Pengajar di Yayasan Pesantren Al Fatah, Cikembang
Kec. Kertasari, Kab. Bandung
Satu-satunya
orang yang bisa mengubah pikirannya adalah orang yang tak punya pikiran (Edward
Noyes Westcott).
Sejak politik
etis didirikan oleh pemerintahan Hindia Belanda, bangsa kita telah mengenal
pendidikan tinggi. Tepatnya pada tahun 1902 di Batavia didirikan School tot
Opleiding van Inlandsche Artsen dikenal sebagai Sekolah Dokter Bumi Putera.
Kemudian NIAS (Nederlandsch Indische Artsen School) tahun 1913 di Surabaya
(Wikipedia.org). Lebih dari satu abad pendidikan tinggi berkembang amat pesat.
Tujuan tidak lain, untuk mencapai sesuatu hal yang mulia, yakni membentuk
seseorang menjadi lebih baik kualitas sumber daya manusianya.
Perguruan tinggi
menghasilkan orang-orang yang suatu hari memegang peranan penting bagi bangsa
dan Negara. Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Sjahrir, adalah orang-orang yang
mengenyam pendidikan tinggi semasa hidupnya. Mereka adalah orang-orang yang
paham betapa pentingnya pendidikan dalam kehidupan sebagai pemimpin.
Dari sejarah,
kita bisa melihat pikiran-pikiran yang keluar dari diri mereka. Pikiran yang
berkualitas tidak hadir begitu saja. Pemikiran adalah hasil dari pikiran dan
hadir dari pemupukan yang begitu panjang dan tertata sehingga menghasilkan buah
yang manis dan segar. Bagaimana kita memupuk pemikiran menjadi buah yang manis
seperti mereka kalau tidak ditata dengan baik.
Penulis
beranggapan, pembentukan pola pikir itu dibentuk oleh waktu. Kesadaran berpikir
seseorang dan kemudian ditumpahkan dalam tindakan tidak hadir begitu saja. Ada
proses yang mesti dilalui oleh seseorang sehingga pola pikirnya berkualitas.
Hal inilah yang penulis kira membedakan antara orang yang berkuliah dan tidak berkuliah.
Pengetahuan bisa didapatkan di mana saja., itu benar adanya. Tetapi tipis beda
antara pengetahuan dan pendidikan. Pengetahuan menurut Pram adalah “..Betapa
pun tingginya, dia tidak berpribadi. Sehebat-hebatnya mesin, dibikin oleh
sehebat-hebat manusia dia pun tidak berpribadi.” Sementara itu, pendidikan yang
tentu di dalamnya ada ilmu pengetahuan adalah buah proses hidup, seperti apa
yang dikatakan oleh Dewey bahwa pendidikan bukan persiapan untuk hidup;
pendidikan adalah kehidupan itu sendiri.
Bisa dilihat
bahwa pengetahuan tanpa pendidikan bisa menjadikan diri kita tak
berkepribadian. Inilah yang penulis maksud dengan pentingnya proses pendidikan,
dalam hal ini kuliah di pendidikan tinggi sebagai bagian dari jalan menuju
pembentukan karakter seseorang. Kuliah sebagai salah satu jembatan dalam proses
kehidupan memiliki banyak hal yang bisa digali dalam menemui identitas diri.
Setelah lulus dari SMA/MA/SMK ada pemandangan terbentang yang harus dilalui
menuju cita-cita seseorang.
Memang tanpa
kuliah pun bisa ditemukan identitas seseorang. Namun, jangan lupa, ada kualitas
internal dan eksternal yang mempengaruhi perubahan diri selama proses itu
berlangsung. Kuliah yang setidaknya dikelilingi orang-orang yang selalu haus
akan ilmu akan berpengaruh pada internal seseorang.
Tetapi ada yang
ditakutkan ketika kuliah menjadi tujuan yang lain dari seseorang, yakni kuliah
sebagai gaya hidup. Ini jelas sesuatu yang salah kaprah mengingat kita tidak
hidup dengan gaya hidup, tetapi lebih dalam kehidupan itu sendiri. Seharusnya
kuliah adalah pembentukan identitas seseorang ketika bagian internal dan
eksternalnya bisa mengutuhkan dirinya sebagai seorang manusia dengan demikian,
identitas dengan pemikiran yang berkualitas bisa lahir dari setiap generasi
yang singgah di dunia perguruan tinggi di dunia perkuliahan. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana komentar anda tentang artikel ini