Guru di Yayasan Pendidikan Al Hikmah, MI At-Taufiq, Kota Bandung
Kesenjangan
antara nilai yang diketahui dengan apa yang dilakukan merupakan salah satu penyebab
kendala untuk berperilaku baik. Meskipun secara kognitif seorang anak
mengetahui nilai-nilai kebaikan tapi psikomotornya tidak terlatih untuk
terbiasa menerapkannya. Misal setiap siswa pasti telah mengetahui bahwa bolos
sekolah merupakan salah satu perilaku yang salah tapi masih saja ada yang
melakukannya. Ini pun berlaku pada perilaku kenakalan remaja lainnya seperti
tawuran antar pelajar, bullying,
merokok dan sebagainya.
Untuk
menanamkan dan menyuburkan nilai-nilai karakter positif pada diri anak tidak
cukup dengan memberinya pengetahuan saja tetapi kepekaan anak pun perlu di asah
guna merasakan kebaikan dan terbiasa melakukan kebaikan. Inilah yang disebut
Lickona (1992), sebagai komponen karakter baik (component of good character) yang terdiri atas tiga komponen, yaitu pengetahuan tentang moral (moral knowing), perasaan tentang moral (moral feeling), dan perbuatan moral (moral action).
Dari
segi pengetahuan tentang moral (moral knowing) bangsa Indonesia
memiliki kekayaan berlimpah ruah. Suku bangsa mulai dari Sabang hingga Merauke
telah mengembangkan nilai-nilai kebaikan yang telah berlaku di masyarakatnya
sejak jaman nenek moyang. Sehingga tidak mengherankan bila sejak dulu bangsa Indonesia
dikenal dengan masyarakatnya yang ramah. Karakter bangsa ini tidak lepas dari
kekayaan nilai kebaikan yang berlaku di masyarakat. Misalnya saja dalam
undak-usuk basa kita mengenal determinasi ekspresi bahasa ketika masyarakat
dari suku Sunda berbicara dengan orang yang lebih tua atau ketika berbicara
kepada orang yang lebih muda. Penerapan tingkatan bahasa ini pun dapat kita
temui pada bahasa Jawa.
Moral feeling (perasaan tentang moral) merupakan
jembatan antara pengetahuan tentang
moral (moral knowing) dan perbuatan
moral (moral action). Fondasi utama dari perasaan tentang
moral (moral feeling) adalah kecintaan untuk berbuat baik (loving the good) kecintaan untuk berbuat baik. Inilah yang disebut Piaget sebagai
sumber energi yang efektif membuat seseorang mempunyai karakter yang konsisten
antara pengetahuan (moral knowing)
tentang moral dan perbuatan moral (moral
action). Kecintaan anak pada
kebaikan (loving the good) merupakan
kontrol internal yang paling efektif bagi dirinya. Misal ketika anak dihadapkan
pada ajakan temannya untuk bolos sekolah maka dalam dirinya akan tumbuh
perasaan bersalah dan malu bila mengikuti ajakan temanya tersebut.
Perbuatan
moral (moral action) merupakan perwujudan dari pengetahuan
tentang moral (moral knowing). Perilaku anak harus bermuara pada
kesadaran akan manfaat mengamalkan nilai-nilai kebaikan bukan karena takut pada
konsekuensi bila melanggarnya. Sehingga alasan seorang anak yang tidak pernah
bolos sekolah bukan karena ia takut hukuman dari guru dan orang tuanya. Tetapi
karena ia menyadari manfaat tidak bolos sekolah seperti tidak tertinggal
pelajaran, keinginan untuk berprestasi di sekolah, ingin membahagiakan kedua orang
tua dan lainnya.
Internalisasi nilai-nilai moral yang membentuk
karakter anak harus diimbangi dengan kontrol eksternal dari lingkungannya.
Seperti pengawasan dari orang tua dan guru. Namun yang paling utama adalah
memberikan keteladan (uswatun hasanah).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana komentar anda tentang artikel ini