Jumat, 07 September 2012

Memupus Paradigma Halalbihalal

Oleh : Septiardi Prasetyo
          Guru MI At-Taufiq Kota Bandung
Halalbihalal identik dengan jabat tangan dua orang yang disertai ucapan permohonan maaf-memaafkan. Maaf dan memaafkan merupakan salah satu karakter mulia. Dalam permintaan maaf terkandung kesadaran telah melakukan kesalahan, inisiatif untuk melakukan perbaikan dan menyambungkan silaturahmi. Sedangkan dalam memaafkan terdapat sikap rendah hati, ikhlas, dan berbaik sangka pada orang yang telah menyakitinya. Berkaitan dengan perilaku memaafkan, Rasulullah saw bersabda tidaklah seseorang memaafkan melainkan Allah tambah kemuliaannya (H.R Muslim).
Euforia maaf-memaafkan di masyarakat kuat terasa di momen idulfitri. Ini bisa dilihat dari membanjirnya permohonan maaf yang disampaikan melalui media seperti SMS, situs jejaring sosial facebook, twitter, hingga bersilaturahmi langsung ke rumah tetangga dan  famili. Bahkan dengan mengendarai sepeda motor mereka yang melakukan mudik rela menempuh jarak ratusan kilometer di tengah sengatan terik matahari dan dinginnya terpaan angin malam. Waktu dan tenaga para pemudik pun semakin terkuras ketika kemacetan menjebak mereka hingga puluhan kilometer. Semua ini rela mereka jalani demi menunaikan hasrat untuk dapat berkumpul dan melebur kesalahan bersama keluarga di kampung halaman.
Dalam konteks dunia pendidikan, suasana maaf-memaafkan kental terasa saat dihari pertama masuk setelah libur lebaran. Biasanya pihak sekolah mengemasnya dalam acara halalbihalal bagi seluruh warga sekolah. Acara tahunan ini memiliki manfaat sebagai media edukasi untuk bermaafan, momen mempererat tali silaturahmi, memperkuat kebersamaan antar warga sekolah, memupuk sikap toleransi dan sebagainya.
Namun menempelkan kedua tangan diiringi ucapan maaf-memaafkan di sela senyum manis saja terkadang masih menyisakan sesuatu yang mengganjal perasaan. Pernahkan anda mengalami hal ini? Mungkin kita sudah menunaikan halalbihalal dengan atasan yang pernah berlaku tidak adil kepada kita. Mungkin kita telah berjabatan tangan hingga berpelukan dengan famili yang pernah menyakiti kita. Mungkin kita telah mengucapkan permohonan maaf-memaafkan kepada rekan kerja yang mengkhianati kita. Atau mungkin kita pernah bersilaturahmi pada acara open house pejabat yang dikenal korup. Namun pernahkah anda merasa bahwa menempelkan kedua tangan saja dirasa kurang cukup? Apakah karena ketidaksungguhan dan kekurang ikhlasan penyebabnya?
Untuk menjawab pertanyaan di atas saya ingin kita merenungkan sebuah kisah tentang seorang pemuda saleh yang memakan sebutir apel yang ia temukan mengambang di tepi sungai. Belum sempat pemuda saleh itu menelan apel pada gigitan pertamanya, ia tersadar bahwa apel itu bukan miliknya. Ia kemudian menyusuri sungai untuk menemukan kebun apel dan meminta maaf kepada pemiliknya. Sang pemilik kebun apel tidak menerima permintaan maaf si pemuda saleh kecuali dengan satu syarat. Si pemuda harus mau menikahi putri sang pemilik kebun yang buruk rupa, buta kedua matanya, cacat kedua tangan dan kakinya. Si pemuda saleh telah bertekad untuk menebus dosanya dan menyanggupi syarat yang diajukan sang pemilik kebun. Ketika si pemuda dipertemukan dengan calon istrinya ia kaget ternyata calon istrinya adalah seorang perempuan yang cantik, sempurna anggota badannya dan salehah. Sang pemilik kebun menjelaskan bahwa kedua mata, tangan dan kaki putrinya tidak pernah digunakan untuk perbuatan dosa. Inilah yang diumpamakan sebagai cacat anggota tubuhnya. Akhirnya pemuda saleh tersebut dinikahkan dan hidup bahagia dengan istrinya.
Dari cerita di atas, saya ingin menggaris bawahi bahwa memperoleh maaf kadang tidak cukup ditebus dengan tempel-tempelan tangan disertai pengucapan kalimat permohonan maaf saja. Adakalanya kesalahan yang pernah dilakukan seseorang harus ditebus dengan ganti rugi materi, menjalani proses hukum yang adil, melakukan perbaikan, berkomitmen tidak akan melakukan kesalahan serupa. Sehingga memenjarakan oknum pejabat yang terbukti korupsi saja dirasa tidak cukup memenuhi rasa keadilan rakyat banyak. Karena hukumannya harus disertai dengan pencopotan jabatan, penyitaan seluruh harta kekayaannya untuk negara dan selamanya dilarang memegang jabatan pemerintahan.
Halalbihalal bukan sekedar media untuk melebur dosa secara vertikal tetapi harus bisa menyentuh ranah horisontal. Memang betul bahwa dengan bermaafan dapat mengundang kasih sayang dan ampunan Allah SWT. Tapi kita juga jangan sampai mengabaikan pengembalian hak orang-orang yang disakiti. Maka dari itu paradigma halalbihalal bukan hanya ditujukan pada ranah vertikal berupa peleburan dosa kepada Allah SWT saja tetapi juga ranah horisontal berupa penunjukkan sikap kesungguhan dan perbaikan kepada orang-orang yang dimintai maaf. Cara yang bisa dilakukan adalah sebagai berkut.
Pertama, sebutkan kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan secara detail. Saya punya pengalaman menarik tentang fenomena mengakui kesalahan secara detail saat mudik ke kampung halaman ibu di kota kebumen. Ketika masyarakat di sana bersalaman,  mereka melakukannya sambil membisikkan permohonan maaf atas berbagai kesalahan dengan kalimat dan suara lemah lembut yang hanya terdengar oleh keduanya. Mereka menguraikan kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan diri mereka sendiri. Mereka tidak akan melepaskan jabatan tangannya sebelum keduanya menyelesaikan menguraikan kesalahan-kesalahannya.
Kedua, Melakukan perbaikan atas segala kesalahan. Bila menyangkut hak orang lain maka hak tersebut harus dikembalikan kepada pemiliknya. Bila berkenaan dengan regulasi yang hanya menguntungkan pribadi atau pihak tertentu saja maka harus diperbaiki dengan menyusun regulasi yang berkeadilan bagi semua pihak.
Ketiga, berkomitmen tidak akan mengulangi kesalahan serupa atau lainnya. Dalam melakukan interaksi sosial, permasalahan bisa muncul pada siapa saja, kapan saja dan di mana saja. Dan tidak ada masalah yang tidak dapat dipecahkan merupakan prinsip alamiah yang selalu berlaku. Tetapi bila pihak yang pernah merugikan ingin bekerja sama dengan pihak yang pernah dirugikan maka kemampuan dalam menunjukkan komitmet untuk tidak mengulangi kesalah serupa atau yang lainnya adalah harga mati. Selain mengakui kesalahan dan melakukan perbaikan.
Paradigma halalbihalal bukanlah sebatas menempelkan kedua tangan kita kepada orang lain sambi mengucapkan kalimat maaf-memaafkan. Tetapi lebih kepada kelanjutan dari semangat halalbihal tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana komentar anda tentang artikel ini