Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia
Artikel ini pernah di muat di rubrik Opini
Koran Pikiran Rakyat, Selasa 15 April 2014
Di tengah hiruk-pikuk perbincangan
politik pasca Pemilu 2014 yang diselenggarakan 9 April lalu, perhelatan besar
di dunia pendidikan yang disebut Ujian Nasional pun hadir kembali. Berkenaan dengan
substansi perbincangan dalam tulisan ini, isu utamanya bukan terletak pada
penghapusan atau tidaknya UN, tetapi pada upaya untuk membawa kembali UN ini ke
habitatnya di dunia pendidikan yang berbasis nilai-nilai pedagogik.
Mengapa? Ya, karena ada kecenderungan
UN oelan-pelan telah terseret ke luar habitat pendidikan sehingga dengan mudah
berkembang menjadi wacana yang tidak lagi bersifat “pendidikan”.
Di dunia pendidikan, UN merupakan
salah satu bentuk konsep yang lebih generik yaitu “evaluasi belajar”. Evaluasi
belajar merupakan unsur pendidikan untuk mendapatkan informasi objektif dari
proses pembelajaran sebagai landasan pengambilan keputusan pendidikan yang
berkenaan dengan kemajuan belajar sebagai unsur mutu pendidikan, efektivitas
proses pembelajaran, efisiensi pengelolaan, relevansi isi pembelajaran,
kualitas kinerja guru, relevansi kebutuhan masyarakat dsb.
Dalam konsep yang lebih luas, mutu
pendidikan mempunyai makna sebagai suatu kadar proses dan hasil pendidikan
secara keseluruhan. Di samping berkaitan dengan aspek proses, mutu pendidikan
berkaitan pula dengan aspek hasi pendidikan. Dari aspek “hasil”, mutu
pendidikan dilihat dari hasil kualitas atau kadar perubahan yang terjadi dalam
diri keseluruhan peserta didik.
Saat ini, pendidikan lebih
dipersempit dengan persekolahan, dan persekolahan dipersempit dengan proses
belajar-mengajar yang lebih dipersempit lagi dengan proses pencapaian
pengetahuan pengetahuan yang lebih berat secara kognitif. Dengan demikian,
hasil pendidikan sangat dipersempit dengan hasil belajar yang berupa penguasaan
kognitif yang diukur dengan alat ukur yang disebut Ujian Nasional, dan hasilnya
dinyatakan dengan angka hasil olahan jawaban terhadap soal UN. Saat ini, UN
masih dipergunakan sebagai satu-satunya indicator mutu, sehingga memunculkan
pandangan bahwa semakin tinggi presentase kelulusan UN yang diperoleh, semakin
tinggi pula mutu pendidikannya.
Tentu saja cara pandang demikian
dapat mengurangi makna mutu pendidikan yang sesungguhnya dan menyempitkan makna
pendidikan dan dapat mengarah kepada suatu pola pikir intelektual-elititis
yaitu memandang kesuksesan dari sudut intelektual/kognitif, dan menyisihkan
mereka yang berada pada lapisan bawah (nilai UN rendah) untuk kemudian
membentuk satu kelompok elite intelektual.
Hasil Pendidikan
Dalam konteks yang lebih luas, hasil
pendidikan mencakup tiga jenjang yaitu produk, efek, dan dampak. Hasil pendidikan
yang berupa “produk”, adalah wujud hasil yang dicapai pada akhir satu proses
pendidikan, misalnya akhir satu proses instruksional, akhir
caturwulan/semester, akhir tahun ajaran, akhir jenjang pendidikan dsb. Wujudnya
dinyatakan dalam satu satuan ukuran tertentu seperti angka, grade, peringkat, indeks prestasi
yudisium, nilai UN, dsb. Sebagai gambaran mutu hasil pendidikan dalam periode
tertentu.
Hasil pendidikan berupa “efek”,
adalah perubahan lebih lanjut terhadap keseluruhan kepribadiaan peserta didik
sebagai akibat perolehan produk dari proses pendidikan (pembelajaran) dari satu
periode tertentu. Perolehan produk pendidikan yang dinyatakan dalam bentuk
hasil belajar seperti angka, hasil UN, IP, dsb. Seyogianya memberikan pengaruh
(efek) terhadap perubahan keseluruhan perilaku/ kepribadian peserta didik,
seperti dalam pemahaman diri, cara berfikir, sikap, nilai, dan kualitas
kepribadian lainnya. Selanjutnya hasil pendidikan yang berupa “dampak”, adalah
berupa pengaruh lebih lanjut hasil pendidikan (yang berupa produk dan efek pada
diri peserta didik) terhadap kondisi dan lingkungannya baik di dalam keluarga
ataupun masyarakat secara keseluruhan.
Pada umumnya hasil yang berupa produk inilah yang sering digunakan
sebagai indicator mutu pendidikan yang sudah tentu dengan asumsi dapat
memberikan gambaran hasil pendidikan. Hasil pendidikan yang beruppa efek dan
dampak masih belum digunakan untuk melihat mutu pendidikan, sehubungan dengan
sulitnya membuat indikator secara objektif.
Namun, hendaknya menjadi perhatian
berbagai pihak bahwa melihat mutu pendidikan hanya dari segi produk (yang sudah
dipersempit dari makna pendidikan) belum dapat memberikan gambaran secara
menyeluruh mengenai mutu pendidikan.
Dalam konteks pandang filosofis
populis egalitarian (sebagai lawan dari filosofis intelektual elitis), kita
harus memandang bahwa semua anak sebagai peserta didik berhak dinilai mutu
pendidikannya dari sudut pandang holistik. Kita bukan harus menyisihkan mereka
yang karena nilai UN-nya rendah, dan kemudian membentuk elite yang terdiri atas
mereka mereka yang memiliki nilai UN tinggi, dengan asumsi merekalah yang akan
menjadi pemimpin dan peanjut kehidupan. Kita harus membdayakan semua anak
bangsa dengan mutu secara holistik yaitu kepribadian dan kontribusinya pada
lingkungan.
Kepedulian kedua yang berkenaan
dengan evaluasi belajar adalah memosisikan kembali “guru” sebagai insane pendidikan
dalam keseluruhan operasional pendidikan. Dalam kaitannya desentralisasi
pendidikan, sistem penilaian yang dikembangkan sudah tentu harus tetap menjaga
keseimbangan standar nasional yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Dalam
desentralisasi pendidikan, penyelenggaraan evaluasi belajar diharapkan akan
mampu terwujud dengan lebih menyentuh sisi pendidikan yang paling esensial. Dalam
habitat yang sesungguhnya, evaluasi belajar berada dalam koridor paradigma pendidikan
dan guru berada dalam posisi sentral.