Pengajar Fisika di Lembaga Bimbingan Belajar
Ganesha Operation Unit MTC Kota Bandung
Pernahkah anda mengecek isi tas putra-putri anda sebelum
mereka pergi ke sekolah? Coba perhatikan jumlah buku yang mereka bawa. Bila hari
itu mereka belajar empat mata pelajaran. Setidaknya pagi itu mereka akan
membawa empat buku catatan, empat buku tugas, empat BSE (Buku Berstandar
Elektronik) dan empat Lembar Kerja Sisa (LKS). Jumlah ini akan bertambah bagi
siswa yang sekolahnya berstatus Rintisan Sekolah Berstandar Internasional
(RSBI) atau Sekolah Berstandar Internasional (SBI). Karena mereka dibekali buku
paket RSBI/SBI dan worksheet. Tidak
heran bila model tas sekolah jaman sekarang berukuran besar-besar. Terlihat kontras
dengan pundak-pundak mungil yang menggendongnya.
Saya bertanya kepada anda, para orang tua. Dalam sehari,
berapa jamkah anda berkumpul dengan putra-putri anda di rumah? Anda bisa
memperkirakan angkanya. Dan angkanya akan jauh berkurang bila putra-putri anda
aktif dalam kegiatan ekskul, les musik, bimbingan belajar dan lainnya. Jangan
bayangkan angkanya bila kedua orangtua memiliki kesibukan bekerja.
Kurikulum pendidikan kita dinilai memberatkan bagi siswa
dan keluarga. Dari segi jumlah mata pelajaran, konten pembelajaran hingga
jumlah jam pelajaran. Ada
yang menilai bila anak-anak dari Jepang belajar menggunakan kurikulum kita maka
kualitas output yang dihasilkannya
tidak akan jauh berbeda dengan kita. Dalam buku berjudul Pendidikan Karakter
Menjawab Tantangan Krisis Multidemensional, Masnur Muslich menulis Sistem
pendidikan di Indonesia
justru menyiapkan seluruh siswa untuk dapat menjadi Ilmuwan dan pemikir
(filsuf). Seluruh mata pelajaran dirancang sedemikian rupa sulitnya sehingga hanya dapat diikuti oleh 10
sampai 15 persen siswa saja atau mereka yang mempunyai IQ di atas 115.
Berbeda dengan di Jepang, kurikulumnya lebih terfokus
pada pendidikan 85 persen siswanya yang ber-IQ di bawah 115. Sehingga
pembelajaran di kelas dinilai tidak memberatkan dan lebih menyenangkan.
Kurikulum di negeri matahari terbit ini lebih diarahkan pada penciptaan lulusan
yang terampil dan kreatif. Yang disiapkan untuk menjadi motor pembangunan di
negaranya. Berbeda dengan kurikulum kita jangankan memproduksi lulusan yang
mampu bersaing dengan lulusan Negara lain, untuk menjadi tuan di tanah airnya
sendiri pun masih belum mampu. Yang lebih miris lagi, profesi Tenaga Kerja
Indonesia (TKI) di luar negeri masih didominasi oleh buruh dan pembantu rumah
tangga. Tidak mengherankan bila banyak dari mereka yang mengalami nasib miris.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana komentar anda tentang artikel ini