Selasa, 01 Mei 2012

Di balik Gunung Es Bernama UN


Oleh : Septiardi Prasetyo
          Guru MI At-Taufiq, Kota Bandung

Baru-baru ini, media masa nasional diramaikan oleh pemberitaan tentang pelaksanaan Ujian Nasional(UN). Fenomena tahunan ini telah menimbulkan banyak kontroversi sejak hari pertama pelaksanaannya. Hebatnya UN “berhasil” memunculkan fenomena baru, polisi mengamankan pelaksanaan UN di sekolah. Ini hanya terjadi di Indonesia. Seperti gunung es, di bawah permukaan, UN banyak menyimpan permasalahan mendasar.
Pendidikan merupakan proses memanusiakan manusia. Dari proses ini semua potensi yang dimiliki manusia yang bernama siswa digali dari tiga aspek fundamental. Aspek kognitif(pengetahuan), afektif(sikap) dan psikomotor yang secara alamiah ketiganya berhubungan dan saling mempengaruhi.
Tiga aspek fundamental dari pendidikan ini diibaratkan manusia yang terdiri dari kepala, badan dan anggota gerak. Aspek kognitif seperti kepala, tempat menyimpan dan memproses data. Aspek afektif seperti badan yang didalamnya terdapat hati, tempat manusia melakukan kontemplasi untuk menentukan sikap. Dan aspek psikomotor seperti anggota gerak, kaki dan tangan, untuk melakukan apresiasi.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan(KTSP) secara ideal mengakomodir ketiga aspek di atas. Pihak sekolah dengan berbagai keterbatasan sarana dan prasarananya, diberikan kebebasan untuk mengembangkan dan mengimplementasikan kurikulumnya sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan.
Bila siswa tinggal di daerah pesisir pantai, maka sekolah dapat menyusun pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat pesisir pantai. Sehingga siswa memiliki pengetahuan tentang pentingnya pelestarian terumbu karang, hutan bakau, bahaya abrasi pantai dan manfaat wisata bahari.Sehingga siswa diharapkan memiliki pengetahuan dan kepedulian untuk memanfaatkan potensi pesisir pantai dan lautnya secara arif.
Dan bagi siswa yang tinggal di dekat hutan, sekolah diberi kebebasan untuk menyusun kurikulumnya sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan masyarakat di dekat hutan. Sehingga siswa bisa diarahkan untuk memahami pentingnya melindungi kelestarian hutan dari bahaya erosi, tanah longsor, banjir, kelestarian keanekaragaman hayati dan pengetahuan tentang fungsi hutan sebagai paru-paru dunia.
Secara de jure , pemerintah membuka lebar kreativitas sekolah untuk meracik kurikulum yang hendak dilaksanakan sejauh tidak melewati Standar Kompetensi(SK) dan Kompetensi Dasar(KD) yang telah ditetapkan. Namun bagaimana peran KTSP secara de facto.
Pelaksanaan UN yang diselenggarakan setiap akhir masa studi, diselenggarakan untuk mengukur kemampuan siswa dalam menjawab soal setelah mengikuti pembelajaran di sekolah. Pemerintah menetapkan suatu nilai standar yang mesti dicapai siswa setelah mengikuti UN. Nilai ini akan menentukan kelulusan siswa.
Inilah faktanya. Secara de facto UN telah mengkungkung kreativitas sekolah dalam menerapkan dan mengembangkan kurikulum sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan daerahnya. Dengan diadakannya UN, pembelajaran yang dilaksanakan sekolah semata-mata hanya untuk mempersiapkan menghadapi UN.
Pembelajaran yang dilaksanakan semata-mata untuk mempersiapkan siswa untuk menghadapi UN tentu belum bisa disebut mendidik. Karena UN hanya menilai aspek kognitif saja. Sedangkan dua aspek fundamental lainnya tidak tersentuh.
Sebagai mahluk Tuhan yang paling komplek, manusia dibekali dengan beragam potensi, kemampuan dan keterampilan. Wajar saja bila para pakar bidang pendidikan berpandangan sedikitnya tiga aspek kemampuan dasar yang dimiliki manusia yaitu aspek kognitif(verbal), aspek afektif(sikap) dan aspek psikomotor(keterampilan). Ketiga aspek ini dapat dijabarkan lagi dalam berbagai kompetensi yang dapat diukur dengan beragam instrumen penelitian.
Kurikulum menjabarkan secara detail Standar Kompetensi(SK) dan Kompetensi Dasar(KD) yang diwujudkan dalam indikator-indikator yang diharapkan muncul setelah siswa melakukan pembelajaran. Kegiatan belajar siswa tidak terbatas di dalam kelas saja tetapi dilaboratorium sain, bahasa dan computer, kegiatan ekstrakurikuler dan beragam kegiatan karyawisata yang harus ditempuh siswa. Maka indikator yang muncul pada siswa diharapkan mencakup ketiga aspek di atas.
Sekolah diberi kebebasan untuk menerapkan dan mengembangkan kurikulum berdasarkan kondisi dan lingkungan sekitar sekolah. Maka proses belajar-mengajar yang dilakukan disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan pembangunan daerahnya. Sehingga detail kurikulum dapat berbeda antara sekolah yang satu dengan yang lainnya.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan(KTSP) mengakomodir keberagaman keadaan dan kemampuan sekolah dari Sabang sampai Merauke. Pendidikan memberikan ruang gerak yang luas untuk terlibat langsung dalam pemanfaatan potensi alam di daerahnya. Sehingga percepatan pembangunan daerah diharapkan akan lebih optimal dan berimbas langsung pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.Tentu ini merupakan cita-cita mulia, namun bagaimana dengan realita sesungguhnya?


Poin Plus Bagi Siswa
Sepintas mata pelajaran yang diUANkan telah memposisikan mata pelajaran yang tidak diUANkan sebagai mata pelajaran yang tidak penting. Untuk membangun bangsa yang berlimpah dengan kebhinekaannya, tidak cukup hanya dengan hebat dimata pelajaran yang diUANkan saja. Karena struktur dan komposisi populasi bangsa kita begitu beragam. Sehingga diperlukan lebih banyak tool untuk membangun negeri ini. Pendidikan adalah jawaban paling sentral.
Beberapa mata pelajaran yang selama ini tidak diUANkan perlu diberikan apresiasi yang sama dengan mata pelajaran yang diUANkan. Karena “menganaktirikan” suatu mata pelajaran dapat berakibat langsung pada menurunnya minat siswa untuk mempelajarinya. Dikhawatirkan pihak sekolah pun akan lebih mempriorotaskan perhatiannya pada pelajaran yang diUANkan saja. Efek bola salju ini sungguh tidak diharapkan terjadi.
Sebagai solusi, mata pelajaran yang tidak diUANkan dapat memberikan poin tambahan untuk kelulusan siswa. Selama ini, siswa lulus bila telah memenuhi angka tertentu. Bila angka itu tidak tercapai, maka siswa terancam tidak lulus. Nah, bagi siswa yang memerlukan satu atau dua poin untuk lulus, dapat memperoleh poin tambahan dari prestasinya di matapelajaran yang lain atau dikegiatan ekstrakurikuler. Bila siswa mengetahui manfaat dari berprestasinya di sekolah, diharapkan akan lebih menggali kreativitas dan memotivasi siswa untuk lebih berprestasi dikemudian hari. Sehingga tujuan siswa belajar di sekolah bukan lagi untuk sanggup menjawab soal yang diUANkan saja, tetapi untuk berprestasi.
Desentralisasi Pendidikan
Pelaksanaan UAN secara otomatis telah menodai semangat otonomi penyelenggaraan pendidikan. Saat penyelenggaraan Kegiatan Belajar Mengajar(KBM), sekolah diberikan kebebasan untuk mengembangkan dan menerapkan kurikulumnya. Namun saat pembuatan instrumen untuk evaluasi akhir siswanya, sekolah tidak dilibatkan. Sungguh ironi dan penuh dengan kontroversi!
Ketidaksiapan Sekolah
Pemberitaan tentang pelanggaran saat pelaksanaan UAN, bukan hanya dilakukan oleh oknum siswa tetapi secara sistematis melibatkan oknum pihak sekolah. Maka tidak sedikit pihak sekolah yang melanggar digelandang ke markas polisi untuk dimintai keterangan. Dan ini hanya terjadi di Indonesia.
Penolakan sejak awal dan ketidaksiapan sekolah dalam pelaksanaan UAN menjadi perhatian utama. Fasilitas yang dimiliki sekolah tidak memadai untuk menjangkau standar nilai yang ditetapkan melalui UAN.
Pertannyaan berikutnya kemudian muncul, sejauh mana UAN dapat mengukur tingkat ketercapaian indikator-indikator yang dimiliki siswa di seluruh Indonesia?Sedangkan setiap sekolah dibebaskan untuk mengembangkan kurikulumnya masing-masing.
Fenomena UAN telah menimbulkan banyak kontroversi sejak awal pelaksanaannya. Hal ini wajar dan masuk akal karena dengan diterapkannya UAN seolah-olah telah “mengebiri”manusia sebagai mahluk yang kompleks. Kelulusan siswa hanya dihargai dari kemampuannya menjawab soal-soal ujian yang isinya hanya menekankan pada aspek kognitif saja. Sedangkan aspek yang berkaitan dengan sikap-sikap positif dan keterampilan yang dimiliki siswa tidak menjadi pertimbangan kelulusan. Bukankankah bangsa kita kualitas lulusan yang bukan saja cerdas tetapi juga berahlak mulia dan memiliki keterampilan yang mampu bersaing secara global.
Hal ini diperparah dengan banyaknya pemberitaan dimedia masa perihal kecurangan yang terjadi saat pelaksanaan UAN. Kecurangan ini bukan hanya sekedar siswa yang menyontek tetapi secara terorganisir pihak sekolah memberi contekan kepada siswanya. Sebuah realita yang sungguh mengejutkan.
UAN menjelama menjadi fenomena bola salju yang bukan hanya berefek pada siswa tetapi juga sekolah. Selama bertahun-tahun pihak sekolah bekerja keras mendidik para siswanya supaya menjadi manusia yang bukan hanya pintar seperti Habibie tetapi juga berahlak mulia dan terampil. Namun dengan diterapkannya UAN, pihak sekolah merasa usahanya sia-sia. Pemerintah hanya peduli pada mata pelajaran yang di UAN kan saja sedangkan mata pelajaran lainnya tidak dapat memberikan tambahan poin bagi kelulusan siswa.
Sungguh disayangkan bila para siswa yang menjadi harapan dan tulang punggung Negara kelak, hanya pandai secara keilmuan saja. Sedangkan moralnya pas-pasan dan keterampilannya hanya sanggup untuk mengoperasikan alat-alat canggih dari luar negeri saja.
Dengan dijadikannya UAN sebagai syarat kelulusan mutlak bagi siswa mementahkan proses panjang belajar-mengajar yang dilakukan sekolah. Siswa dinyatakan lulus bila ia pintar saja, sedangkan aspek afektif dan psikomotor tidak menjadi pertimbang.
Bila sistem kelulusan tetap dilaksanakan dengan UAN dikawatirkan pihak sekolah akan dipacu untuk lebih berkonsentrasi pada kemampuan akademik siswanya saja. Dan tidak mempersoalkan aspek afektif dan psikomotor siswa yang berujung pada menipisnya nilai-nilai moral dan ketrampilan siswa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana komentar anda tentang artikel ini