Selasa, 15 April 2014

Akibat Beban Berat Kurikulum

Oleh : Septiardi Prasetyo
          Pengajar Fisika di Lembaga Bimbingan Belajar
          Ganesha Operation Unit MTC Kota Bandung

Pernahkah anda mengecek isi tas putra-putri anda sebelum mereka pergi ke sekolah? Coba perhatikan jumlah buku yang mereka bawa. Bila hari itu mereka belajar empat mata pelajaran. Setidaknya pagi itu mereka akan membawa empat buku catatan, empat buku tugas, empat BSE (Buku Berstandar Elektronik) dan empat Lembar Kerja Sisa (LKS). Jumlah ini akan bertambah bagi siswa yang sekolahnya berstatus Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) atau Sekolah Berstandar Internasional (SBI). Karena mereka dibekali buku paket RSBI/SBI dan worksheet. Tidak heran bila model tas sekolah jaman sekarang berukuran besar-besar. Terlihat kontras dengan pundak-pundak mungil yang menggendongnya.
Saya bertanya kepada anda, para orang tua. Dalam sehari, berapa jamkah anda berkumpul dengan putra-putri anda di rumah? Anda bisa memperkirakan angkanya. Dan angkanya akan jauh berkurang bila putra-putri anda aktif dalam kegiatan ekskul, les musik, bimbingan belajar dan lainnya. Jangan bayangkan angkanya bila kedua orangtua memiliki kesibukan bekerja.
Kurikulum pendidikan kita dinilai memberatkan bagi siswa dan keluarga. Dari segi jumlah mata pelajaran, konten pembelajaran hingga jumlah jam pelajaran. Ada yang menilai bila anak-anak dari Jepang belajar menggunakan kurikulum kita maka kualitas output yang dihasilkannya tidak akan jauh berbeda dengan kita. Dalam buku berjudul Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidemensional, Masnur Muslich menulis Sistem pendidikan di Indonesia justru menyiapkan seluruh siswa untuk dapat menjadi Ilmuwan dan pemikir (filsuf). Seluruh mata pelajaran dirancang sedemikian rupa  sulitnya sehingga hanya dapat diikuti oleh 10 sampai 15 persen siswa saja atau mereka yang mempunyai IQ di atas 115.
Berbeda dengan di Jepang, kurikulumnya lebih terfokus pada pendidikan 85 persen siswanya yang ber-IQ di bawah 115. Sehingga pembelajaran di kelas dinilai tidak memberatkan dan lebih menyenangkan. Kurikulum di negeri matahari terbit ini lebih diarahkan pada penciptaan lulusan yang terampil dan kreatif. Yang disiapkan untuk menjadi motor pembangunan di negaranya. Berbeda dengan kurikulum kita jangankan memproduksi lulusan yang mampu bersaing dengan lulusan Negara lain, untuk menjadi tuan di tanah airnya sendiri pun masih belum mampu. Yang lebih miris lagi, profesi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri masih didominasi oleh buruh dan pembantu rumah tangga. Tidak mengherankan bila banyak dari mereka yang mengalami nasib miris.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana komentar anda tentang artikel ini