Oleh : Septiardi Prasetyo
Guru MI At-Taufiq, Kota Bandung
Baru-baru
ini, media masa nasional diramaikan oleh pemberitaan tentang pelaksanaan Ujian
Nasional(UN). Fenomena tahunan ini telah menimbulkan banyak kontroversi sejak hari
pertama pelaksanaannya. Hebatnya UN “berhasil” memunculkan fenomena baru,
polisi mengamankan pelaksanaan UN di sekolah. Ini hanya terjadi di Indonesia.
Seperti gunung es, di bawah permukaan, UN banyak menyimpan permasalahan
mendasar.
Pendidikan
merupakan proses memanusiakan manusia. Dari proses ini semua potensi yang
dimiliki manusia yang bernama siswa digali dari tiga aspek fundamental. Aspek
kognitif(pengetahuan), afektif(sikap) dan psikomotor yang secara alamiah ketiganya
berhubungan dan saling mempengaruhi.
Tiga
aspek fundamental dari pendidikan ini diibaratkan manusia yang terdiri dari
kepala, badan dan anggota gerak. Aspek kognitif seperti kepala, tempat
menyimpan dan memproses data. Aspek afektif seperti badan yang didalamnya
terdapat hati, tempat manusia melakukan kontemplasi untuk menentukan sikap. Dan
aspek psikomotor seperti anggota gerak, kaki dan tangan, untuk melakukan
apresiasi.
Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan(KTSP) secara ideal mengakomodir ketiga aspek di atas.
Pihak sekolah dengan berbagai keterbatasan sarana dan prasarananya, diberikan
kebebasan untuk mengembangkan dan mengimplementasikan kurikulumnya sesuai
dengan kemampuan dan kebutuhan.
Bila
siswa tinggal di daerah pesisir pantai, maka sekolah dapat menyusun pembelajaran
yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat pesisir pantai. Sehingga siswa memiliki
pengetahuan tentang pentingnya pelestarian terumbu karang, hutan bakau, bahaya
abrasi pantai dan manfaat wisata bahari.Sehingga siswa diharapkan memiliki
pengetahuan dan kepedulian untuk memanfaatkan potensi pesisir pantai dan
lautnya secara arif.
Dan
bagi siswa yang tinggal di dekat hutan, sekolah diberi kebebasan untuk menyusun
kurikulumnya sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan masyarakat di dekat hutan. Sehingga
siswa bisa diarahkan untuk memahami pentingnya melindungi kelestarian hutan
dari bahaya erosi, tanah longsor, banjir, kelestarian keanekaragaman hayati dan
pengetahuan tentang fungsi hutan sebagai paru-paru dunia.
Secara
de jure , pemerintah membuka lebar
kreativitas sekolah untuk meracik kurikulum yang hendak dilaksanakan sejauh
tidak melewati Standar Kompetensi(SK) dan Kompetensi Dasar(KD) yang telah
ditetapkan. Namun bagaimana peran KTSP secara de facto.
Pelaksanaan
UN yang diselenggarakan setiap akhir masa studi, diselenggarakan untuk mengukur
kemampuan siswa dalam menjawab soal setelah mengikuti pembelajaran di sekolah.
Pemerintah menetapkan suatu nilai standar yang mesti dicapai siswa setelah
mengikuti UN. Nilai ini akan menentukan kelulusan siswa.
Inilah
faktanya. Secara de facto UN telah
mengkungkung kreativitas sekolah dalam menerapkan dan mengembangkan kurikulum
sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan daerahnya. Dengan diadakannya UN,
pembelajaran yang dilaksanakan sekolah semata-mata hanya untuk mempersiapkan
menghadapi UN.
Pembelajaran
yang dilaksanakan semata-mata untuk mempersiapkan siswa untuk menghadapi UN
tentu belum bisa disebut mendidik. Karena UN hanya menilai aspek kognitif saja.
Sedangkan dua aspek fundamental lainnya tidak tersentuh.
Sebagai
mahluk Tuhan yang paling komplek, manusia dibekali dengan beragam potensi, kemampuan
dan keterampilan. Wajar saja bila para pakar bidang pendidikan berpandangan
sedikitnya tiga aspek kemampuan dasar yang dimiliki manusia yaitu aspek
kognitif(verbal), aspek afektif(sikap) dan aspek psikomotor(keterampilan). Ketiga
aspek ini dapat dijabarkan lagi dalam berbagai kompetensi yang dapat diukur
dengan beragam instrumen penelitian.
Kurikulum
menjabarkan secara detail Standar Kompetensi(SK) dan Kompetensi Dasar(KD) yang
diwujudkan dalam indikator-indikator yang diharapkan muncul setelah siswa
melakukan pembelajaran. Kegiatan belajar siswa tidak terbatas di dalam kelas
saja tetapi dilaboratorium sain, bahasa dan computer, kegiatan ekstrakurikuler
dan beragam kegiatan karyawisata yang harus ditempuh siswa. Maka indikator yang
muncul pada siswa diharapkan mencakup ketiga aspek di atas.
Sekolah
diberi kebebasan untuk menerapkan dan mengembangkan kurikulum berdasarkan
kondisi dan lingkungan sekitar sekolah. Maka proses belajar-mengajar yang
dilakukan disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan pembangunan daerahnya.
Sehingga detail kurikulum dapat berbeda antara sekolah yang satu dengan yang
lainnya.
Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan(KTSP) mengakomodir keberagaman keadaan dan kemampuan
sekolah dari Sabang sampai Merauke. Pendidikan memberikan ruang gerak yang luas
untuk terlibat langsung dalam pemanfaatan potensi alam di daerahnya. Sehingga
percepatan pembangunan daerah diharapkan akan lebih optimal dan berimbas
langsung pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.Tentu ini merupakan
cita-cita mulia, namun bagaimana dengan realita sesungguhnya?
Poin Plus Bagi Siswa
Sepintas
mata pelajaran yang diUANkan telah memposisikan mata pelajaran yang tidak diUANkan
sebagai mata pelajaran yang tidak penting. Untuk membangun bangsa yang
berlimpah dengan kebhinekaannya, tidak cukup hanya dengan hebat dimata
pelajaran yang diUANkan saja. Karena struktur dan komposisi populasi bangsa
kita begitu beragam. Sehingga diperlukan lebih banyak tool untuk membangun negeri ini. Pendidikan adalah jawaban paling
sentral.
Beberapa
mata pelajaran yang selama ini tidak diUANkan perlu diberikan apresiasi yang
sama dengan mata pelajaran yang diUANkan. Karena “menganaktirikan” suatu mata
pelajaran dapat berakibat langsung pada menurunnya minat siswa untuk
mempelajarinya. Dikhawatirkan pihak sekolah pun akan lebih mempriorotaskan
perhatiannya pada pelajaran yang diUANkan saja. Efek bola salju ini sungguh
tidak diharapkan terjadi.
Sebagai
solusi, mata pelajaran yang tidak diUANkan dapat memberikan poin tambahan untuk
kelulusan siswa. Selama ini, siswa lulus bila telah memenuhi angka tertentu.
Bila angka itu tidak tercapai, maka siswa terancam tidak lulus. Nah, bagi siswa
yang memerlukan satu atau dua poin untuk lulus, dapat memperoleh poin tambahan
dari prestasinya di matapelajaran yang lain atau dikegiatan ekstrakurikuler.
Bila siswa mengetahui manfaat dari berprestasinya di sekolah, diharapkan akan
lebih menggali kreativitas dan memotivasi siswa untuk lebih berprestasi
dikemudian hari. Sehingga tujuan siswa belajar di sekolah bukan lagi untuk
sanggup menjawab soal yang diUANkan saja, tetapi untuk berprestasi.
Desentralisasi Pendidikan
Pelaksanaan
UAN secara otomatis telah menodai semangat otonomi penyelenggaraan pendidikan.
Saat penyelenggaraan Kegiatan Belajar Mengajar(KBM), sekolah diberikan
kebebasan untuk mengembangkan dan menerapkan kurikulumnya. Namun saat pembuatan
instrumen untuk evaluasi akhir siswanya, sekolah tidak dilibatkan. Sungguh
ironi dan penuh dengan kontroversi!
Ketidaksiapan Sekolah
Pemberitaan
tentang pelanggaran saat pelaksanaan UAN, bukan hanya dilakukan oleh oknum siswa
tetapi secara sistematis melibatkan oknum pihak sekolah. Maka tidak sedikit
pihak sekolah yang melanggar digelandang ke markas polisi untuk dimintai
keterangan. Dan ini hanya terjadi di Indonesia.
Penolakan
sejak awal dan ketidaksiapan sekolah dalam pelaksanaan UAN menjadi perhatian
utama. Fasilitas yang dimiliki sekolah tidak memadai untuk menjangkau standar
nilai yang ditetapkan melalui UAN.
Pertannyaan berikutnya kemudian muncul,
sejauh mana UAN dapat mengukur tingkat ketercapaian indikator-indikator yang
dimiliki siswa di seluruh Indonesia?Sedangkan
setiap sekolah dibebaskan untuk mengembangkan kurikulumnya masing-masing.
Fenomena
UAN telah menimbulkan banyak kontroversi sejak awal pelaksanaannya. Hal ini
wajar dan masuk akal karena dengan diterapkannya UAN seolah-olah telah
“mengebiri”manusia sebagai mahluk yang kompleks. Kelulusan siswa hanya dihargai
dari kemampuannya menjawab soal-soal ujian yang isinya hanya menekankan pada
aspek kognitif saja. Sedangkan aspek yang berkaitan dengan sikap-sikap positif
dan keterampilan yang dimiliki siswa tidak menjadi pertimbangan kelulusan.
Bukankankah bangsa kita kualitas lulusan yang bukan saja cerdas tetapi juga berahlak
mulia dan memiliki keterampilan yang mampu bersaing secara global.
Hal
ini diperparah dengan banyaknya pemberitaan dimedia masa perihal kecurangan
yang terjadi saat pelaksanaan UAN. Kecurangan ini bukan hanya sekedar siswa
yang menyontek tetapi secara terorganisir pihak sekolah memberi contekan kepada
siswanya. Sebuah realita yang sungguh mengejutkan.
UAN
menjelama menjadi fenomena bola salju yang bukan hanya berefek pada siswa
tetapi juga sekolah. Selama bertahun-tahun pihak sekolah bekerja keras mendidik
para siswanya supaya menjadi manusia yang bukan hanya pintar seperti Habibie
tetapi juga berahlak mulia dan terampil. Namun dengan diterapkannya UAN, pihak
sekolah merasa usahanya sia-sia. Pemerintah hanya peduli pada mata pelajaran
yang di UAN kan saja sedangkan
mata pelajaran lainnya tidak dapat memberikan tambahan poin bagi kelulusan
siswa.
Sungguh
disayangkan bila para siswa yang menjadi harapan dan tulang punggung Negara
kelak, hanya pandai secara keilmuan saja. Sedangkan moralnya pas-pasan dan
keterampilannya hanya sanggup untuk mengoperasikan alat-alat canggih dari luar
negeri saja.
Dengan
dijadikannya UAN sebagai syarat kelulusan mutlak bagi siswa mementahkan proses
panjang belajar-mengajar yang dilakukan sekolah. Siswa dinyatakan lulus bila ia
pintar saja, sedangkan aspek afektif dan psikomotor tidak menjadi pertimbang.
Bila sistem kelulusan tetap dilaksanakan dengan UAN
dikawatirkan pihak sekolah akan dipacu untuk lebih berkonsentrasi pada
kemampuan akademik siswanya saja. Dan tidak mempersoalkan aspek afektif dan
psikomotor siswa yang berujung pada menipisnya nilai-nilai moral dan ketrampilan
siswa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana komentar anda tentang artikel ini