Selasa, 15 Mei 2012

Komunikasi Politik di Sekolah

Oleh : Septiardi Prasetyo
          Guru MI At-Taufiq di Yayasan Pendidikan Al-Hikmah, Kota Bandung


Pada suatu hari, di sebuah sekolah entah berantah nun jauh di sana, seorang guru ditegur oleh kepala sekolahnya. “Mengapa anda pulang ketika jam kerja?” Guru tersebut menjawab,”Kebetulan tugas mengajar saya sudah selesai, pa. Maka saya manfaatkan waktu luang tersebut untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.” Kemudian kepala sekolah bertanya,”Bukankah anda sudah diangkat menjadi PNS dan telah memperoleh penghasilan yang layak?! Seharusnya anda dapat mengimbanginya dengan etos kerja dan keteladanan yang baik.”
Membaca ilustrasi fiktif di atas, penulis yakin para pembaca terutama para guru pasti akan tersenyum simpul dibuatnya. Karena ilustrasi di atas merupakan hal yang mungkin pernah dialami oleh anda. Adakalanya teguran dari pimpinan seperti di atas direspon oleh bawahannya dengan penuh kepatuhan. Namun tidak jarang pula yang merespon sebaliknya. Bagi mereka yang taat rantai komando akan berpendapat,”Sudah seyogyanya para bawahan menjalankan instruksi pimpinannya.” Bagi mereka yang berpendapat sebaliknya akan berkata,”Sudah seyogyanya kebutuhan bawahan dipenuhi secara lebih baik sebelum dituntut peningkatan kinerja.”
Tentu tidak mudah untuk mencari kebenaran mutlak dari kedua kutub pendapat seperti ini. Karena keduanya menggunakan orientasi dan kaca mata yang bertolak belakang. Yang satu menggunakan orientasi peningkatan etos kerja. Sedangkan yang lainnya menggunakan orientasi pemenuhan hak asasi sebagai pribadi. Seperti kata pepatah, Carilah persamaan kepentingan  untuk  mempertemukan dua perbedaan. Untuk menyatukan dua kepala yang berbeda perlu dicarikan satu tujuan yang sama. Walaupun jalan yang akan ditempuh keduanya kemungkinan berbeda. Tetapi demi tujuan dan cita-cita bersama, perbedaan tersebut bisa dijadikan sebagai jembatan untuk lebih mengintensifkan proses dialog dan kompromi.
Komunikasi yang dilakukan secara langsung merupakan media yang paling disarankan oleh para ahli dalam menyelesaikan setiap permasalahan. Dengan berkomunikasi langsung akan membuka kesempatan bagi terjadinya transfer aspirasi secara dua arah dari kedua belah pihak. Begitupun opini antar keduanya dapat disampaikan secara langsung. Hal ini dapat meminimalisir terjadinya kesalahpahaman dan kesalahtafsiran perpspektif tentang suatu masalah. Adakalanya hal sepele menjadi besar bukan karena konten dari masalahnya itu sendiri. Tetapi lebih karena kesalahpahaman yang bermuara dari tidakakuratan informasi yang diterima secara tidak langsung oleh keduanya. Hal seperti ini sungguh tidak diharapkan, karena bila dibiarkan berlarut-larut dapat berpotensi menimbulkan konflik.
Maka dari itu, komunikasi politik diantara warga sekolah perlu selalu dijaga kesehatannya. Kebutuhan akan komunikasi politik bukan hanya konsumsi para politikus saja tetapi warga sekolah pun perlu melalukannya. Adakalanya aspirasi, opini dan sikap dari berbagai pihak tidak tersalurkan dengan lancar dikarenakan tersendatnya saluran-saluran komunikasi yang tersedia. Hal ini dikhawatirkan akan menyuburkan benih-benih ketidakpuasan.
Manfaat lainnya adalah menumbuhkan sikap toleransi dan kepekaan sosial diantara warga sekolah. Sehingga akan muncul jargon, Tak satu pun masalah yang tak bisa dibicarakan. Ini mengisyaratkan bahwa kompromi akan selalu menjadi jalan tengah disetiap menyikapi tantangan yang ada. Melalui sikap gotong royong, kekeluargaan,dan musyawarah-mufakat.
Akselerasi efektvitas kinerja pun dapat lebih ditingkatkan bila segala sesuatunya telah dikomunikasikan dengan baik. Sehingga setiap pihak dapat menyadari dan menjalankan peran dan fungsinya tanpa dibebani bayang-bayang ketidakpuasan dan ketidakadilan dari kebijakan yang diputuskan secara sepihak atau otoriter.
Hal yang tidak kalah pentingnya adalah terpeliharanya suasana tempat bekerja yang senantiasa kondusif dan nyaman. Di mana setiap orang merasa betah berlama-lama beraktivitas dan bersosialisasi di tempat kerja. Sistem yang sehat sangat bergantung pada mereka-mereka yang terlibat dalam menjalankan sistemnya. Hal ini merupakan indikator yang positif dalam mengukur kinerja dan prestasi kepemimpinan tempat kerja tersebut.
Tak ada gading yang tak retak bukanlah pepatah yang ditujukan pada pendeskripsian dari keterbatasan dan ketidaksempurnaan sifat manusia. Tetapi pepatah ini menyimpan makna yang lebih mendalam dari itu yaitu setiap kita dituntut untuk lebih peduli dan peka dalam menyikapi realita di sekitar kita. Karena setiap individu memiliki kebutuhan, kemampuan dan karakter yang unik. Yang tidak sama antara satu dengan yang lainnya. Hal ini memerlukan pendekatan pemecahan masalah yang berbeda bagi setiap individu. Dan bahasa universal yang paling ampuh dalam menghadapi setiap tantangan adalah bahasa kepekaan yang tulus. Yang muncul dari kesadaran hati sanubari yang terdalam bahwa manusia diciptakan oleh Allah  SWT dengan dua telinga dan satu mulut. Ini dimaksudkan supaya kita lebih banyak memanfaatkan kedua telinga kita untuk belajar dan lebih banyak melakukan download data untuk kemudian diproses di akal pikiran kita. Dan me-relay-kannya kelingkungan sekitar dengan pancaran panjang gelombang hati nurani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana komentar anda tentang artikel ini