Guru MTs Syarif Hidayatulloh, Kecamatan Cipongkor, Kabupaten Bandung Barat
Artikel ini pernah dimuat di rubrik Forum Guru
Pikiran Rakyat Jumat 4 Mei 2012
Peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) setiap 2 Mei 2012
secara serentak telah diselenggarakan dengan tema besar “Bangkitnya Generasi
Emas Indonesia”.
Hardiknas memang lebih menjadi “ritus tahunan” yang senantiasa diperingati
masyarakat. Namun, sepertinya hal ihwal menyangkut problematika pendidikan
nasional dari tahun ke tahun masih saja berputar-putar seolah tanpa titik temu
penyelesaian. Demikian pula halnya pegangan yang dapat dijadikan pijakan
normative penyelenggaraan pendidikan, ada Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional (UU Sisdiknas) dan berbagai peraturan pemerintah lainnya. Kontroversi
Ujian Nasional, perilaku kekerasanm anggaran pendidikan, dan masih lebarnya
kesenjangan hak pendidikan merupakan “kabar duka” yang masih menyelimuti dunia
pendidikan nasional.
Masih dalam semangat Hardiknas, mari kita erefleksikan kondisi
pendidikan saat ini dengan membuka kembali naskah-naskah ajaran Bapak
Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara karena beliaulah salah seorang yang
meletakkan fondasi awal pemikiran dan gerakan pendidikan di tanah air.
Banyak sekali pemikiran Ki Hajar Dewantara. Salah satunya adalah
menmpatkan pendidikan sebagai alat perjuangan nasional untuk mengangkat
harkatdan martabat warga pribumi dari penjajahan bangsa kolonila. Ki Hajar
Dewantara menyadari betul bahwa salah satu upaya untuk melepaskan diri dari
belenggu penjajahan adalah dengan pendidikan. Upaya ini akan berhasil jika
didorong dari bawah, yaitu rakyat karena rayat merupakan kekuatan utama untuk
mendapatkan pengajaran agar terdidik menjadi pandai.
Menjadi ironis jika gagasan Ki Hajar Dewantara dibenturkan dengan
fakta social pendidikan saat ini. Tidak sedikit pemahaman masyarakat dan
(mungkin) diantara pemangku kebijakan pendidikan yang menempatkan pendidikan
sebagai lahan peruntukan pencarian materi (proyek). Tak heran, saat ini kita
banyak menemukan institusi pendidikan yang kian menjauh dari keterjangkauan
kemampuan biaya masyarakat secara umum. Tak sedikit pula aparat dan birokrat yang
terjerat kasus hukum karena melakukan penyalahgunaan wewenang di bidang program
pendidikan.
Perspektif lain dari pemikiran Ki Hajar Dewantara adalah pentingnya
keseimbangan dalam muatan ajar, yang disebutkan sebagai daya cipta, rasa, dan
karsa. Pentingnya keseimbangan ini merupakan bentuk apresiasi atas potensi
kemanuasiaan anak didik sebagai subjek merdeka untuk mengantarkan pada jati
diri sebagai makhluk berbudaya. Menitikbertkan atau mengesampingkan salah satu
di antaranya merupakan tindakan panafian atas potensi kemanusiaan anak didik.
Tudas utama para pendidik hanyalah fasilitator atau penuntun dari tumbuh kembangnya
potensi yang ada pada anak didik menuju taraf kemandirian.
Bercermin pada sejarah dan menghadirkan kembali
“roh pendidikan” sebagai élan vital perjuangan bangsa oleh seluruh masyarakat
pendidikan patut kita refleksikan dalam mencermati pendidikan basional kita
saat ini. Bagaimanapun kondisi saat ini, optimisme atas masa depan pendidikan
nasional harus tetap terjaga seraya terus memperbaiki system pendidikan yang
ada saat ini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana komentar anda tentang artikel ini