Kamis, 26 Juni 2014

Memilih Sekolah

Oleh : Sidiq Wachyono
           Guru SMA di Kabupaten Bandung Barat
          Artikel ini pernah dimuat di rubrik Forum Guru
          Koran Pikiran Rakyat, Kamis 26 Juni 2014

Pada akhir tahun pelajaran dan memasuki awal tahun pelajaran baru, orangtua mulai sibuk mencari sekolah bagi putra-putrinya, baik yang baru menginjak bangku persekolahan maupun yang naik ke jenjang pendidikan lebih tinggi. Hal yang menjadi pertimbangan orangtua dalam mencari sekolah adalah dalam pemilihan sekolah yang berkualitas.
Pada dasarnya, sekolah-sekolah yang ada di lingkungan pendidikan kita mengemban visi dan misi pendidikan nasional. Setiap sekolah berfungsi mencerdaskan kehidupan bangsa dan bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Menurut pasal  Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, orangtua berhak berperan serta dalam memilih satuan pendidikan dan memperoleh informasi tentang perkembangan pendidikan anaknya. Satuan pendidikan yang akan dipilih atau diminati orangtua, sangat tergantung dari sudut pandang penilaian orangtua dan masyarakat terhadap kualias satuan pendidikan tersebut.
Dari hasil penelitian, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa dalam proses pembelajaran di sekolah, yakni kurikulum, kompetensi guru, sarana prasarana, lingkungan sekolah, dan evaluasi. Hal tersebut dapat dijadikan pedoman orangtua dalam memilih sekolah untuk putra-putrinya.
Para orangtua dalam memilih sekolah perlu mengetahui kurikulum yang dilaksanakan oleh sekolah tersebut. Kurikulum yang menerapkan pendidikan karakter dan sikap, sebaiknya lebih diutamakan. Lihat pula kompetensi gurunya apakah sudah profesional atau belum, gurunya berkarakter baik atau tidak. Coba cari tahu juga kehadiran gurunya di kelas, dan proses pembelajaran yang berlangsung.
Orangtua hendaknya memperhatikan sarana dan prasarana yang tersedia di sekolah yang akan dituju, karena itu diperlukan dalam menunjang kegiatan belajar mengajar. Selanjutnya perhatikan kultur sekolah, berupa lingkungan sekolah. Pilihlah sekolah yang dapat menjamin keamanan dan keselamatan siswanya, serta dapat menciptakan lingkungan pendidikan yang nyaman. Evaluasi yang dilakukan di sekolah yang akan dituju sebaiknya diketahui juga. Evaluasi yang baik, dilakukan secara multidimensi dengan memperhatikan aspek kognitif, afektif, psikomotorik dan berlangsung secara jujur.
Secara umum dalam memilih sekolah dapat dilihat dari pencapaian status akreditasinya, namun predikat akreditasinya, namun predikat akreditasi terkadang tidak dapat menjamin kualitas sekolah. Untuk menilai kualitas sekolah dapat juga dengan memihat prestasi sekolah tersebut dalam berbagai kompetensi yang diikutinya, baik di bidang akademik maupun nonakademik. Selain itu, perlu juga mengenai kualitas alumninya.
Dengan memperhatikan indikator kualitas sekolah, diharapkan orangtua dapat memililih alternative sekolah secara bijak bagi putra-putrinya. Dan, sejatinya setiap sekolah senantiasa berusaha untuk menjadi sekolah yang berkualitas.

Minggu, 15 Juni 2014

Mencari Pengganti Ujian Nasional

Oleh : Sidiq Wachyono, Guru SMAN 1 Cisarua
          Kabupaten Bandung Barat
          Artikel ini pernah dimuat di rubrik Forum Guru
          Koran Pikiran Rakyat

Kekisruhan Ujian Nasional (UN) baik di tingkat sekolah menengah atas (SMA) maupun sekolah menengah Pertama (SMP) yang terjadi dari tahun ke tahun menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah, pendidik dan tenaga kependidikan. Kebocoran soal maupun kunci jawab UN yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab menodai pelaksanaan hajat nasional tersebut. Kasus jual beli kunci jawab UN yang melibatkan siswa dan guru, serta berbagai kecurangan yang dilakukan siswa saat UN menimbulkan keprihatinan dan keresahan dalam dunia pendidikan.
Penyelenggaraan UN yang disinyalir lebih banyak mendatangkan mudarat dibandingkan manfaatnya itu, patutkah dilanjutkan? Sementara itu dalam proses pelaksanaan pendidikan, evaluasi sangatlah diperlukan untuk mengetahui keberhasilan dalam pendidikan. UN yang merupakan salah satu bentuk evaluasi, tidak baik juga jika dihapuskan sama sekali tanpa ada penggantinya.
Menurut hemat penulis, alangkah baiknya penyelenggaraan ujian bagi siswa kelas IX SMP, dan kelas XII SMA/MA/SMK dikoordinasikan oleh provinsi sebagaimana penyelenggaraan ujian untuk murid kelas VI SD saat ini. Dengan demikian, yang bertanggung jawab penuh dalam pelaksanaan ujian itu adalah gubernur dan kepala dinas pendidikan provinsi. Segala kebijakan yang menyangkut prosedur operasi standar ujian cukup diurus oleh provinsi saja. Dalam hal ini, pemerintah pusat hanya bertugas memantau kerja tim pelaksana di tiap-tiap daerah/ provinsi.
Tentunya, pihak pusat turut andil juga dalam menentukan standar kualitas pendidikan. Misalnya Badan Standar Nasional Pendidikan (BNSP) dapat menyusun standar kompetensi lulusan, kemudian memberikan kisi-kisi soal ujian atau dalam bentuk indikator soal kepada pihak berwenang di provinsi. Selanjutnya pembuatan dan penggandaan naskah ujian dilakukan oleh pihak provinsi. Kondisi geografis dan kearifan local tiap provinsi yang berbeda-beda, memungkinkan naskah ujian yang disusun oleh tim pembuat soal di tiap provinsi akan berbeda-beda.
Jika ujian siswa SD, SMP dan SMA/MA/SMK dilakukan oleh pihak provinsi, maka kinerja dari tiap-tiap pemerintah daerah dalam penyelenggaraan ujian nasional akan lebih terlihat. Dengan begitu, setiap provinsi akan menunjukkan prestanya dalam proses penyelenggaraan ujian tersebut. Provinsi yang berprestasi dalam hal penyelenggaraan ujian tersebut. Provinsi berprestasi dalam hal penyelenggaraan ujian, dapat diberikan penghargaan oleh pemerinta pusat. Sementara bagi provinsi yang melakukan pelanggaran dalam penyelenggaraan ujian ditindak dan diberi sanksi serta dilakukan proseshukum secara tegas bagi pelakunya.
Penyelenggaraan ujian yang dikelola oleh provinsi, sejalan dengan semangat otonomi daerah yang salah satunya adalah otonomi pendidikan. Ujian yang diselenggarakan oleh pihak provinsi juga dapat meminimalisasi kasus yang selama ini muncul dalam pelaksanaan UN. Sehingga pelaksanaan ujian yang jujur dan berkualitas dapat terselenggara dengan baik. Wallahu alam bishshwabi.

Kamis, 12 Juni 2014

Pembentukan Identitas Berpikir

Oleh : M. Romyan Fauzan
             Pengajar di Yayasan Pesantren Al Fatah, Cikembang
          Kec. Kertasari, Kab. Bandung

Satu-satunya orang yang bisa mengubah pikirannya adalah orang yang tak punya pikiran (Edward Noyes Westcott).
Sejak politik etis didirikan oleh pemerintahan Hindia Belanda, bangsa kita telah mengenal pendidikan tinggi. Tepatnya pada tahun 1902 di Batavia didirikan School tot Opleiding van Inlandsche Artsen dikenal sebagai Sekolah Dokter Bumi Putera. Kemudian NIAS (Nederlandsch Indische Artsen School) tahun 1913 di Surabaya (Wikipedia.org). Lebih dari satu abad pendidikan tinggi berkembang amat pesat. Tujuan tidak lain, untuk mencapai sesuatu hal yang mulia, yakni membentuk seseorang menjadi lebih baik kualitas sumber daya manusianya.
Perguruan tinggi menghasilkan orang-orang yang suatu hari memegang peranan penting bagi bangsa dan Negara. Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Sjahrir, adalah orang-orang yang mengenyam pendidikan tinggi semasa hidupnya. Mereka adalah orang-orang yang paham betapa pentingnya pendidikan dalam kehidupan sebagai pemimpin.
Dari sejarah, kita bisa melihat pikiran-pikiran yang keluar dari diri mereka. Pikiran yang berkualitas tidak hadir begitu saja. Pemikiran adalah hasil dari pikiran dan hadir dari pemupukan yang begitu panjang dan tertata sehingga menghasilkan buah yang manis dan segar. Bagaimana kita memupuk pemikiran menjadi buah yang manis seperti mereka kalau tidak ditata dengan baik.
Penulis beranggapan, pembentukan pola pikir itu dibentuk oleh waktu. Kesadaran berpikir seseorang dan kemudian ditumpahkan dalam tindakan tidak hadir begitu saja. Ada proses yang mesti dilalui oleh seseorang sehingga pola pikirnya berkualitas. Hal inilah yang penulis kira membedakan antara orang yang berkuliah dan tidak berkuliah. Pengetahuan bisa didapatkan di mana saja., itu benar adanya. Tetapi tipis beda antara pengetahuan dan pendidikan. Pengetahuan menurut Pram adalah “..Betapa pun tingginya, dia tidak berpribadi. Sehebat-hebatnya mesin, dibikin oleh sehebat-hebat manusia dia pun tidak berpribadi.” Sementara itu, pendidikan yang tentu di dalamnya ada ilmu pengetahuan adalah buah proses hidup, seperti apa yang dikatakan oleh Dewey bahwa pendidikan bukan persiapan untuk hidup; pendidikan adalah kehidupan itu sendiri.
Bisa dilihat bahwa pengetahuan tanpa pendidikan bisa menjadikan diri kita tak berkepribadian. Inilah yang penulis maksud dengan pentingnya proses pendidikan, dalam hal ini kuliah di pendidikan tinggi sebagai bagian dari jalan menuju pembentukan karakter seseorang. Kuliah sebagai salah satu jembatan dalam proses kehidupan memiliki banyak hal yang bisa digali dalam menemui identitas diri. Setelah lulus dari SMA/MA/SMK ada pemandangan terbentang yang harus dilalui menuju cita-cita seseorang.
Memang tanpa kuliah pun bisa ditemukan identitas seseorang. Namun, jangan lupa, ada kualitas internal dan eksternal yang mempengaruhi perubahan diri selama proses itu berlangsung. Kuliah yang setidaknya dikelilingi orang-orang yang selalu haus akan ilmu akan berpengaruh pada internal seseorang.
Tetapi ada yang ditakutkan ketika kuliah menjadi tujuan yang lain dari seseorang, yakni kuliah sebagai gaya hidup. Ini jelas sesuatu yang salah kaprah mengingat kita tidak hidup dengan gaya hidup, tetapi lebih dalam kehidupan itu sendiri. Seharusnya kuliah adalah pembentukan identitas seseorang ketika bagian internal dan eksternalnya bisa mengutuhkan dirinya sebagai seorang manusia dengan demikian, identitas dengan pemikiran yang berkualitas bisa lahir dari setiap generasi yang singgah di dunia perguruan tinggi di dunia perkuliahan. Amin.

Senin, 09 Juni 2014

Mengubah Karakter Bangsa

Oleh : Emas Kurnianingsih 
           Guru di SMAN 2 Banjarsari Ciamis
              dan Jurnalis Tabloid Pendidikan Ganesha Ciamis 
           Artikel ini pernah dimuat di rubrik Forum Guru, Koran Pikiran Rakyat

Membaca tulisan guru besar Universitas Padjajaran Deddy Mulyana yang berjudul “Karakter Bangsa” di salah satu harian Nasional beberapa tahun lalu, membuat saya ingin menuangkan isi hati atau lebih tegasnya menganalisis tulisan itu. Deddy Mulyana mengutip pandangan Mochtar Lubis yang berjudul “Manusia Indonesia” (1981) sebagai orang yang munafik, tak bertanggung jawab, feodal, percaya takhayul, artistik, berwatak lemah dan boros.
Mirip sekali melihat pandangan seperti itu. Namun, disadari atau tidak, kenyataan membuktikan bahwa sebagian besar penduduk Indonesia memang seperti itu. Banyak sekali pendukung fakta itu. Contohnya, pelajar dan mahasiswa sekarang banyak melakukan plagiat dan menyontek karya orang lain, karyawan, pegawai, birokrat, plitikus membeli gelar daripada belajar dengan benar.
Sulit membedakan orang yang benar-benar jujur, murni dengan orang yang pura-pura, dan penuh kemunafikan. Orang yang jujur, berkata benar, polos, bertindak sewajarnya dianggap tidak guyub dan dianggap aneh. Lebih parah lagi disebut munafik. Apa sedemikian parahnya moral bangsa kita sekarang.
Sangat disayangkan, manusia Indonesia terutama generasi penerus banyak yang berkiblat ke Negara Barat, bukan untuk hal yang positif, tetapi hal yang negatif. Kemajuan teknologi dimanfaatkan tidak pada tempatnya, gambar-gambar porno, klip film berdurasi pendek bertebaran di pesawat telefon, belum termasuk yang terdapat dalam keping DVD dan VCD. Apakah ini karena Negara kita pernah dijajah oleh bangsa Eropa yang notabene lebih maju peradabannya ataukah tidak bisa menampilkan kepribadian asli kita sampai harus meniru bangsa lain?
Kalau begitu sinyalemen Ibnu Khaldun benar adanya bahwa orang-orang taklukan selalu meniru penakluknya, baik dalam berpakaian, perhiasan, kepercayaan, dan adat istiadat lainnya. Hal ini disebabkan adanya keinginan untuk menyamai mereka yang telah mengalahkan menaklukannya. Orang-orang taklukan menghargai para penakluknya secara berlebihan. Kalau keyakinan ini bertahan lama, hal itu akan membekas dalam dan lama serta akan membawa pada peniruan semua ciri penakluknya. Mereka ini yakin bahwa peniruan atas segala yang dilakukan sang penakluk akan menghapuskan segala penyebab kekalahannya.
Tidak bisa dimungkiri, sistem pendidikan kita pada masa lalu menyebabkan bangsa kita berwatak lemah. Kepribadian yang malas, tidak jujur, dan tidak percaya diri sudah mendarah daging dan parahnya dampak masalah tersebut mengakibatkan korupsi, kolusi, dan nepotisme semakin menjamur sehingga pada akhirnya membawa krisis moral, politik, dan ekonomi. Padahal manusia masa depan yang harus dihasilkan oleh pendidikan antara lain manusia yang melek teknologi dan melek pikir yang semuanya disebut melek kebudayaan yang mampu think globally but act locally.
Mencermati kembali hari Pendidikan Nasional 2 Mei yang baru lalu, mengingatkan kita pada tujuan pendidikan nasional yaitu mencerdaskan bangsa dan membina manusia seutuhnya serta mencetak anak didik untuk menjadi insan yang beriman dan berwatak, berakhlak mulia serta cinta tanah air, dan semuanya itu memerlukan langkah konkret untuk merealisasikannya.