Kamis, 07 Juni 2012

Menyikapi Hasil UN

Oleh : Septiardi Prasetyo
           Guru MI At-Taufiq di Yayasan Pendidikan Al-Hikmah


Tanggal 24 Mei peserta didik SMA/MA/SMK mulai menerima hasil Ujian Nasional (UN)-nya. Saya ucapkan selamat kepada kalian dan senantiasa bersyukur kepada Allah SWT atas pencapaian yang diperoleh. Bagi yang belum menerima hasil UN-nya, saya berpesan untuk tidak bosan berdoa supaya memperoleh ketenangan dan hasil terbaik.
Setiap sekolah memiliki cara tersendiri dalam mengumumkan hasil UN peserta didiknya. Ada yang mengirimkannya ke rumah via pos. Ada pula pula yang mengumpulkan peserta didiknya di sekolah. Kemudian membagikan hasil UN berdasarkan skenario yang disusun sedemikian rupa oleh para guru untuk memberi kesan tak terlupakan bagi peserta didiknya. Misal guru berpura-pura mengumumkan nama-nama peserta didik yang tidak lulus. Tapi kenyataannya semua peserta didiknya lulus.
Namun cara yang lain adalah mengundang para orangtua ke sekolah. Selain mencegah aksi coret-coret seragam sekolah dan konvoi kendaraan bermotor juga untuk memberikan penjelasan perihal kelanjutan pendidikan anak-anaknya. Seperti strategi pemilihan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) atau Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang paralel dengan minat dan bakat siswa.
Pada acara tersebut pihak sekolah dapat menjelaskan secara langsung kepada orang tua tentang ujian program paket bagi peserta didik yang tidak lulus dan tidak mau mengulang setahun lagi. Walaupun sebagian masyarakat masih memandang remeh dengan ujian paket namun saat ini ijasah ujian paket tidak berbeda dengan ijasah di sekolah pada umumnya.
Berdasarkan lampiran POS UN SMA/MA/SMK, SMP/MA/SMK peserta didik dinyatakan lulun UN bila nilai rata-rata paling rendah 5,5 dan nilai setiap mata pelajaran paling rendah 4,0. Melalui formula ini diharapkan pemerintah dapat memetakan tingkat kemampuan siswa pada mata pelajaran yang di UN-kan, kualitas guru, pengadaan sarana pendidikan di sekolah dan sebagainya. UN bisa digunakan untuk memetakan pendidikan Indonesia sehingga kelulusan tidak perlu dipaksakan tercapai 100 persen. Hal ini ditegaskan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Mohammad Nuh bahwa semua pihak hendaknya tidak memaksakan memperoleh hasil Ujian Nasional (UN) lulus 100 persen.
Namun sayangnya fungsi UN untuk memetakan kondisi pendidikan Indonesia tidak berjalan sejak pertama kali diberlakukan tahun 2004. Pakar pendidikan dari Institut Teknologi Bandung, Iwan Pranoto mengatakan Delapan tahun UN dilaksanakan, namun sampai sekarang masyarakat tidak tahu kekuatan utama siswa di Indonesia, apakah di statistik, aljabar, geometri, atau pelajaran lainnya. Seharusnya jika tujuan UN benar adalah untuk pemetaan, maka masyarakat tahu hal ini. Beliau melanjutkan tidak pernah menemukan adanya laporan hasil pemetaan pendidikan dari Kementerian Pendidikan atas hasil UN.
Belum ditindaklanjutinya hasil UN oleh pemerintah memicu protes dari sebagian pihak yang menilainya sebagai ketidakseriusan dalam peningkatan mutu pendidikan dan pemborosan anggaran. Bila pemerintah tidak segera menyikapi hasil UN ini maka akan menambah daftar keraguaan masyarakat akan kredibilitas pelaksanaan dan hasil UN itu sendiri.
Selain untuk memetakan kondisi pendidikan Indonesia, pemerintah berencana mengintegrasikan UN sebagai syarat Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Bila rencana ini terlaksana maka akan menghemat anggaran yang cukup besar. Namun indikasi praktek kecurangan saat penyelenggaraan dan pengkatrolan hasil UN memperbesar keraguan kredibilitas UN. Menurut Raihan Iskandar, anggota Komisi X DPR, “Selama masih terjadi berbagai kecurangan dalam penyelenggaraan UN, kredibilitas hasil dari UN patut dipertanyakan dan belum layak dijadikan tiket masuk ke PTN.”
Selain itu, perbedaan sistem penilaian UN dengan SNMPTN menjadi kendala pengintegrasian keduanya. Menurut Wakil Rektor I Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Nurfina Aznam,"Sistem penilaian ujian nasional dengan ujian masuk perguruan tinggi negeri masih tidak sebanding. Ukuran kemampuan yang dinilai di kedua ujian tersebut berbeda." Bahkan untuk untuk calon mahasiswa yang mengikuti jalur undangan selain nilai UN, nilai rapor dan prestasi peserta didik menjadi salah satu syarat penilaian. Sehingga rencana untuk mengintegrasikan UN dengan SNMPTN sebagai satu-satunya syarat memasuki PTN mengabaikan penilaian objektif peserta didik selama tiga tahun dan prestasi yang dimilikinya.
Menyikapi hasil UN sebagai penentu “hidup dan matinya” peserta didik merupakan bentuk kedzoliman terhadap jerih payah belajar mereka selama tiga tahun. Dan akan lebih dzolim lagi bila hasil UN para peserta didik di seluruh Indonesia disia-siakan begitu saja. Tidak dijadikan bahan evaluasi dan kajian yang komprehensif yang memberikan gambaran tentang kelemahan dan kekurangan pendidikan di Indonesia. Rahim bagi lahirnya kebijakan-kebijakan strategis dan tepat sasaran. Sehingga jangan heran bila Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia menurut United Nations Deveopment Program turun peringkat. Dari peringkat 108 pada tahun 2010 turun ke peringkat 124 pada tahun 2011. Menurut mereka bobot terbesar penurunan ini terjadi pada dunia pendidikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana komentar anda tentang artikel ini