Selasa, 06 November 2012

Menyoal Revitalisasi Kurikulum Pendidikan

Oleh : Didin Mulyanto
          Staf Pengajar dan Tim Kurikulum MA Husnul Khotimah, Kuningan
          Artikel ini pernah dimuat di rubrik Forum Guru
          Pikiran Rakyat, Rabu 10 Oktober 2012


Akhir-akhir ini di kalangan pendidik marak berbagai diskusi terkait dengan wacana yang digulirkan pemerintah melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan untuk merevitalisasi kurikulum pendidikan sejak tingkat SD hingga SLTA sederajat. Alasan pemerintah sebagaimana yang disampaikan Ketua Badan Standarisasi Pendidikan Nasional (BSPN) salah satunya adalah karena para siswa saat ini memang cerdas secara akademis, tetapi cenderung tidak respek, tidak toleran, tidak menghormati hukum, ugal-ugalan di jalanan dan berbagai perilaku sejenisnya yang sebenarnya bertolak belakang dengan kecerdasan yang mereka miliki (Metro TV News, 7/10)
Walaupun target revitalisasi tersebut akan memakan waktu minimal enam tahun dan maksimal dua puluh tahun, tak urung wacana itu menimbulkan pro dan kontra di kalangan pendidik. Apalagi pemaknaan revitalisasi kurikulum tersebut adalah menyederhanakkan atau penggabungan beberapa mata pelajaran menjadi satu mata pelajaran saja (“PR”, 3/10). Ini akan merepotkan. Belum lagi nasib guru yang mata pelajaran akan berdampak pada penyederhanaan (baca: pengurangan) jumlah tenaga pengajar.
Telah lama disadari, ada masalah dalam sistem pendidikan kita. Jumlah mata pelajaran dengan materi yang terlalu banyak dan beragam membebani siswa. Kurangnya, penekanan pada aspek agama dan moral membuat siswa kita walaupun kritis dan cerdas, tetapi jauh dari nilai-nilai akhlak mulia, tidak memiliki empati terhadap lingkungan dan sesamanya.
Menurut penulis, revitalisasi pendidikan memang perlu dilakukan. Tentu dengan beberapa catatan. Pertama, pemerintah hendaknya mengingatkan kembali tujuan pendidikan nasional kita sebagaimana yang tertuang dalam pasal 3 UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003. revitalisasi pendidikan seharunya dimaknai sebagai penegasan untuk mencapai tujuan tersebut di mana kecerdasan siswa secara akademik disertai dengan kecerdasan emosional dan spiritual. Apalagi, sudah menjadi pengetahuan umum kalau atmosfer pendidikan kita selama ini lebih cenderung pada aspek akademik semata.
Kedua, alangkah baiknya jika revitalisasi kurikulum itu dalam bentuk pengarahan keepada siswa sejak SD hingga SLTA untuk memilih mata pelajaran sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya. Jadi, ada semacam mata pelajaran umum di mana setiap siswa wajib menguasainya dan ada mata pelajaran pilihan yang disesuaikan dengan kompetensi yang diinginkan siswa. Dengan demikian, revitalisasi kurikulum pendidikan tidak bermuara pada penyederhanaan atau penggabungan mata pelajaran, tetapi sesuai dengan makna asalnya yang berarti proses, cara dan perbuatan menghidupkan kembali berbagai mata pelajaran yang sebelumnya kurang berdaya menjadi lebih berdaya guna. Artinya sesuai dengan kebutuhan dan kompetensi siswa.
Ketiga, penekanan pada pendidikan agama, moral, serta kebangsaan di setiap jenjang pendidikan. Ini penting, karena secerdas apapun siswa kita, kalu tidak disertai dengan bekal agama, mora, serta nilai kebangsaan, akan membahayakan tidak hanya dirinya sendiri tetapi juga bangsa dan Negara. Theodore Roosevelt mengatakan:”To educate a person in mind and not in morals is to educate a manace to society” (mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman marabahaya bagi masyarakat).

Minggu, 04 November 2012

Perampingan Mata Pelajaran, Tepatkah?

Oleh : Dahrun Usman
          Guru MI Asih Putera Cimahi
          Artikel ini pernah dimuat di rubrik forum guru
          Pikiran Rakyat Rabu 3Okteber 2012


Setelah berencana menambah jam belajar di sekolah, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) bakal merampingkan jumlah mata pelajaran sekolah dasar, mulai taahun ajaran 2014-2015 menjadi empat pelajaran, yaitu agama, bahasa Indonesia, pendidikan kewarganegaraan (PKn), dan matematika.
Rencana kebijakan Kemendikbd ini sudah menuai protes dari berbagai kalangan, bahkan guru-guru SD di kota Solo menolak penghapusan pelajaran IPA dan IPS.
Kalau dilihat dari  efektivitas dan perampingan materi esensial dari setiap standar kompetensi dan kompetensi dasar agar sekolah dasar tidak padat materi, pengintegrasian beberapa mata pelajaran bisa menjadi solusi. Akan tetapi, kalau perampingan mata pelajaran dengan mengorbankan pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), akan merugikan beberapa kerangka ilmiah dasar yang seharusnya diterima anak-anak sejak SD. Pasalnya, mata pelajaran IPA dan IPS merupakan dasar penerapan pemikiran ilmiah pada siswa.
Menurut hemat penulis, pelajaran IPA dan IPS terlalu berat materinya kalau dipaksakan diintegrasikan dengan mata pelaaran matematika dan PKn. Dalam praktik di lapangan, bisajadi materi kedua pelaaran ini hanya menjadi subordinasi mata pelajaran induknya.
Penulis mengusulkan agar mata pelajaran IPA dan IPS tetap ada dan dijadikan subjek atau induk terhadap pelajaran lain dalam mengintegrasian materi bahan ajar. Hanya ,uatan standar kompetensi, kompetensi dasar, dan indikatornya yang dikurangi.
Artinya, hanya materi-materi esensial yang diajarkan sehingga tidak memberatkan anak disik. Sebagai contoh, materi pelajaran IPS bobotnya sangat berat dan luas untuk standar SD. Bahkan, menurut pengalaman penulis, banyak materi pelajaran IPS dan PKn di SD terlalu berat untuk diajarkan. Misalnya, globalisasi, sistem pemerintahan, serta peran dan fungsi lembaga-lembaga Negara.
Daripada menghapus pelajaran IPA dan IPS, Kemendikbud lebih baik memilih dan memilah beberapa materi pelajaran yang tumpang tindih dalam kurikulum. Contohnya, IPS dan PKn sama-sama membahas globalisasi, lembaga-lembaga Negara, perumusan Pancasila, dan Pemilu. Padahal materi-materi itu bisa disampaikan dalam satu pelajaran IPS atau PKn saja. bengan denikian, anak-anak tidak dua kali menghadapi materi yang sama sehingga membosankan.
Kemudian, Kemendikbud juga harus benar-benar tepat dalam membagi materi pelajaran dalam proses pengintegrasian bahan aja. Dengan demikian, tidak menimbulkan overlapping dan kejomplangan materi antarpelajaran. Di samping itu, Kemendikbud pun perlu melakukan kajian ilmiah dan telaah riil di lapangan terhadap kebutuhan kurikulum pendidikan Indonesia sekarang agar kebijakan yang diterapkan benar-benar sesuai dengan bdaya dan karakter bangsa Indonesia.
Jangan sampai, alih-alih ingin memperbaiki kualitas pendidikan dan mencerdaskan bangsa, justru malah membuat kualitas pendidikan tambah parah. Wallahu’alam bisawab.

Jumat, 02 November 2012

Kode Etik Guru, Peluang atau Ancaman?

Oleh : Marinus Waruwu
          Guru SMP Yos Sudarso, Kota Bandung
          Artikel ini pernah dimuat di rubrik Forum Guru
          Pikiran Rakyat, Senin 29 Oktober 2012


Untuk meningkatkan kualitas dan profesionalisme guru, persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) sedang menyusun kode etik bagi guru di sekolah. Menurut ketua umum PGRI Sulistiyo, kode etik itu akan diberlakukann tahun 2013.
Kode Etik Guru Indonesia (KEGI) mencakup 70 panduan sikap dan norma bagi guru dalam mendidik peserta didik. Isi kode etik itu menyangkut norma dan perilaku guru dalam relasi dengan peserta didik, orangtua, masyarakat, rekan profesinya, oraganisasi guru, dan pemerintah.
Penulis sangat mendukung berbagai upaya PGRI dalam menciptakan dan menformat para guru yang handal dan profesional dalam tugas, termasuk dengan menyiapkan kode etik bagi para guru. Namun, kelahiran kode etik ini tentu akan mengundang pro dan kontra di kalangan guru. Bahkan kode etik guru ini sudah memunculkan kegelisahan sebagian guru di sekolah. Mereka menganggap, dengan adanya kode etik maka kreativitas guru akan semakin menurun. Benarkah demikian?
Penulis mencoba merefleksikan beberapa peluang dan ancaman dengan adanya kode etik ini. Kode etik akan mendorong guru untuk bersungguh-sungguh mengutamakan profesionalisme dan kualitas dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pendidik di sekolah. Selain itu, akan mendorong independensi guru di sekolah dan di mana pun dia berada. Kode etik tentu akan menambah wawasan bagi guru tentang mana yang pantas dan tidak boleh dilakukan, mana yang bertentangan dengan aturan. Guru tahu bahwa segala tindak tanduknya di sekolah memiliki aturan main.
Kode etik guru juga dapat menghindarkan guru menjadi seorang penjilat, baik terhadap atasan maupun orangtua siswa. Dengan begitu, guru tidak akan memanfaatkan jabatannya untuk mendapatkan sesuatu dari orangtua, seperti materi, pujian, dan sebagainya.
Dengan kode etik ini pula guru akan disadarkan, menjadi seorang guru merupaka sebuah panggilan, bukan paksaan, atau karena kebutuhan ekonomi. Oleh karena itu perlu totalitas dan loyalitas dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.
Bagaimana dengan ancaman? Kreativitas guru akan terbentur dengan kode etik guru. Di satu sisi guru akan berusaha bersikap tegas dengan segala reward and punishment dalam mendidik siswa, di sisi lain, segala upaya dan daya juang guru bisa saja dibenturkan dengan norma perilaku guru seperti tertuang dalam kode etik, sehingga menyebabkan kecenderungan bahwa punishment dari seorang guru terhadap peserta didik tertentu dianggap bertentangan dengan kode etik guru. Guru menjadi serba salah!
Kode etik akan melahirkan sikap mencari-cari kesalahan guru di sekolah. Jika kode etik ini benar disosialisasikan, maka orangtua dan peserta didik akan semakin peka terhadap setiap gerak-gerik guru dalam menjalankan tugas dan pelayanannya.
Terlepas dari segala peluang dan ancaman itu diharapkan kehadiran kode etik guru akan semakin mendorong peningkatan kualitas dan profesionalisme guru Indonesia. Selain itu, para guru juga akan semakinpeka terhadap tuntutan zaman, terbuka terhadap kritik dan masukan, memiliki totalitas dan loyalitas dalam profesi sebagai guru, mencintai profesi guru serta menyadari bahwa menjadi seorang guru adalan sebuah panggilan mulia. Semoga!