Rabu, 16 April 2014

Ujian Nasional

Oleh : Mohamad Surya
         Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia
         Artikel ini pernah di muat di rubrik Opini
         Koran Pikiran Rakyat, Selasa 15 April 2014

Di tengah hiruk-pikuk perbincangan politik pasca Pemilu 2014 yang diselenggarakan 9 April lalu, perhelatan besar di dunia pendidikan yang disebut Ujian Nasional pun hadir kembali. Berkenaan dengan substansi perbincangan dalam tulisan ini, isu utamanya bukan terletak pada penghapusan atau tidaknya UN, tetapi pada upaya untuk membawa kembali UN ini ke habitatnya di dunia pendidikan yang berbasis nilai-nilai pedagogik.
Mengapa? Ya, karena ada kecenderungan UN oelan-pelan telah terseret ke luar habitat pendidikan sehingga dengan mudah berkembang menjadi wacana yang tidak lagi bersifat “pendidikan”.
Di dunia pendidikan, UN merupakan salah satu bentuk konsep yang lebih generik yaitu “evaluasi belajar”. Evaluasi belajar merupakan unsur pendidikan untuk mendapatkan informasi objektif dari proses pembelajaran sebagai landasan pengambilan keputusan pendidikan yang berkenaan dengan kemajuan belajar sebagai unsur mutu pendidikan, efektivitas proses pembelajaran, efisiensi pengelolaan, relevansi isi pembelajaran, kualitas kinerja guru, relevansi kebutuhan masyarakat dsb.
Dalam konsep yang lebih luas, mutu pendidikan mempunyai makna sebagai suatu kadar proses dan hasil pendidikan secara keseluruhan. Di samping berkaitan dengan aspek proses, mutu pendidikan berkaitan pula dengan aspek hasi pendidikan. Dari aspek “hasil”, mutu pendidikan dilihat dari hasil kualitas atau kadar perubahan yang terjadi dalam diri keseluruhan peserta didik.
Saat ini, pendidikan lebih dipersempit dengan persekolahan, dan persekolahan dipersempit dengan proses belajar-mengajar yang lebih dipersempit lagi dengan proses pencapaian pengetahuan pengetahuan yang lebih berat secara kognitif. Dengan demikian, hasil pendidikan sangat dipersempit dengan hasil belajar yang berupa penguasaan kognitif yang diukur dengan alat ukur yang disebut Ujian Nasional, dan hasilnya dinyatakan dengan angka hasil olahan jawaban terhadap soal UN. Saat ini, UN masih dipergunakan sebagai satu-satunya indicator mutu, sehingga memunculkan pandangan bahwa semakin tinggi presentase kelulusan UN yang diperoleh, semakin tinggi pula mutu pendidikannya.
Tentu saja cara pandang demikian dapat mengurangi makna mutu pendidikan yang sesungguhnya dan menyempitkan makna pendidikan dan dapat mengarah kepada suatu pola pikir intelektual-elititis yaitu memandang kesuksesan dari sudut intelektual/kognitif, dan menyisihkan mereka yang berada pada lapisan bawah (nilai UN rendah) untuk kemudian membentuk satu kelompok elite intelektual.
Hasil Pendidikan
Dalam konteks yang lebih luas, hasil pendidikan mencakup tiga jenjang yaitu produk, efek, dan dampak. Hasil pendidikan yang berupa “produk”, adalah wujud hasil yang dicapai pada akhir satu proses pendidikan, misalnya akhir satu proses instruksional, akhir caturwulan/semester, akhir tahun ajaran, akhir jenjang pendidikan dsb. Wujudnya dinyatakan dalam satu satuan ukuran tertentu seperti angka, grade, peringkat, indeks prestasi yudisium, nilai UN, dsb. Sebagai gambaran mutu hasil pendidikan dalam periode tertentu.
Hasil pendidikan berupa “efek”, adalah perubahan lebih lanjut terhadap keseluruhan kepribadiaan peserta didik sebagai akibat perolehan produk dari proses pendidikan (pembelajaran) dari satu periode tertentu. Perolehan produk pendidikan yang dinyatakan dalam bentuk hasil belajar seperti angka, hasil UN, IP, dsb. Seyogianya memberikan pengaruh (efek) terhadap perubahan keseluruhan perilaku/ kepribadian peserta didik, seperti dalam pemahaman diri, cara berfikir, sikap, nilai, dan kualitas kepribadian lainnya. Selanjutnya hasil pendidikan yang berupa “dampak”, adalah berupa pengaruh lebih lanjut hasil pendidikan (yang berupa produk dan efek pada diri peserta didik) terhadap kondisi dan lingkungannya baik di dalam keluarga ataupun masyarakat secara keseluruhan.
Pada umumnya hasil yang  berupa produk inilah yang sering digunakan sebagai indicator mutu pendidikan yang sudah tentu dengan asumsi dapat memberikan gambaran hasil pendidikan. Hasil pendidikan yang beruppa efek dan dampak masih belum digunakan untuk melihat mutu pendidikan, sehubungan dengan sulitnya membuat indikator secara objektif.
Namun, hendaknya menjadi perhatian berbagai pihak bahwa melihat mutu pendidikan hanya dari segi produk (yang sudah dipersempit dari makna pendidikan) belum dapat memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai mutu pendidikan.
Dalam konteks pandang filosofis populis egalitarian (sebagai lawan dari filosofis intelektual elitis), kita harus memandang bahwa semua anak sebagai peserta didik berhak dinilai mutu pendidikannya dari sudut pandang holistik. Kita bukan harus menyisihkan mereka yang karena nilai UN-nya rendah, dan kemudian membentuk elite yang terdiri atas mereka mereka yang memiliki nilai UN tinggi, dengan asumsi merekalah yang akan menjadi pemimpin dan peanjut kehidupan. Kita harus membdayakan semua anak bangsa dengan mutu secara holistik yaitu kepribadian dan kontribusinya pada lingkungan.
Kepedulian kedua yang berkenaan dengan evaluasi belajar adalah memosisikan kembali “guru” sebagai insane pendidikan dalam keseluruhan operasional pendidikan. Dalam kaitannya desentralisasi pendidikan, sistem penilaian yang dikembangkan sudah tentu harus tetap menjaga keseimbangan standar nasional yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Dalam desentralisasi pendidikan, penyelenggaraan evaluasi belajar diharapkan akan mampu terwujud dengan lebih menyentuh sisi pendidikan yang paling esensial. Dalam habitat yang sesungguhnya, evaluasi belajar berada dalam koridor paradigma pendidikan dan guru berada dalam posisi sentral.

2 komentar:

  1. Ulasan yang sangat menarik, bagaimanapun memang sistem standarisasi secara nasional kita butuhkan sebagai acuan penilaian kemampuan menghasilkan produk berupa prestasi peserta didik yang mampu bersaing yg ''dikuantifikasikan'' dengan nilai hasil UN. Namun jelas jangan sampai membuat kita terjebak pada keharusan mendapatkan hasil sesuai standar bagaimanapun caranya, yang penting mencapai nilai yang dipatok, titik ! Konsistensi mulai dari input hingga tentunya yang sering terlewatkan dengan berbagai alasan adalah pada proses belajar mengajar yang memungkinkan memberi efek dan dampak menghasilkan manusia berkualitas dalam arti sesungguhnya (bukan manusia instan yang akhirnya menghasilkan pemimpin instan di masa depan) . Jelas peran guru sekaligus sebagai "pendidik" sebagai "insan utama" sangat penting. Kapasitas guru tidak saja pada sisi intelektualitas namun juga etika dan moralitas adalah faktor yang sangat menentukan tentunya.

    BalasHapus
  2. LuckyClub Casino Site 2021 | The best website to play slots
    Luckyclub Casino is a Swedish brand that caters to real-life customers by offering great casino games. Play on our new site and luckyclub.live grab a bonus.

    BalasHapus

Bagaimana komentar anda tentang artikel ini