Guru MI At-Taufiq, Kota Bandung
Pornografi
merupakan industri yang dibenci namun ternyata tidak sedikit pula konsumennya. Menurut data
statistik tahun 2006 total pendapatan dunia dari bisnis ini adalah 97.06 milyar
dolar atau setara dengan 886 trilyun rupiah. Trend statistik ini akan cenderung
terus meningkat seiring dengan perkembangan teknologi dan tumbuh suburnya penyedia
layanan internet berkapasitas bandwint besar. Hal ini memudahkan proses upload
dan download berbagai macam pilihan format film. Seperti DVD, VCD, MPEG, 3GP,
AVI, WMA, MOV, WMV, 3G2, MP3, dan MP4. Yang mengerikan tayangan haram ini bisa
diputar melalui fasilitas video player di handphone yang biasa anak-anak kita
bawa ke sekolah.
Dalam
hal pemberantasan terorisme, Indonesia
telah memiliki Detasemen Khusus (Densus) 88 yang reputasi dan prestasinya telah
diakui dunia. Dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) telah lama menunjukkan taringnya. Walaupun badai pelemahan KPK
tampak belum juga mereda. Dalam memberantas kejahatan narkotika, psikotropika
dan obat terlarang (Narkoba), pemerintah memiliki Badan Narkotika Nasional
(BNN). Namun pemerintah belum memiliki Densus, komisi atau badan yang secara
khusus memerangi pornografi. Mungkin pertanyaannya Densus, Komisi atau Badan
Khusus seperti apa yang sanggup memerangi sesuatu yang telah lama menjadi
barang koleksi sebagian warga negara. Sekedar merumuskan Rancangan
Undang-Undang Pornografi saja, para wakil rakyat kita masih terbata-bata seperti
anak TK (Taman Kanak-kanak). Tampaknya mereka
masih sibuk dengan hawa nafsunya sendiri. Galau bila kesenangannya dikekang
pasal-pasal hukum pidana.
Pornografi
sama berbahayanya dengan terorisme, korupsi dan narkoba. Karena bisa memicu
tindak kejahatan, pemiskinan, hingga disorientasi mental dan moral bagi segala
lapisan umur, pendidikan dan status masyarakat. Menurut situs Topreviews.com Indonesia
adalah pengakses internet peringkat ketujuh dunia dalam penggunaan kata kunci
‘sex’ pada search engine. Hasil survey ini mengindikasikan bahwa masyarakat
kita memiliki curiosity yang luar
biasa besar pada tayangan esek-esek. Bagi industri pornografi, ini merupakan
peluang untuk menggemukkan pundi-pundi keuntungannya. Majalah Playboy telah
menyadari potensi ini sejak beberapa tahun yang lalu. Walau mendapat aksi
protes dari salah satu Organisasi Masyarakat (Ormas) Islam tapi mereka
bergeming dan memindahkan kantornya dari Ibukota Negara ke pulau dewata.
Pornografi
berkontribusi dalam pemiskinan warga Negara. Uang berjumlah besar hanya berputar
di sekitar aktivitas download files di internet saja. Saya ambil contoh ketika
video mesum seorang anggota DPR dengan artis dangdut merebak. Search Engine seperti Google dan Yahoo
mencatat setiap harinya tidak kurang 50.000 pengakses internet di Indonesia
mencari files dengan kata kunci nama artis dangdut tersebut. Namun rekor
terbanyak dipegang oleh Youtube. Tercatat hanya dalam beberapa hari 19,6 juta
pengguna internet telah mendownload video mesum ini sebelum akhirnya diblokir.
Bila dimisalkan biaya sekali download
file ini menghabiskan Rp. 1000. Maka total uang warga negara yang menguap
sia-sia diperkirakan Rp.19,6 milyar. Angka ini akan semakin membengkak karena
menurut situs freeserver, rata-rata
10.000 pengguna mendownload file ini setiap harinya. Dan angkanya akan semakin
membesar ketika pengguna mendownload files haram lainnya.
Mengkonsumsi
tayangan pornografi menstimulasi pemirsanya untuk meniru hal yang sama seperti
yang disaksikannya. Dr. Jenning Bryant melakukan studi kepada 600 pelajar pria
dan wanita di sekolah menengah atas dan universitas di Amerika Serikat. Dia
menemukan bahwa 91 persen pria dan 82 persen wanita telah mengenal dan
mengkonsumsi materi pornografi kategori X-Rated
dan Hardcore! Sebanyak 60 persen Pria
dan 40 persen wanita mengatakan, ingin
melakukan apa yang mereka lihat (Soniset. 2007).
Sisi
paling kelam dari akibat yang ditimbulkan pornografi adalah memicu tindakan
kriminal. Seorang sosiolog dari Mills
College , Diana Russel
mengatakan bahwa di seluruh dunia tengah berkembang wacana “Rape Myth” (Seorang
wanita dianggap menyenangi hubungan badan yang dipaksakan). Saat mengkonsumsi
tayangan perkosaan, mereka tidak merasa kasihan atau bersalah. Celakanya mereka
menterjemahkan rasa sakit yang diperlihatkan para pemeran wanita di film porno
tersebut sebagai sensasi yang menyenangkan. Dalam dunia psikologi, perilaku ini
dikategorikan sebagai gangguan jiwa. Menyenangi tayangan penyiksaan secara seksual
demi memperoleh kepuasan sangat bertentangan dengan norma apapun.
Pemerintah
kita telah mengambil keputusan tepat dengan tidak mengijinkan konser Mother Monster bertajuk The Born This Way Ball di Stadion Gelora
Bung Karno yang rencananya akan digelar 3 Juni lalu. Harapan kita, pemerintah
kita dapat mengambil keputusan yang tepat pula saat menyikapi monster-monster
lokal berkedok seni musik dangdut, film layar lebar dan lainnya. Jangan sampai mother monster di seberang benua jelas
terlihat tetapi monster lokal di
depan hidung luput dari perhatian.
Menyikapi
tentang beredarnya ratusan buku bacaan pengayaan pelajaran Bahasa Indonesia
untuk sekolah dasar di Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, saya berpendapat bahwa
penerbit dan penulisnya harus bertanggung jawab. Alasan penerbitan buku
pengayaan untuk pendidikan seks sangat tidak relevan dengan kurikulum
berkarakter. Juga tidak sejalan dengan kultur dan budaya masyarakat kita. Kita
tidak memerlukan pendidikan seks karena kita telah memiliki pendidikan agama,
pendidikan kewarganegaraan (PKn), dan lain-lain jauh sebelum kurikulum barat
mencanangkan pendidikan seks. Yang perlu pemerintah dan dunia pendidikan
lakukan adalah mengupayakan aktualisasi mata pelajaran supaya bisa mengikuti
perkembangan jaman tanpa melupakan jati diri kita sebagai bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana komentar anda tentang artikel ini