Rabu, 31 Oktober 2012

Formulasi Tiga Diklat

Oleh : Kusman Rukmana
          Guru PKn SMAN Tomo, Kabupaten Sumedang
          Artikel ini pernah dimuat di rubrik forum guru
          Pikiran Rakyat, Selasa 30 Oktober 2012


Sebagai akibat dari tidak optimalnya hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) secara nasional, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan telah menyiapkan formulasi tiga diklat, yakni diklat tatap muka, daring (online), dan CD interaktif. Guru yang memiliki nilai UKG buruk akan menjalani diklat tatap muka, sedangkan yang bernilai bagus akan digandeng sebagai fasilitator (“PR”, 19/10).
Terlepas dari pro dan kontra mengenai formulasi tiga diklat, sepanjang regulasi tersebut merupakan upaya untuk meningkatkan kualitaspendidikan secara makro di Indonesia, sepertinya tidak ada alasan untuk tidak menyetujuinya.
Dengan formulasi tiga diklat tersebut, sudah seharusnya pemerintah mengoptimalkan peran pengawas dan kepala sekolah, terutama dalam sosialisasi. UKG memiliki korelasi linier dengan Penilaian Kinerja Guru (PKG) karena berorientasi praktis, kuantitatif, dan kualitatif.
Diharapkan para guru akan lebih termotivasi  untuk meningkatkan kinerja dan profesionalitasnya, lalu hasil UKG akan menjadi acuan dalam melaksanakan penilaian kinerja guru dan penilaian guru berkelanjutan (PKB) yang akan diberlakukan pada tahun 2012 (“PR”, 22/10).
Melaksanakan evaluasi pendidikan merupakan salah satu kompetensi pengawas di sekolah. Salah satu instrumennya adalah melakukan bimbingan terhadap guru dan aspek-aspek penting lainnya, terutama yang menyangkut pembelajaran.
Kemudian, perlu ada kejelasan mengenai pihak-pihak yang secara langsung menjadi penanggung jawab program UKG di daerah, apakah Dinas Pendidikan kabupaten/ kota melalui bimbingan mutu pendidikan atau langsung oleh pemerintah pusat? Hal ini berbeda dengan penilaian kinerja guru (PKG) yang tim penilainya jelas, yaitu kepala sekolah, guru senior, dan pengawas.
Berdasarkan pengalaman sebelumnya, menghadapi UKG saat terjadi keresahan di kalangan guru sebagai akibat tidak biasa dan tidak siapnya guru dalam menghadapi tes atau uji kemampuan. Akibatnya, guru menjadi “lupa” terhadap tugasnya dalam mengajar sehingga peserta didik terbengkalai dalam belajar.
Oleh karena itu, sebaiknya pemerintah membuat petunjuk pelaksanaan mengenai formulasi tiga diklat tersebut yang tidak mengganggu kinerja mengajar guru. Setiap program evaluasi yang dilakukan pemerintah terhadap peningkatan kompetensi guru diharapkan tidak sampai mengabaikan hak-hak peserta didik dalam memperoleh pembelajaran hanyakarena gurunya “sibk” menghafal soaal-soal ujian sejenisnya.
UKG juga jangan dijadikan satu-satunya alat untuk mengukur kompetensi guru. Satu diantaranya adalah penerapan PKG dengan mengoptimalkan fungsi pengawasan sekolah dan kepala sekolah untuk memonitor secara langsung dan melakukan penilaian secara objektif terhadap kinerja guru.

Kamis, 11 Oktober 2012

Membangun Karakter Siswa

Oleh : Edi Kusmawan, S.Ag
          Guru MI At-Taufiq, Kota Bandung
Undang-Undang Dasar mengamanatkan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi  manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreaktif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung.
             Mengingat pentingnya pendidikan bagi kemajuan sebuah bangsa, maka pendidikan harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya guna mencapai hasil seperti yang ditargetkan. Keterlibatan berbagai komponen dan unsur pendukung proses pendidikan perlu diberdayakan secara maksimal.
           Memang pada dasarnya untuk membangun karakter siswa khususnya dan umumnya manusia tidak semudah ketika kita membicarakannya apalagi semudah membalikkan telapak tangan. Perlu proses dengan perencanaan dan struktur yang matang. Karena upaya membangun karakter siswa merupakan salah satu upaya sepanjang hidup. Yang diharapkan kontinuitasnnya baik melalui pendidikan di Sekolah,di Perguruan Tinggi bahkan hingga ke Pesantren. Pesantren pun telah memberikan peran yang tidak kalah pentingnya dalam membentuk karakter siswa. Salah satu contohnya adalah Pesantren Suralaya yang di Pimpin oleh seorang yang bernama KH.Bah Anom di Tasikmalaya. Pesantren ini menerapkan metode rukiyah yang diberikan terhadap orang – orang yang terlibat dengan NARKOBA yang telah banyak menjerat kalangan artis. Sehingga perlu diyakini bahwa tema ini merupakan tema yang sangat penting dan wajib terus di bangun. Karena para siswa merupakan aset bangsa yang memiliki keberagaman dalam pengalaman belajar, tingkat pengetahuan, pemahaman, metode berpikir dan lingkungan yang mempengaruhinya.
Atas dasar pemikiran di atas, melalui artikel ini penulis ingin berbagi dalam mencarikan solusi dan pemahaman tentang dimensi-dimensi yang mempengaruhi intelektualitas siswa dan manusia pada umumnya. Empat faktor yang dapat meningkatkan dan membangun karakter siswa .Antara ;lain :
Pertama, Karakter Ilmu. Firman Allah dalam Al-qura’n ,surat Al-mujadilah ayat 11 berbunyi: Bahwa Allah akan mengangkat harkat dan derajat seseorang yang beriman dan berilmu, menjadi motivasi bagi siswa,untuk terus mencari ilmu.
Kedua, Karakter Agama. Dalam ajaran agama pengajaran dan nasehat yang membimbing manusia ke jalan yang lurus. Dan dakwah merupakan salah satu metoda transfer wawasan dan pemahaman ilmu agama. Begitu pentingnya aktivitas dakwah hingga sepanjang hidupnya, Rasulullah saw tidak pernah meninggalkan aktivitas ini. Maka dakwah merupakan salah satu karakter Rasulullah saw dalam menyampaikan firman –firman Allah  SWT.
Ketiga,karakter budi pekerti. Nabi Muhammad saw membangun karakter umat dan peradabannya melalui suri tauladan yang baik. Beliau mengajarkan manusia akhlakul karimah dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga umatnya waktu itu bisa mengamati langsung aplikasi dari apa yang diajarkan beliau secara live.
Ke empat, karakter keterampilan
Pada prinsipnya pada setiap diri siswa telah terkandung potensi yang harus digali dan dikembangkan oleh masing-masing siswa. Yang bisa dilakukan dalam beragam aktifitas sehari –hari mulai ketika berada di rumah, sekolah hingga lingkungan sekitar siswa. Di Mana  sekolah dan di rumah, merupakan tempat yang tidak pernah lepas dari segala kegiatan  keagamaan, pendidikan lingkungan hidup dan kegiatan sosial merupakan denyut aktivitas dari masyarakatnya.

Senin, 08 Oktober 2012

Buta Aksara Al Quran


Oleh : Udi Wahyudi


          Guru MDA Tawaf Al Ikhlas


Berdasarkan dara yang diperoleh daru Unit Kegiatan Mahasiswa Baca Alquran Intensif Universitas Pendidikan Indonesia, dari 2.088 mahasiswa baru UPI semester ganjil tahun 2012/2013 yang mengikuti tes baca Alquran, 1.521 orang (72,8 persen) dinyatakan “belum mampu” membaca Alquran dengan baik, tidak jau berbeda dengan hasil tes enam semester sebelumnya.
Sebagai umat Islam yang tengah digonjang-ganjing dari berbagai penjur, sudah sepantasnya kta semakin menjadikan Alquran sebagai pegangan hidup kita. Jika berbicara ideal, mestinya kita memahami kandungan isi Alquran. Berdasarkan realita yang terjadi, dapat disimpulkan jika baru sebagian kecil saja yang mencapai criteria tersebut.
“Ada asap, ada api”. Jika tidak ada sebab, tidak mungkin terjadi akibat yang berarti. Menurut Slameto dalam “Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya”, secara garis besar factor penyebab gagal atau berhasil dalam mempelajari sesuatu dikelompokkan menjadi factor intern dan ekstern.
Faktor internal dibatasi hanya factor psikologis, yaitu perhatian dan minat. Jika anak sudah tidak memiliki perhatian untuk belajar Alquran, jangan harap ia akan pandai membacanya. Apabila anak kehilangan minat untuk mempelajari Alquran, karena penyampaiannya kurang menarik atau tujuannya kurang jelas, anak pun tidak akan bertahan lama dalam mempelajarinya.
Adapun faktor ekstern pertama yang mempengaruhi dalam belajar membaca Alquran adalah orang tua. Peran orang tua sangat berpengaruh terhadap keberhasilan anak. pada kenyataannya, orang tua sekarang ini lebih mengusahakan anaknya untuk ikut les olah raga, matematika, atau bahasa Inggris, ketimbang les mengaji. Hal inilah yang menyebabkan anak tidak mengenal Alquran. Padahal, di akhirat sana tidak ada satu pun dalil yang mengatakan manusia akan ditanyai matematika, bahasa Inggris, atau disuruh lomba olah raga renang.
Faktor eksternal berikutnya adalah media hiburan. Dimungkiri atau tidak, kekhusyukan siswa saat ini dalam belajar Alquran sudah terganggu oleh berbagai acara hiburan. Misalnya saja media jejaring sosial dengan berbagai fiturnya yang dibuat sedemikian rupa sehingga tidak membosankan. Stasiun televise pun berlomba-lomba membuat beragam acara menarik untuk membuat pemirsanya betah menonton nya berlama-lama. Belum lagi game online yang memiliki magnet tersendiri. Faktor eksternal terakhir adalah tidak tersedianya wahana pembelajaran Alquran. Di kota-kota besar atau pedesaan yang agamis, wahana pengajian mungkin masih menjamur. Naming, kondisi berbeda akan terjadi di tempat-tempat tertentu yang langka ustaz. Bahkan untuk mencari orang yang azan dan mau menjadi imam salat pun sulit.
Oleh karena itu, perhatian seluruh elemen, mulai dari pemerintah sebagai pemegang otoritas melalui Kemenag atau dinas terkait lainnya, orang tua, dan sekolah tempat mereka bersosialisasi, sangat dibutuhkan. Kesemuanya itu bermuara pada munculnya generasi Muslim yang kian dekat dengan Alquran.

Sabtu, 06 Oktober 2012

Solusi Mengatasi Tawuran Pelajar

Oleh : Satrio Wahono
          Sosiolog dan Magister Filsafat UI
          Artikel ini pernah dimuat di rubrik Podium
          Koran Tribun Jabar, Jumat 28 September 2012
-->
Wajah dunia  pendidikan kita lagi-lagi tercoreng! Betapa tidak, hanya dalam waktu dua hari saja, tragedy tawuran yang menelan korban jiwa kembali terjadi. Yang pertama adalah tawuran pada senin (25/9/2012) anatar elajar SMA 6 dan 70, yang mengakibatkan Deni Yanuar, seorang siswa SMA 6, tewas terkena bacokan senjata tajam. Sementara peristiwa tawuran kedua terjadi di Manggarai, Jakarta Selatan, antara SMK Yayasan Karya 66 dan SMA Kartika Zeni yang juga menimbulkan korban jiwa seorang pelajar padaRabu (26/9/2012).
Tak pelak deretan kasus ini laksana tamparan serius bagi para stakeholders (pemangku kepentingan) dunia pendidikan kita. Sungguh kita patut mengurut dada betapa tawuran sudah menjadi fenomena yang meluas. Artinya, ilustrasi pendidikan kita tampaknya gagal mendidik siswa-siswa mereka menjadi pribadi yang diharpkan muncul dari pendidikan. Yaitu, mengutip Anita Lie dalam Cooperative Learning (2005), siswa menjadi manusia yang mandiri sekaligus mampu hidup berdampingan dan menunjang keberlangsungan hidup sesamanya.
Dua Mata Rantai
Sejatinya, ada dua mata rantai yang bisa teramati dari peristiwa tawuran di atas. Pertama, kondisi tawuran sebagai institusi atau pranata. Maksudnya, sebagai suatu nilai yang sudah demikian melembaga serta dihayati betul oleh para anggota suatu kelompok.
Dalam kerangka antropologi, tawuran adalah semacam perekat identitas khaas kelompok dan berperan sebagai ritus akilbalig atau inisiasi (rites of passage) bagi para anggota baru kelompok. Dalam masyarakat tradisional, ritus ini bisa berupa tudas perburuan hewan. Namun, dalam konteks sekolah yang memiliki budaya tawuran, ritusnya adalah tawuran itu sendiri.
Jadi, seorang pelajar-baru tidak akan dianggap sah menjadi bagian dari kelompok pelajar yang lebih besar jika dia tidakmelewati ritus akilbalik berupa tawuran. Sekaligus, ritus tawuran akan menegaskan identitas kelelakian seorang pelajar., sebuah prestasi yang kemudian bisa dibangga-banggakan kepada khalayak lebih luas. “Filosofi” ritus tawuran jadinya adalah upaya menunjukkan kekuatan fisik khas laki-laki yang militant atas orang lain. Akibatnya, terciptalah budaya militerisme.
Tanpa melakoni ritus tawuran, seorang pelajar akan diberikan stigma sebagai “warga kelas dua” atau warga belum dewasa yang tidak memiliki martabat dan hak penuh sebagaimana mereka yang sudah melewati tawuran. Stigma inferior itu juga tercermin dalam istilah-isilah ejekan yang dilekatkan kepada siswa anti-tawuran.
Kedua, aspek hilangnya keteladanan dan anutan (role model) bagi pelajar untuk mencontoh perilaku positif. Cakupan anutan yang biasanya berusia lebih tua itu-mulai dari orangtua, guru, kepala sekolah, hingga para penguasa kita. Inilah buah dari praktik-praktik tak patut pata “orang tua” kita yang menghiasi media dan layar kaca setiap hari. Yakni, praktik seperti korupsi, konflik antar kelompok, kebohongan public, dan lain-lain.
Solusi Konkret
Beranjak dari dua hal di atas, sebetulnya kita bisa merumuskan sejumlah solusi konkret demi memutus mata rantai tawuran yang sudah demikian melembaga. Pertama, mengalihkan rites of passage tawuran yang berbau militerisme kea rah budaya militer yang genuine (sungguhan). Maksudnya, para murid SMU bisa diberikan latihan kemiliteran selama, misalnya satu bulan, sebagai ganti program masa orientasi siswa (MOS). Tujuannya, supayasiswa mendapatkan nilai-nilai militer sejati yang positif: patriotisme, jiwa ksatria, kehormatan, etika, dan lain sebagainya. Dengan begitu, budaya militerisme berubah menjadi budaya militer yang lebih konstruktif. Pemberian latihan militer ini, sebagai contoh, juga sudah dicoba di sejumlah politeknik dan terbukti berhasil meredam potensi kekerasan di antara mahasiswa.
Kedua, kita semua seyogyanya mulai memberikan tingkah-laku penuh teladan kepada para generasi di bawah kita supaya tercipta rasa hormat siswa terhadap mereka yang lebih tua. Terutama lagi yang perlu memberikan teladan adalah orangtua, keluarga dekat adalah orangtua, keluarga dekat, dan guru. Sebab, merekalah yang pada hakikatnya bersentuhan langsung dan dari waktu ke waktu dengan siswa.
Terakhir, perlu diberikan suatu pelajaran etika, atau filsafat moral dalam bahasa Kees Bertens (Etika, 1995), dalam kurikulum SMU. Khususnya lagi, etika kepedulian itu seyogiayanya memasukkan kedelapan ciri kepedulian yang diberikan MC Raugust (1992). Satu, etika kepedulian mengutamakan hubungan saling peduli terhadap orang lain. Dua, orang dalam situasi khasnya masing-masing dapat menerima dan memberikan kepedulian itu.
Tiga, menjunjung tinggi individulisme. Maksudnya, masing-masing individu-sesama pelajar, wartawan, atau siapapun juga-wajib diterima sebagai pribadi yang unik dan karena itu mereka saling membutuhkan satu sama lain. Konsekuensinya, manusia harus mengutamakan saling memberi dan menerima saja kebaikan orang lain.
Empat, etika ini berfokus pada pribadi yang konkret, bukan pada sosok yang tak berwajah atau anonym. Lima, keputusan diambil berdasarkan universalitas situasi dan kondisi. Enam, hubungan antar manusia dipandang sebagai proses jangka panjang, bukan jangka pendek. Tujuh, kebaikan (virtue) lebih diutamakan daripada kewajiban berlaku adil (justice). Delapan, perasaan peduli haruslah diikuti dengan aksi yang mensyaratkan kompetensi atau kemampuan untuk melaksanakan aksi tersebut.
Berbekal solusi-solusi di atas, semoga di masa depan kita tidak akan menyaksikan lagi babakan kelam dunia pendidikanberupa tawuran seperti yang kerap terjadi dari waktu ke waktu.