Senin, 09 Juni 2014

Mengubah Karakter Bangsa

Oleh : Emas Kurnianingsih 
           Guru di SMAN 2 Banjarsari Ciamis
              dan Jurnalis Tabloid Pendidikan Ganesha Ciamis 
           Artikel ini pernah dimuat di rubrik Forum Guru, Koran Pikiran Rakyat

Membaca tulisan guru besar Universitas Padjajaran Deddy Mulyana yang berjudul “Karakter Bangsa” di salah satu harian Nasional beberapa tahun lalu, membuat saya ingin menuangkan isi hati atau lebih tegasnya menganalisis tulisan itu. Deddy Mulyana mengutip pandangan Mochtar Lubis yang berjudul “Manusia Indonesia” (1981) sebagai orang yang munafik, tak bertanggung jawab, feodal, percaya takhayul, artistik, berwatak lemah dan boros.
Mirip sekali melihat pandangan seperti itu. Namun, disadari atau tidak, kenyataan membuktikan bahwa sebagian besar penduduk Indonesia memang seperti itu. Banyak sekali pendukung fakta itu. Contohnya, pelajar dan mahasiswa sekarang banyak melakukan plagiat dan menyontek karya orang lain, karyawan, pegawai, birokrat, plitikus membeli gelar daripada belajar dengan benar.
Sulit membedakan orang yang benar-benar jujur, murni dengan orang yang pura-pura, dan penuh kemunafikan. Orang yang jujur, berkata benar, polos, bertindak sewajarnya dianggap tidak guyub dan dianggap aneh. Lebih parah lagi disebut munafik. Apa sedemikian parahnya moral bangsa kita sekarang.
Sangat disayangkan, manusia Indonesia terutama generasi penerus banyak yang berkiblat ke Negara Barat, bukan untuk hal yang positif, tetapi hal yang negatif. Kemajuan teknologi dimanfaatkan tidak pada tempatnya, gambar-gambar porno, klip film berdurasi pendek bertebaran di pesawat telefon, belum termasuk yang terdapat dalam keping DVD dan VCD. Apakah ini karena Negara kita pernah dijajah oleh bangsa Eropa yang notabene lebih maju peradabannya ataukah tidak bisa menampilkan kepribadian asli kita sampai harus meniru bangsa lain?
Kalau begitu sinyalemen Ibnu Khaldun benar adanya bahwa orang-orang taklukan selalu meniru penakluknya, baik dalam berpakaian, perhiasan, kepercayaan, dan adat istiadat lainnya. Hal ini disebabkan adanya keinginan untuk menyamai mereka yang telah mengalahkan menaklukannya. Orang-orang taklukan menghargai para penakluknya secara berlebihan. Kalau keyakinan ini bertahan lama, hal itu akan membekas dalam dan lama serta akan membawa pada peniruan semua ciri penakluknya. Mereka ini yakin bahwa peniruan atas segala yang dilakukan sang penakluk akan menghapuskan segala penyebab kekalahannya.
Tidak bisa dimungkiri, sistem pendidikan kita pada masa lalu menyebabkan bangsa kita berwatak lemah. Kepribadian yang malas, tidak jujur, dan tidak percaya diri sudah mendarah daging dan parahnya dampak masalah tersebut mengakibatkan korupsi, kolusi, dan nepotisme semakin menjamur sehingga pada akhirnya membawa krisis moral, politik, dan ekonomi. Padahal manusia masa depan yang harus dihasilkan oleh pendidikan antara lain manusia yang melek teknologi dan melek pikir yang semuanya disebut melek kebudayaan yang mampu think globally but act locally.
Mencermati kembali hari Pendidikan Nasional 2 Mei yang baru lalu, mengingatkan kita pada tujuan pendidikan nasional yaitu mencerdaskan bangsa dan membina manusia seutuhnya serta mencetak anak didik untuk menjadi insan yang beriman dan berwatak, berakhlak mulia serta cinta tanah air, dan semuanya itu memerlukan langkah konkret untuk merealisasikannya.

1 komentar:

Bagaimana komentar anda tentang artikel ini