Guru MI At-Taufiq di Yayasan Pendidikan Al-Hikmah
Tanggal
24 Mei peserta didik SMA/MA/SMK mulai menerima hasil Ujian Nasional (UN)-nya.
Saya ucapkan selamat kepada kalian dan senantiasa bersyukur kepada Allah SWT
atas pencapaian yang diperoleh. Bagi yang belum menerima hasil UN-nya, saya
berpesan untuk tidak bosan berdoa supaya memperoleh ketenangan dan hasil
terbaik.
Setiap
sekolah memiliki cara tersendiri dalam mengumumkan hasil UN peserta didiknya. Ada
yang mengirimkannya ke rumah via pos. Ada
pula pula yang mengumpulkan peserta didiknya di sekolah. Kemudian membagikan
hasil UN berdasarkan skenario yang disusun sedemikian rupa oleh para guru untuk
memberi kesan tak terlupakan bagi peserta didiknya. Misal guru berpura-pura
mengumumkan nama-nama peserta didik yang tidak lulus. Tapi kenyataannya semua
peserta didiknya lulus.
Namun
cara yang lain adalah mengundang para orangtua ke sekolah. Selain mencegah aksi
coret-coret seragam sekolah dan konvoi kendaraan bermotor juga untuk memberikan
penjelasan perihal kelanjutan pendidikan anak-anaknya. Seperti strategi pemilihan
Perguruan Tinggi Negeri (PTN) atau Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang paralel
dengan minat dan bakat siswa.
Pada
acara tersebut pihak sekolah dapat menjelaskan secara langsung kepada orang tua
tentang ujian program paket bagi peserta didik yang tidak lulus dan tidak mau mengulang setahun lagi. Walaupun sebagian
masyarakat masih memandang remeh dengan ujian paket namun saat ini ijasah ujian
paket tidak berbeda dengan ijasah di sekolah pada umumnya.
Berdasarkan
lampiran POS UN SMA/MA/SMK, SMP/MA/SMK peserta didik dinyatakan lulun UN bila
nilai rata-rata paling rendah 5,5 dan nilai setiap mata pelajaran paling rendah
4,0. Melalui formula ini diharapkan pemerintah dapat memetakan tingkat kemampuan
siswa pada mata pelajaran yang di UN-kan, kualitas guru, pengadaan sarana
pendidikan di sekolah dan sebagainya. UN bisa digunakan untuk memetakan
pendidikan Indonesia
sehingga kelulusan tidak perlu dipaksakan tercapai 100 persen. Hal ini
ditegaskan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Mohammad Nuh
bahwa semua pihak hendaknya tidak memaksakan memperoleh hasil Ujian Nasional
(UN) lulus 100 persen.
Namun
sayangnya fungsi UN untuk memetakan kondisi pendidikan
Indonesia tidak berjalan sejak pertama kali diberlakukan tahun 2004.
Pakar pendidikan dari Institut Teknologi Bandung, Iwan Pranoto mengatakan Delapan tahun UN dilaksanakan, namun sampai
sekarang masyarakat tidak tahu kekuatan utama siswa di Indonesia, apakah di
statistik, aljabar, geometri, atau pelajaran lainnya. Seharusnya jika tujuan UN
benar adalah untuk pemetaan, maka masyarakat tahu hal ini. Beliau
melanjutkan tidak pernah menemukan adanya laporan hasil pemetaan pendidikan
dari Kementerian Pendidikan atas hasil UN.
Belum
ditindaklanjutinya hasil UN oleh pemerintah memicu protes dari sebagian pihak
yang menilainya sebagai ketidakseriusan dalam peningkatan mutu pendidikan dan pemborosan
anggaran. Bila pemerintah tidak segera menyikapi hasil UN ini maka akan
menambah daftar keraguaan masyarakat akan kredibilitas pelaksanaan dan hasil UN
itu sendiri.
Selain
untuk memetakan kondisi pendidikan Indonesia,
pemerintah berencana mengintegrasikan UN sebagai syarat Seleksi Nasional Masuk
Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Bila rencana ini terlaksana maka akan menghemat
anggaran yang cukup besar. Namun indikasi praktek kecurangan saat
penyelenggaraan dan pengkatrolan hasil UN memperbesar keraguan kredibilitas UN.
Menurut Raihan Iskandar, anggota Komisi X DPR, “Selama masih terjadi berbagai
kecurangan dalam penyelenggaraan UN, kredibilitas hasil dari UN patut
dipertanyakan dan belum layak dijadikan tiket masuk ke PTN.”
Selain
itu, perbedaan sistem penilaian UN dengan SNMPTN menjadi kendala
pengintegrasian keduanya. Menurut Wakil Rektor I Universitas Negeri Yogyakarta
(UNY) Nurfina Aznam,"Sistem penilaian ujian nasional dengan ujian masuk
perguruan tinggi negeri masih tidak sebanding. Ukuran kemampuan yang dinilai di
kedua ujian tersebut berbeda." Bahkan untuk untuk calon mahasiswa yang
mengikuti jalur undangan selain nilai UN, nilai rapor dan prestasi peserta
didik menjadi salah satu syarat penilaian. Sehingga rencana untuk
mengintegrasikan UN dengan SNMPTN sebagai satu-satunya syarat memasuki PTN
mengabaikan penilaian objektif peserta didik selama tiga tahun dan prestasi
yang dimilikinya.
Menyikapi
hasil UN sebagai penentu “hidup dan matinya” peserta didik merupakan bentuk
kedzoliman terhadap jerih payah belajar mereka selama tiga tahun. Dan akan
lebih dzolim lagi bila hasil UN para peserta didik di seluruh Indonesia
disia-siakan begitu saja. Tidak dijadikan bahan evaluasi dan kajian yang
komprehensif yang memberikan gambaran tentang kelemahan dan kekurangan
pendidikan di Indonesia.
Rahim bagi lahirnya kebijakan-kebijakan strategis dan tepat sasaran. Sehingga
jangan heran bila Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia
menurut United Nations Deveopment Program turun peringkat. Dari peringkat 108
pada tahun 2010 turun ke peringkat 124 pada tahun 2011. Menurut mereka bobot
terbesar penurunan ini terjadi pada dunia pendidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana komentar anda tentang artikel ini