Kamis, 12 Juni 2014

Pembentukan Identitas Berpikir

Oleh : M. Romyan Fauzan
             Pengajar di Yayasan Pesantren Al Fatah, Cikembang
          Kec. Kertasari, Kab. Bandung

Satu-satunya orang yang bisa mengubah pikirannya adalah orang yang tak punya pikiran (Edward Noyes Westcott).
Sejak politik etis didirikan oleh pemerintahan Hindia Belanda, bangsa kita telah mengenal pendidikan tinggi. Tepatnya pada tahun 1902 di Batavia didirikan School tot Opleiding van Inlandsche Artsen dikenal sebagai Sekolah Dokter Bumi Putera. Kemudian NIAS (Nederlandsch Indische Artsen School) tahun 1913 di Surabaya (Wikipedia.org). Lebih dari satu abad pendidikan tinggi berkembang amat pesat. Tujuan tidak lain, untuk mencapai sesuatu hal yang mulia, yakni membentuk seseorang menjadi lebih baik kualitas sumber daya manusianya.
Perguruan tinggi menghasilkan orang-orang yang suatu hari memegang peranan penting bagi bangsa dan Negara. Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Sjahrir, adalah orang-orang yang mengenyam pendidikan tinggi semasa hidupnya. Mereka adalah orang-orang yang paham betapa pentingnya pendidikan dalam kehidupan sebagai pemimpin.
Dari sejarah, kita bisa melihat pikiran-pikiran yang keluar dari diri mereka. Pikiran yang berkualitas tidak hadir begitu saja. Pemikiran adalah hasil dari pikiran dan hadir dari pemupukan yang begitu panjang dan tertata sehingga menghasilkan buah yang manis dan segar. Bagaimana kita memupuk pemikiran menjadi buah yang manis seperti mereka kalau tidak ditata dengan baik.
Penulis beranggapan, pembentukan pola pikir itu dibentuk oleh waktu. Kesadaran berpikir seseorang dan kemudian ditumpahkan dalam tindakan tidak hadir begitu saja. Ada proses yang mesti dilalui oleh seseorang sehingga pola pikirnya berkualitas. Hal inilah yang penulis kira membedakan antara orang yang berkuliah dan tidak berkuliah. Pengetahuan bisa didapatkan di mana saja., itu benar adanya. Tetapi tipis beda antara pengetahuan dan pendidikan. Pengetahuan menurut Pram adalah “..Betapa pun tingginya, dia tidak berpribadi. Sehebat-hebatnya mesin, dibikin oleh sehebat-hebat manusia dia pun tidak berpribadi.” Sementara itu, pendidikan yang tentu di dalamnya ada ilmu pengetahuan adalah buah proses hidup, seperti apa yang dikatakan oleh Dewey bahwa pendidikan bukan persiapan untuk hidup; pendidikan adalah kehidupan itu sendiri.
Bisa dilihat bahwa pengetahuan tanpa pendidikan bisa menjadikan diri kita tak berkepribadian. Inilah yang penulis maksud dengan pentingnya proses pendidikan, dalam hal ini kuliah di pendidikan tinggi sebagai bagian dari jalan menuju pembentukan karakter seseorang. Kuliah sebagai salah satu jembatan dalam proses kehidupan memiliki banyak hal yang bisa digali dalam menemui identitas diri. Setelah lulus dari SMA/MA/SMK ada pemandangan terbentang yang harus dilalui menuju cita-cita seseorang.
Memang tanpa kuliah pun bisa ditemukan identitas seseorang. Namun, jangan lupa, ada kualitas internal dan eksternal yang mempengaruhi perubahan diri selama proses itu berlangsung. Kuliah yang setidaknya dikelilingi orang-orang yang selalu haus akan ilmu akan berpengaruh pada internal seseorang.
Tetapi ada yang ditakutkan ketika kuliah menjadi tujuan yang lain dari seseorang, yakni kuliah sebagai gaya hidup. Ini jelas sesuatu yang salah kaprah mengingat kita tidak hidup dengan gaya hidup, tetapi lebih dalam kehidupan itu sendiri. Seharusnya kuliah adalah pembentukan identitas seseorang ketika bagian internal dan eksternalnya bisa mengutuhkan dirinya sebagai seorang manusia dengan demikian, identitas dengan pemikiran yang berkualitas bisa lahir dari setiap generasi yang singgah di dunia perguruan tinggi di dunia perkuliahan. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana komentar anda tentang artikel ini