Rabu, 01 Agustus 2012

Monster Penghancur Karakter

Oleh : Septiardi Prasetyo
          Guru MI At-Taufiq, Kota Bandung
-->


-->
Pornografi merupakan industri yang dibenci namun ternyata tidak sedikit pula konsumennya. Menurut data statistik tahun 2006 total pendapatan dunia dari bisnis ini adalah 97.06 milyar dolar atau setara dengan 886 trilyun rupiah. Trend statistik ini akan cenderung terus meningkat seiring dengan perkembangan teknologi dan tumbuh suburnya penyedia layanan internet berkapasitas bandwint besar. Hal ini memudahkan proses upload dan download berbagai macam pilihan format film. Seperti DVD, VCD, MPEG, 3GP, AVI, WMA, MOV, WMV, 3G2, MP3, dan MP4. Yang mengerikan tayangan haram ini bisa diputar melalui fasilitas video player di handphone yang biasa anak-anak kita bawa ke sekolah.
Dalam hal pemberantasan terorisme, Indonesia telah memiliki Detasemen Khusus (Densus) 88 yang reputasi dan prestasinya telah diakui dunia. Dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah lama menunjukkan taringnya. Walaupun badai pelemahan KPK tampak belum juga mereda. Dalam memberantas kejahatan narkotika, psikotropika dan obat terlarang (Narkoba), pemerintah memiliki Badan Narkotika Nasional (BNN). Namun pemerintah belum memiliki Densus, komisi atau badan yang secara khusus memerangi pornografi. Mungkin pertanyaannya Densus, Komisi atau Badan Khusus seperti apa yang sanggup memerangi sesuatu yang telah lama menjadi barang koleksi sebagian warga negara. Sekedar merumuskan Rancangan Undang-Undang Pornografi saja, para wakil rakyat kita masih terbata-bata seperti anak TK (Taman Kanak-kanak). Tampaknya mereka masih sibuk dengan hawa nafsunya sendiri. Galau bila kesenangannya dikekang pasal-pasal hukum pidana.
Pornografi sama berbahayanya dengan terorisme, korupsi dan narkoba. Karena bisa memicu tindak kejahatan, pemiskinan, hingga disorientasi mental dan moral bagi segala lapisan umur, pendidikan dan status masyarakat. Menurut situs Topreviews.com Indonesia adalah pengakses internet peringkat ketujuh dunia dalam penggunaan kata kunci ‘sex’ pada search engine. Hasil survey ini mengindikasikan bahwa masyarakat kita memiliki curiosity yang luar biasa besar pada tayangan esek-esek. Bagi industri pornografi, ini merupakan peluang untuk menggemukkan pundi-pundi keuntungannya. Majalah Playboy telah menyadari potensi ini sejak beberapa tahun yang lalu. Walau mendapat aksi protes dari salah satu Organisasi Masyarakat (Ormas) Islam tapi mereka bergeming dan memindahkan kantornya dari Ibukota Negara ke pulau dewata.
Pornografi berkontribusi dalam pemiskinan warga Negara. Uang berjumlah besar hanya berputar di sekitar aktivitas download files di internet saja. Saya ambil contoh ketika video mesum seorang anggota DPR dengan artis dangdut merebak. Search Engine seperti Google dan Yahoo mencatat setiap harinya tidak kurang 50.000 pengakses internet di Indonesia mencari files dengan kata kunci nama artis dangdut tersebut. Namun rekor terbanyak dipegang oleh Youtube. Tercatat hanya dalam beberapa hari 19,6 juta pengguna internet telah mendownload video mesum ini sebelum akhirnya diblokir. Bila dimisalkan biaya sekali download file ini menghabiskan Rp. 1000. Maka total uang warga negara yang menguap sia-sia diperkirakan Rp.19,6 milyar. Angka ini akan semakin membengkak karena menurut situs freeserver, rata-rata 10.000 pengguna mendownload file ini setiap harinya. Dan angkanya akan semakin membesar ketika pengguna mendownload files haram lainnya.
Mengkonsumsi tayangan pornografi menstimulasi pemirsanya untuk meniru hal yang sama seperti yang disaksikannya. Dr. Jenning Bryant melakukan studi kepada 600 pelajar pria dan wanita di sekolah menengah atas dan universitas di Amerika Serikat. Dia menemukan bahwa 91 persen pria dan 82 persen wanita telah mengenal dan mengkonsumsi materi pornografi kategori X-Rated dan Hardcore! Sebanyak 60 persen Pria dan 40 persen wanita mengatakan, ingin melakukan apa yang mereka lihat (Soniset. 2007).
Para addict tontonan asusila menganggap penyimpangan seksual yang disaksikannya sebagai variasi dalam berhubungan badan. Fenomena seks pra nikah dipandang sebagai manifestasi gaya hidup dan kebebasan berekspresi masyarakat demokratis. Keperawanan adalah mitos kuno, hamil di luar nikah adalah kesialan. Aborsi adalah solusi untuk meneruskan happy-happy. Naudzubillah. Dr. Jenning Bryant berkomentar,”Pornografi dapat menghilangkan nilai moral dalam diri individu. Mengakibatkan kehilangan rasa percaya (religi), melupakan keluarga, melupakan komitmen, melupakan cinta, dan melupakan ikatan pernikahan. Pornografi membentuk jiwa hedonisme, membuat segalanya boleh dilakukan!”
Sisi paling kelam dari akibat yang ditimbulkan pornografi adalah memicu tindakan kriminal. Seorang sosiolog dari Mills College, Diana Russel mengatakan bahwa di seluruh dunia tengah berkembang wacana “Rape Myth” (Seorang wanita dianggap menyenangi hubungan badan yang dipaksakan). Saat mengkonsumsi tayangan perkosaan, mereka tidak merasa kasihan atau bersalah. Celakanya mereka menterjemahkan rasa sakit yang diperlihatkan para pemeran wanita di film porno tersebut sebagai sensasi yang menyenangkan. Dalam dunia psikologi, perilaku ini dikategorikan sebagai gangguan jiwa. Menyenangi tayangan penyiksaan secara seksual demi memperoleh kepuasan sangat bertentangan dengan norma apapun.
Pemerintah kita telah mengambil keputusan tepat dengan tidak mengijinkan konser Mother Monster bertajuk The Born This Way Ball di Stadion Gelora Bung Karno yang rencananya akan digelar 3 Juni lalu. Harapan kita, pemerintah kita dapat mengambil keputusan yang tepat pula saat menyikapi monster-monster lokal berkedok seni musik dangdut, film layar lebar dan lainnya. Jangan sampai mother monster di seberang benua jelas terlihat tetapi monster lokal di depan hidung luput dari perhatian.
Menyikapi tentang beredarnya ratusan buku bacaan pengayaan pelajaran Bahasa Indonesia untuk sekolah dasar di Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, saya berpendapat bahwa penerbit dan penulisnya harus bertanggung jawab. Alasan penerbitan buku pengayaan untuk pendidikan seks sangat tidak relevan dengan kurikulum berkarakter. Juga tidak sejalan dengan kultur dan budaya masyarakat kita. Kita tidak memerlukan pendidikan seks karena kita telah memiliki pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan (PKn), dan lain-lain jauh sebelum kurikulum barat mencanangkan pendidikan seks. Yang perlu pemerintah dan dunia pendidikan lakukan adalah mengupayakan aktualisasi mata pelajaran supaya bisa mengikuti perkembangan jaman tanpa melupakan jati diri kita sebagai bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana komentar anda tentang artikel ini