Guru MI At-Taufiq di Yayasan Pendidikan Al-Hikmah
Artikel ini pernah dimuat di rubrik Suluh
Koran Tribun Jabar, Selasa 8 Mei 2012
Mulai
hari senin dan dua hari berikutnya, anak-anak kelas enam Sekolah Dasar (SD)/
Madrasah Ibtidaiyah (MI) menempuh Ujian Nasional (UN). Ujian pamungkas yang
akan menentukan tuntas tidaknya proses belajar mereka selama enam tahun di
sekolah. Bukanlah perkara kecil dalam membimbing dan menguatkan mental mereka
hingga detik-detik terakhir UN. Karena pernah terjadi saat pelaksanaan Ujian
Akhir Madrasah Berstandar Nasional (UAMBN) seorang siswa belum sampai ke sekolah
sedangkan pengawas ujian akan membagikan Lembar Jawab Komputer (LJK). Spontan
saja wali kelas panik dan mengambil langkah seribu mendatangi rumah siswa.
Ternyata siswa tersebut masih ada di rumah dan terkesan enggan menempuh UASBN-nya.
Dengan pendekatan elegan dan simpatik, akhirnya wali kelas berhasil membujuk
siswa tersebut untuk mengikuti UASBN. Belakangan terkuak bahwa ketidaksiapan
faktor mental yang membuat siswa tersebut tidak bersemangat menempuh ujiannya.
UN
sebagai salah satu instrumen kelulusan
siswa telah memperoleh banyak penolakan dari berbagai kalangan sejak tahun
pertama rencana pelaksanaannya akan digulirkan. Penolakan ini bukanlah isapan
jempol belaka. Karena realita dunia pendidikan di tanah air dipandang belum
memungkinkan dan belum saatnya UN diberlakukan. Masih terlalu lebar jurang
kesenjangan penyediaan insfrastruktur dan fasilitas pendidikan antar daerah di Indonesia.
Hal ini akan melahirkan rasa ketidakadilan pada masyarakat di daerah-daerah
tertinggal bila UN tetap dilaksanakan. Tapi pemerintah bergeming dan bersikeras
menerapkannya.
Menerapkan
UN berarti telah melukai rasa ketidakadilan yang merupakan perbuatan “dosa.” Bila
menyangkut kehidupan berbangsa dan bernegara maka perbuatan tersebut termasuk
“dosa besar.” Bukan saja telah berdosa kepada dunia pendidikan, pelaksanaan UN
telah mencoreng kewibawaan hukum di Negara hukum ini. Berikut 5 dosa besar UN
yang telah genap berlangsung selama lima
tahun.
Pertama,
melanggar putusan Mahkamah Agung. Berdasarkan perkara nomor: 296K/Pdt/2008, MA
telah memerintahkan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk
melarang melaksanaan UN di seluruh Indonesia.
Keputusan MA ini menguatkan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta sebelumya
yang dikeluarkan pada 6 Desember 2007. Sebagai Negara hukum, setiap warga
negara wajib mematuhi hukum yang berlaku tanpa pandang bulu. Terlebih bagi
institusi tertinggi dunia pendidikan negeri ini yang harus bisa menjadi contoh
pertama bagi masyarakat dalam mentaati hukum.
Kedua,
belum meratanya sarana-prasarana pendidikan di seluruh Indonesia.
Menurut data Kemendikbud bahwa sebanyak 194.000 ruang kelas Sekolah Dasar (SD)
dan Sekolah Menengah Pertama (SMP), di Indonesia rusak berat dan perlu segera
direnovasi. Sekolah-sekolah tersebut sudah tidak layak dijadikan tempat
Kegiatan Belajar Mengajar (KBM). Bahkan berpotensi membahayakan siswa yang
sedang belajar karena bangunan yang rapuh sewaktu-waktu bisa saja rubuh. Jumlah
sekolah tersebut akan berlipat-lipat ganda bila menyangkut ketersediaan fasilitas
sekolah yang masih minim dan jauh dari standar kebutuhan pendidikan nasional.
Kualitas sarana prasarana pembelajaran akan mempengaruhi kualitas KBM dan output lulusan. Maka tidaklah berlebihan
bila pemerintah terlebih dahulu memfokuskan penyetandaran fasilitas pendidikan
di seluruh tanah air sebelum menerapkan sistem evaluasi berstandar nasional.
Ketiga,
belum meratanya kualitas guru. Berdasarkan
data Ditjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Pendidikan (PMPTK) Depdiknas,
jumlah guru honorer di Indonesia tahun 2007 mencapai 922.308 guru, terdiri dari
472.475 guru honorer di sekolah negeri dan 449.883 guru di sekolah swasta. Kini
angka statistik tersebut cenderung belum banyak berubahan. Karena tingkat
pertumbuhan jumlah guru honorer belum mampu diimbangi dengan pengangkatan Calon
Pegawai Negeri Sipil (CPNS) setiap tahunnya. Walaupun kini sedang berjalan
program sertifikasi guru tetapi program ini malah menambah polemik permasalahan
baru. Terutama tentang kebijakan guru yang telah memenuhi syarat sertifikasi.
Keempat,
membengkaknya anggaran biaya UN. Tahun 2009, UN menghabiskan biaya
anggaran Rp.572 Milyar, Tahun 2010
Rp.590 Milyar, Tahun 2011 Rp.600 Milyar dan Tahun ini Rp.600 Milyar. Anggaran
tersebut belum termasuk biaya pendistribusian soal hingga ke daerah-daerah. Oleh
sebagian kalangan pelaksanaan UN hanya pemborosan anggaran saja. Karena masih
banyak permasalahan mendesak di dunia pendidikan yang memerlukan penangan
segera seperti tingginya angka putus sekolah. Menurut data Komnas Perlindungan
Anak tahun 2007 di 33 propinsi tercatat sekitar 11,7 juta jiwa putus sekolah.
Kelima,
mengerdilkan makna pendidikan. Pendidikan merupakan upaya sadar untuk
memanusiakan manusia. Pada prinsipnya pendidikan harus bisa menyentuh tiga
aspek yang terdapat dalam diri siswa. Aspek kognitif atau pengetahuan, aspek
afektif atau sikap, dan aspek psikomotor atau keterampilan. Ketiga aspek
tersebut merupakan bagian integral yang tidak dapat dipisahkan pada diri siswa.
Dari ketiga aspek mendasar tersebut, UN hanya mampu mengevaluasi satu aspek saja.
Inilah yang menjadi salah satu penolakan banyak kalangan pendidikan. Karena UN
hanya fokus pada aspek kognitif atau pengetahuan saja. Sedangkan kedua aspek
dasar lainnya tidak digunakan. Begitupun UN dipandang menganaktirikan mata pelajaran-mata
pelajaran yang tidak di-UN-kan seperti mata pelajaran agama, Pendidikan
Kewarganegaraan (Pkn), olah raga, pendidikan seni budaya dan lainnya.
Seolah-olah mutu pendidikan kita ditentukan oleh mata pelajaran yang di UN-kan
saja. Yang lebih memprihatinkan usaha belajar siswa selama bertahun-tahun
seolah-olah tidak dijadikan pertimbangan sebagai syarat kelulusan. Karena pada
ujung-ujungnya hanya ditentukan oleh beberapa hari ujian saja.
Sudah
menjadi sifat alamiah jika setiap individu diciptakan dengan potensi dan
kemampuan yang tidak sama. Kemajuan suatu bangsa sangat dipengaruhi oleh
kemampuannya dalam mengelola potensi yang berbeda tersebut. Kemudian
mendominankannya supaya bisa memberikan kontribusi terbaik bagi bangsanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana komentar anda tentang artikel ini