Guru MI At-Taufiq Kota Bandung
Halalbihalal identik dengan jabat tangan dua orang yang
disertai ucapan permohonan maaf-memaafkan. Maaf dan memaafkan merupakan salah
satu karakter mulia. Dalam permintaan maaf terkandung kesadaran telah melakukan
kesalahan, inisiatif untuk melakukan perbaikan dan menyambungkan silaturahmi.
Sedangkan dalam memaafkan terdapat sikap rendah hati, ikhlas, dan berbaik
sangka pada orang yang telah menyakitinya. Berkaitan dengan perilaku memaafkan,
Rasulullah saw bersabda tidaklah seseorang memaafkan melainkan Allah tambah
kemuliaannya (H.R Muslim).
Euforia maaf-memaafkan di masyarakat kuat terasa di
momen idulfitri. Ini bisa dilihat dari membanjirnya permohonan maaf yang
disampaikan melalui media seperti SMS, situs jejaring sosial facebook, twitter,
hingga bersilaturahmi langsung ke rumah tetangga dan famili. Bahkan dengan mengendarai sepeda motor
mereka yang melakukan mudik rela menempuh jarak ratusan kilometer di tengah sengatan
terik matahari dan dinginnya terpaan angin malam. Waktu dan tenaga para pemudik
pun semakin terkuras ketika kemacetan menjebak mereka hingga puluhan kilometer.
Semua ini rela mereka jalani demi menunaikan hasrat untuk dapat berkumpul dan
melebur kesalahan bersama keluarga di kampung halaman.
Dalam konteks dunia pendidikan, suasana maaf-memaafkan
kental terasa saat dihari pertama masuk setelah libur lebaran. Biasanya pihak
sekolah mengemasnya dalam acara halalbihalal bagi seluruh warga sekolah. Acara
tahunan ini memiliki manfaat sebagai media edukasi untuk bermaafan, momen mempererat
tali silaturahmi, memperkuat kebersamaan antar warga sekolah, memupuk sikap
toleransi dan sebagainya.
Namun menempelkan kedua tangan diiringi ucapan
maaf-memaafkan di sela senyum manis saja terkadang masih menyisakan sesuatu
yang mengganjal perasaan. Pernahkan anda mengalami hal ini? Mungkin kita sudah
menunaikan halalbihalal dengan atasan yang pernah berlaku tidak adil kepada
kita. Mungkin kita telah berjabatan tangan hingga berpelukan dengan famili yang
pernah menyakiti kita. Mungkin kita telah mengucapkan permohonan maaf-memaafkan
kepada rekan kerja yang mengkhianati kita. Atau mungkin kita pernah
bersilaturahmi pada acara open house
pejabat yang dikenal korup. Namun pernahkah anda merasa bahwa menempelkan kedua
tangan saja dirasa kurang cukup? Apakah karena ketidaksungguhan dan kekurang
ikhlasan penyebabnya?
Untuk menjawab pertanyaan di atas saya ingin kita
merenungkan sebuah kisah tentang seorang pemuda saleh yang memakan sebutir apel
yang ia temukan mengambang di tepi sungai. Belum sempat pemuda saleh itu
menelan apel pada gigitan pertamanya, ia tersadar bahwa apel itu bukan
miliknya. Ia kemudian menyusuri sungai untuk menemukan kebun apel dan meminta
maaf kepada pemiliknya. Sang pemilik kebun apel tidak menerima permintaan maaf
si pemuda saleh kecuali dengan satu syarat. Si pemuda harus mau menikahi putri
sang pemilik kebun yang buruk rupa, buta kedua matanya, cacat kedua tangan dan
kakinya. Si pemuda saleh telah bertekad untuk menebus dosanya dan menyanggupi
syarat yang diajukan sang pemilik kebun. Ketika si pemuda dipertemukan dengan
calon istrinya ia kaget ternyata calon istrinya adalah seorang perempuan yang
cantik, sempurna anggota badannya dan salehah. Sang pemilik kebun menjelaskan
bahwa kedua mata, tangan dan kaki putrinya tidak pernah digunakan untuk
perbuatan dosa. Inilah yang diumpamakan sebagai cacat anggota tubuhnya.
Akhirnya pemuda saleh tersebut dinikahkan dan hidup bahagia dengan istrinya.
Dari cerita di atas, saya ingin menggaris bawahi bahwa
memperoleh maaf kadang tidak cukup ditebus dengan tempel-tempelan tangan
disertai pengucapan kalimat permohonan maaf saja. Adakalanya kesalahan yang
pernah dilakukan seseorang harus ditebus dengan ganti rugi materi, menjalani
proses hukum yang adil, melakukan perbaikan, berkomitmen tidak akan melakukan
kesalahan serupa. Sehingga memenjarakan oknum pejabat yang terbukti korupsi
saja dirasa tidak cukup memenuhi rasa keadilan rakyat banyak. Karena hukumannya
harus disertai dengan pencopotan jabatan, penyitaan seluruh harta kekayaannya
untuk negara dan selamanya dilarang memegang jabatan pemerintahan.
Halalbihalal bukan sekedar media untuk melebur dosa
secara vertikal tetapi harus bisa menyentuh ranah horisontal. Memang betul
bahwa dengan bermaafan dapat mengundang kasih sayang dan ampunan Allah SWT.
Tapi kita juga jangan sampai mengabaikan pengembalian hak orang-orang yang
disakiti. Maka dari itu paradigma halalbihalal bukan hanya ditujukan pada ranah
vertikal berupa peleburan dosa kepada Allah SWT saja tetapi juga ranah
horisontal berupa penunjukkan sikap kesungguhan dan perbaikan kepada orang-orang
yang dimintai maaf. Cara yang bisa dilakukan adalah sebagai berkut.
Pertama, sebutkan kesalahan-kesalahan yang pernah
dilakukan secara detail. Saya punya pengalaman menarik tentang fenomena mengakui
kesalahan secara detail saat mudik ke kampung halaman ibu di kota kebumen. Ketika masyarakat di sana bersalaman, mereka melakukannya sambil membisikkan
permohonan maaf atas berbagai kesalahan dengan kalimat dan suara lemah lembut
yang hanya terdengar oleh keduanya. Mereka menguraikan kesalahan-kesalahan yang
pernah dilakukan diri mereka sendiri. Mereka tidak akan melepaskan jabatan
tangannya sebelum keduanya menyelesaikan menguraikan kesalahan-kesalahannya.
Kedua, Melakukan perbaikan atas segala kesalahan. Bila
menyangkut hak orang lain maka hak tersebut harus dikembalikan kepada
pemiliknya. Bila berkenaan dengan regulasi yang hanya menguntungkan pribadi
atau pihak tertentu saja maka harus diperbaiki dengan menyusun regulasi yang
berkeadilan bagi semua pihak.
Ketiga, berkomitmen tidak akan mengulangi kesalahan
serupa atau lainnya. Dalam melakukan interaksi sosial, permasalahan bisa muncul
pada siapa saja, kapan saja dan di mana saja. Dan tidak ada masalah yang tidak
dapat dipecahkan merupakan prinsip alamiah yang selalu berlaku. Tetapi bila
pihak yang pernah merugikan ingin bekerja sama dengan pihak yang pernah
dirugikan maka kemampuan dalam menunjukkan komitmet untuk tidak mengulangi
kesalah serupa atau yang lainnya adalah harga mati. Selain mengakui kesalahan
dan melakukan perbaikan.
Paradigma halalbihalal bukanlah sebatas menempelkan
kedua tangan kita kepada orang lain sambi mengucapkan kalimat maaf-memaafkan. Tetapi
lebih kepada kelanjutan dari semangat halalbihal tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana komentar anda tentang artikel ini