Guru di SMAN 2 Banjarsari Ciamis
dan Jurnalis Tabloid Pendidikan Ganesha Ciamis
Artikel ini pernah dimuat di rubrik Forum Guru, Koran Pikiran Rakyat
Membaca tulisan
guru besar Universitas Padjajaran Deddy Mulyana yang berjudul “Karakter Bangsa”
di salah satu harian Nasional beberapa tahun lalu, membuat saya ingin
menuangkan isi hati atau lebih tegasnya menganalisis tulisan itu. Deddy Mulyana
mengutip pandangan Mochtar Lubis yang berjudul “Manusia Indonesia” (1981)
sebagai orang yang munafik, tak bertanggung jawab, feodal, percaya takhayul, artistik,
berwatak lemah dan boros.
Mirip sekali
melihat pandangan seperti itu. Namun, disadari atau tidak, kenyataan
membuktikan bahwa sebagian besar penduduk Indonesia memang seperti itu. Banyak
sekali pendukung fakta itu. Contohnya, pelajar dan mahasiswa sekarang banyak
melakukan plagiat dan menyontek karya orang lain, karyawan, pegawai, birokrat,
plitikus membeli gelar daripada belajar dengan benar.
Sulit membedakan
orang yang benar-benar jujur, murni dengan orang yang pura-pura, dan penuh
kemunafikan. Orang yang jujur, berkata benar, polos, bertindak sewajarnya
dianggap tidak guyub dan dianggap aneh. Lebih parah lagi disebut munafik. Apa
sedemikian parahnya moral bangsa kita sekarang.
Sangat
disayangkan, manusia Indonesia terutama generasi penerus banyak yang berkiblat
ke Negara Barat, bukan untuk hal yang positif, tetapi hal yang negatif.
Kemajuan teknologi dimanfaatkan tidak pada tempatnya, gambar-gambar porno, klip
film berdurasi pendek bertebaran di pesawat telefon, belum termasuk yang
terdapat dalam keping DVD dan VCD. Apakah ini karena Negara kita pernah dijajah
oleh bangsa Eropa yang notabene lebih maju peradabannya ataukah tidak bisa
menampilkan kepribadian asli kita sampai harus meniru bangsa lain?
Kalau begitu
sinyalemen Ibnu Khaldun benar adanya bahwa orang-orang taklukan selalu meniru
penakluknya, baik dalam berpakaian, perhiasan, kepercayaan, dan adat istiadat
lainnya. Hal ini disebabkan adanya keinginan untuk menyamai mereka yang telah
mengalahkan menaklukannya. Orang-orang taklukan menghargai para penakluknya
secara berlebihan. Kalau keyakinan ini bertahan lama, hal itu akan membekas
dalam dan lama serta akan membawa pada peniruan semua ciri penakluknya. Mereka
ini yakin bahwa peniruan atas segala yang dilakukan sang penakluk akan
menghapuskan segala penyebab kekalahannya.
Tidak bisa
dimungkiri, sistem pendidikan kita pada masa lalu menyebabkan bangsa kita
berwatak lemah. Kepribadian yang malas, tidak jujur, dan tidak percaya diri
sudah mendarah daging dan parahnya dampak masalah tersebut mengakibatkan
korupsi, kolusi, dan nepotisme semakin menjamur sehingga pada akhirnya membawa
krisis moral, politik, dan ekonomi. Padahal manusia masa depan yang harus
dihasilkan oleh pendidikan antara lain manusia yang melek teknologi dan melek
pikir yang semuanya disebut melek kebudayaan yang mampu think globally but act locally.
Mencermati
kembali hari Pendidikan Nasional 2 Mei yang baru lalu, mengingatkan kita pada
tujuan pendidikan nasional yaitu mencerdaskan bangsa dan membina manusia seutuhnya
serta mencetak anak didik untuk menjadi insan yang beriman dan berwatak,
berakhlak mulia serta cinta tanah air, dan semuanya itu memerlukan langkah
konkret untuk merealisasikannya.
makasih yah dimasukkin blog pendidikan
BalasHapus