahuan dan keterampilan teknis seperti diasumsikan oleh teori human capital. Melainkan juga dapat dilihat dalam cakupan yang lebih luas lagi, yakni sumbangannnya dalam membangun human capability.
Harapan yang implementasinya tidak semudah membalikkan telapak tangan, tetapi banyak tantangan terbentang cukup kompleks bahkan kadang akut, diantaranya pertama dari sisi kebijakan (political will) pusat dan daerah yang kadang belum sinergis dengan menjadikan pendidikan pendidikan sebagai skala prioritas sehingga tidak sedikit daerah yang belum memenuhi amanat konstitusi yakni menganggarkan 20% dari APBD-nya untuk bidang pendidikan di luar penggajian. Ditambah lagi jika tidak ditunjang dengan kemampuan birokrat pendidikan dalam memberikan terobosan peningkatan dan pengembangan mutu pendidikan di daerahnya.
Seandainya daerah yang kepala daerahnya tinggi kemampuan politiknya pada pendidikan, bukan tidak mungkin pendidikan pun akan berkembang. Contohnya, Kabupaten Jembarang di Provinsi Bali, daerah yang tidak dikategorikan kaya, tetapi tingkat pendidikan masyarakatnya sangat tinggi, bahkan program wajar diknas 9 tahun pun telah tuntas sebelum lahir Undang-Undang Sisdiknas (UU No. 20/2003).
Kedua, kemampuan manajerial birokrat pendidikan. Anggaran yang cukup tidak menjamin program terlaksana dengan tuntas. Contoh Kabupaten Kutai Kartanegara dan Bengkalis sebagai daerah yang terkenal kaya raya, tetapi perkembangan indeks pembangunan manusianya tidak lebih baik dari Jembrana. Atau daerah lainnya yang dianggap efektif dan inovatif program pengembangan pendidikannya.
Ketiga kultur masyarakat yang kadang lebih senang memilih mempekerjakan anak-anak usia sekolahnya dibandingkan dengan menyekolahkannya atau memililh menikahkan di usia dini. Keempat, faktor geografis yakni daerah terpencil dan belum terjangkau oleh sarana pendidikan ditambah dengan transportasi yang belum memadai.
Sederet tantangan itu harus bisa ditaklukan dan jangan dianggap sebaga hambatan. Semoga dengan dukungan seluruh pemangku kepentingan pendidikan di negeri ini yang diiringi kesiapan pada ranah kebijakan, anggaran, pelaksanaan, moitoring ataupun kemauan masyarakat itu sendiri, Insya Allah program wajib belajar 12 tahun secara gratis dapat dilaksanakan dengan tuntas, merata dan bermutu.

Sabtu, 05 April 2014

Menghapus Kesan Pelajaran Galau

Oleh : Septiardi Prasetyo
          Pengajar Fisika di Lembaga Bimbingan Belajar
          Ganesha Operation Unit MTC Kota Bandung

Saat perkenalan dihari pertama mengajar di kelas, saya meminta para siswa untuk menyebutkan kata pertama yang terlintas di benak mereka tentang fisika. Jawaban mereka cukup klasik seperti sulit, seram, jenuh dan yang agak up to date yaitu galau. Sebenarnya pertanyaan retorika itu tidak perlu diucapkan pun saya sudah bisa menebak jawabannya. Namun sengaja saya lakukan untuk menyegarkan memori mereka tentang pandangannya terhadap fisika. Juga ingin meyakinkan siswa bahwa jawaban tersebut bisa dirubah menjadi fisika itu mudah, menyenangkan, menantang dan memotivasi.

Fisika dinilai sulit karena untuk mempelajarinya diperlukan keterampilan matematika. Bila matematikanya tidak jalan maka fisikanya bakalan “mogok.” Begitupun sebaliknya bila matematikanya lancar maka belajar fisika terasa seperti sedang belajar matematika yang diterapkan. Maka menguasai matematika merupakan kunci untuk menaklukkan fisika. Walaupun baru akan terasa ketika belajar fisika di SMA karena perhitungan matematisnya melibatkan kalkulus, trigonometri dan lainnya. Sehingga bagi siswa SMP/MTs prinsip ini belum sepenuhnya berlaku karena kegiatan berhitungnya masih menggunakan matematika dasar atau matematika yang pernah dipelajarinya di Sekolah Dasar (SD). Seperti operasi penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian.
Supaya matematika tidak menjadi kendala dalam belajar fisika ada baiknya para guru menghindari memberikan soal fisika yang melibatkan bilangan pecahan dan desimal. Karena soal jenis ini memerlukan teknik pemecahan yang sedikit lebih sulit dibandingkan bila menggunakan bilangan bulat. Berikutnya yang perlu diperhatikan adalah berikan contoh soal yang telah disusun secara hierarki dan beragam. Bertujuan supaya siswa memperoleh gambaran menyeluruh tentang bentuk soal dari yang paling sederhana hingga kompleks.
Pernyataan berikutnya tentang fisika adalah galau dan seram! Maksud galau dan seram di sini adalah fisika merupakan pelajaran yang paling sulit mencapai nilai di atas KKM atau mungkin karena memang gurunya dikenal pedit dan galak. Ketika belajar fisika biasanya saya memotivasi para siswa untuk jangan dipusingkan dengan nilai yang akan mereka peroleh di rapor. Karena penilaian tidak hanya ditentukan dari UTS dan UAS saja tetapi saya juga mempertimbangkan nilai dari ulangan harian, tugas terstruktur, penilaian aspek afektif dan keaktifan saat belajar di kelas, aspek psikomotor dan lainnya. Dengan memberikan peluang sebesar-besarnya untuk mencapai nilai di atas KKM, diharapkan bisa menghapus kesan galau dan seram pada pelajaran ini.
Kata jenuh mungkin kondisi yang dulu pernah kita alami saat belajar fisika di bangku sekolah. Kejenuhan belajar fisika bisa terjadi karena metode pembelajaran masih didominasi metode ceramah dan kegiatan latihan soal. Keseringan menerapkan metode klasikal inilah yang menjadi pangkal kejenuhan siswa dalam belajar fisika. Oleh sebab itu pembelajaran fisika harus dikembalikan ke pola alaminya. Fisika adalah ilmu yang mempelajari fenomena-fenomena alam, maka hadirkanlah fenomena tersebut ketika pembelajaran di kelas. Diharapkan pembelajaran akan lebih menyenangkan dan mereka dapat menerapkan apa yang mereka pelajari dalam kehidupannya. Mentransformasi pengetahuannya menjadi life skill yang bermanfaat bagi kehidupannya.

Jumat, 04 April 2014

Knowing Before Doing

Oleh : Septiardi Prasetyo
          Pengajar Fisika di Lembaga Bimbingan Belajar
          Ganesha Operation Unit MTC kota Bandung

Senin tanggal 17 Februari 2014 pendaftaran Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) resmi dibuka. Ini merupakan gerbang emas masuk PTN bagi siswa kelas XII yang mengantongi rekam jejak akademik aspek kognitif mumpuni dan peraih berbagai prestasi tingkat lokal hingga nasional. Namun pencapaian tersebut bukanlah golden ticket yang menjamin lulus PTN. Banyak kasus mereka yang berprestasi luar biasa tapi tidak lolos SNMPTN. Kondisi ini diperparah dengan semakin tingginya tingkat persaingan. Dari 1.800.000 yang diprediksi mendaftar yang lolos sekitar 150.000-an saja. Ini artinya akan ada1.650.000 yang tidak lolos. Suatu kuantitas yang tidak kecil. Namun apakah kita mesti kecil hati? Menyerah kalah sebelum mendaftar? Tentu tidak! Karena wawasan, strategi dan sikap proaktif dari siswa beserta orang tua bisa memberikan banyak perbedaan dihasil akhir.

Sebagai syarat awal mengikuti SNMPTN, terhitung mulai 6 Januari hingga 22 Maret 2014 Kepala sekolah diberi kesempatan mengentri data sekolah dan data siswa ke http://pdss.snmptn.ac.id. Tugas pertama yang bisa dilakukan para orang tua adalah menanyakan perkembangan hasil entri data melalui telefon atau datang langsung ke sekolah. Jika sudah, para siswa bisa meminta Nomor Induk Siswa (NIS) beserta password ke kepala sekolah. Setiap siswa akan memperoleh NIS dan password berbeda yang nantinya akan digunakan saat login verifikasi data dan pendaftaran SNMPTN.
Penting untuk selalu diingat bahwa verifikasi data siswa dilakukan langsung oleh siswa ke http://pdss.snmptn.ac.id. Siswa wajib mengecek data rekam jejak prestasi akademik yang telah diisikan kepala sekolah. Data dianggap benar dan tidak dapat diubah setelah waktu verifikasi berakhir pada 17 Maret 2014 pukul 22.00 WIB. Namun verifikasi data bukan berarti siswa telah terdaftar sebagai peserta SNMPTN. Verifikasi hanya mengklarifikasi bahwa data yang dimiliki siswa sudah benar.
Pendaftaran SNMPTN dilakukan langsung oleh para siswa ke http://snmptn.ac.id. Caranya login menggunakan NISN dan password masing-masing. Kemudian siswa diminta untuk mengisi biodata, pilihan PTN dan pilihan program studi, mengunggah pas foto resmi terbaru dan dokumen tambahan. Bagi siswa yang memilih program studi keolahragaan dan seni harus mengunggah portofolio atau dokumen bukti keterampilan yang diisi kepala sekolah/siswa. Sebagai tanda telah terdaftar siswa dapat mencetak kartu bukti peserta SNMPTN. Tugas siswa selanjutnya adalah berdoa dan fokus menghadapi Ujian Nasional (UN) dan Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri(SBMPTN).
Tingginya tingkat kegagalan SNMPTN bukan karena curamnya perbedaan jumlah peserta dengan kuota yang tersedia saja. Tetapi lebih dari lima puluh persen karena kesalahan administrasi dan salah mengurut saat memilih PTN. Oleh sebab itu, verifikasi data mutlak dilakukan oleh siswa bila perlu para orangtua ikut membantu melakukannya. Dalam strategi memilih PTN, tempatkan PTN yang diyakini pasti lolos sebagai pilihan pertama. Strategi berikutnya pilihlah PTN yang banyak meloloskan alumni dari tempat siswa sekolah. Yang terakhir pilih PTN yang satu provinsi.
Banyak faktor yang dapat diupayakan untuk memperoleh hasil maksimal di SNMPTN. Namun tak ada yang dapat menandingi kekuatan sebuah doa. Selamat berjuang dan sukses.