Guru MI At-Taufiq di Yayasan Pendidikan Al-Hikmah, Kota Bandung
Pada
suatu hari, di sebuah sekolah entah berantah nun jauh di sana,
seorang guru ditegur oleh kepala sekolahnya. “Mengapa anda pulang ketika jam kerja?”
Guru tersebut menjawab,”Kebetulan tugas mengajar saya sudah selesai, pa. Maka
saya manfaatkan waktu luang tersebut untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.”
Kemudian kepala sekolah bertanya,”Bukankah anda sudah diangkat menjadi PNS dan
telah memperoleh penghasilan yang layak?! Seharusnya anda dapat mengimbanginya
dengan etos kerja dan keteladanan yang baik.”
Membaca
ilustrasi fiktif di atas, penulis yakin para pembaca terutama para guru pasti
akan tersenyum simpul dibuatnya. Karena ilustrasi di atas merupakan hal yang mungkin
pernah dialami oleh anda. Adakalanya teguran dari pimpinan seperti di atas
direspon oleh bawahannya dengan penuh kepatuhan. Namun tidak jarang pula yang
merespon sebaliknya. Bagi mereka yang taat rantai komando akan berpendapat,”Sudah
seyogyanya para bawahan menjalankan instruksi pimpinannya.” Bagi mereka yang berpendapat
sebaliknya akan berkata,”Sudah seyogyanya kebutuhan bawahan dipenuhi secara
lebih baik sebelum dituntut peningkatan kinerja.”
Tentu
tidak mudah untuk mencari kebenaran mutlak dari kedua kutub pendapat seperti
ini. Karena keduanya menggunakan orientasi dan kaca mata yang bertolak belakang.
Yang satu menggunakan orientasi peningkatan etos kerja. Sedangkan yang lainnya
menggunakan orientasi pemenuhan hak asasi sebagai pribadi. Seperti kata pepatah,
Carilah persamaan kepentingan untuk
mempertemukan dua perbedaan. Untuk menyatukan dua kepala yang
berbeda perlu dicarikan satu tujuan yang sama. Walaupun jalan yang akan ditempuh
keduanya kemungkinan berbeda. Tetapi demi tujuan dan cita-cita bersama,
perbedaan tersebut bisa dijadikan sebagai jembatan untuk lebih mengintensifkan
proses dialog dan kompromi.
Komunikasi
yang dilakukan secara langsung merupakan media yang paling disarankan oleh para
ahli dalam menyelesaikan setiap permasalahan. Dengan berkomunikasi langsung
akan membuka kesempatan bagi terjadinya transfer aspirasi secara dua arah dari
kedua belah pihak. Begitupun opini antar keduanya dapat disampaikan secara
langsung. Hal ini dapat meminimalisir terjadinya kesalahpahaman dan kesalahtafsiran
perpspektif tentang suatu masalah. Adakalanya hal sepele menjadi besar bukan
karena konten dari masalahnya itu sendiri. Tetapi lebih karena kesalahpahaman
yang bermuara dari tidakakuratan informasi yang diterima secara tidak langsung
oleh keduanya. Hal seperti ini sungguh tidak diharapkan, karena bila dibiarkan
berlarut-larut dapat berpotensi menimbulkan konflik.
Maka
dari itu, komunikasi politik diantara warga sekolah perlu selalu dijaga
kesehatannya. Kebutuhan akan komunikasi politik bukan hanya konsumsi para
politikus saja tetapi warga sekolah pun perlu melalukannya. Adakalanya
aspirasi, opini dan sikap dari berbagai pihak tidak tersalurkan dengan lancar
dikarenakan tersendatnya saluran-saluran komunikasi yang tersedia. Hal ini
dikhawatirkan akan menyuburkan benih-benih ketidakpuasan.
Manfaat
lainnya adalah menumbuhkan sikap toleransi dan kepekaan sosial diantara warga
sekolah. Sehingga akan muncul jargon, Tak
satu pun masalah yang tak bisa dibicarakan. Ini mengisyaratkan bahwa
kompromi akan selalu menjadi jalan tengah disetiap menyikapi tantangan yang ada.
Melalui sikap gotong royong, kekeluargaan,dan musyawarah-mufakat.
Akselerasi
efektvitas kinerja pun dapat lebih ditingkatkan bila segala sesuatunya telah
dikomunikasikan dengan baik. Sehingga setiap pihak dapat menyadari dan
menjalankan peran dan fungsinya tanpa dibebani bayang-bayang ketidakpuasan dan
ketidakadilan dari kebijakan yang diputuskan secara sepihak atau otoriter.
Hal
yang tidak kalah pentingnya adalah terpeliharanya suasana tempat bekerja yang senantiasa
kondusif dan nyaman. Di mana setiap orang merasa betah berlama-lama
beraktivitas dan bersosialisasi di tempat kerja. Sistem yang sehat sangat
bergantung pada mereka-mereka yang terlibat dalam menjalankan sistemnya. Hal
ini merupakan indikator yang positif dalam mengukur kinerja dan prestasi kepemimpinan
tempat kerja tersebut.
Tak ada gading yang tak retak bukanlah
pepatah yang ditujukan pada pendeskripsian dari keterbatasan dan
ketidaksempurnaan sifat manusia. Tetapi pepatah ini menyimpan makna yang lebih
mendalam dari itu yaitu setiap kita dituntut untuk lebih peduli dan peka dalam
menyikapi realita di sekitar kita. Karena setiap individu memiliki kebutuhan,
kemampuan dan karakter yang unik. Yang tidak sama antara satu dengan yang
lainnya. Hal ini memerlukan pendekatan pemecahan masalah yang berbeda bagi
setiap individu. Dan bahasa universal yang paling ampuh dalam menghadapi setiap
tantangan adalah bahasa kepekaan yang tulus. Yang muncul dari kesadaran hati
sanubari yang terdalam bahwa manusia diciptakan oleh Allah SWT dengan dua telinga dan satu mulut. Ini
dimaksudkan supaya kita lebih banyak memanfaatkan kedua telinga kita untuk
belajar dan lebih banyak melakukan download data untuk kemudian diproses di
akal pikiran kita. Dan me-relay-kannya
kelingkungan sekitar dengan pancaran panjang gelombang hati nurani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana komentar anda tentang artikel ini