Senin, 14 Mei 2012

5 Dosa Besar UN

Oleh : Septiardi Prasetyo
          Guru MI At-Taufiq di Yayasan Pendidikan Al-Hikmah
          Artikel ini pernah dimuat di rubrik Suluh
          Koran Tribun Jabar, Selasa 8 Mei 2012


Mulai hari senin dan dua hari berikutnya, anak-anak kelas enam Sekolah Dasar (SD)/ Madrasah Ibtidaiyah (MI) menempuh Ujian Nasional (UN). Ujian pamungkas yang akan menentukan tuntas tidaknya proses belajar mereka selama enam tahun di sekolah. Bukanlah perkara kecil dalam membimbing dan menguatkan mental mereka hingga detik-detik terakhir UN. Karena pernah terjadi saat pelaksanaan Ujian Akhir Madrasah Berstandar Nasional (UAMBN) seorang siswa belum sampai ke sekolah sedangkan pengawas ujian akan membagikan Lembar Jawab Komputer (LJK). Spontan saja wali kelas panik dan mengambil langkah seribu mendatangi rumah siswa. Ternyata siswa tersebut masih ada di rumah dan terkesan enggan menempuh UASBN-nya. Dengan pendekatan elegan dan simpatik, akhirnya wali kelas berhasil membujuk siswa tersebut untuk mengikuti UASBN. Belakangan terkuak bahwa ketidaksiapan faktor mental yang membuat siswa tersebut tidak bersemangat menempuh ujiannya.
UN sebagai salah  satu instrumen kelulusan siswa telah memperoleh banyak penolakan dari berbagai kalangan sejak tahun pertama rencana pelaksanaannya akan digulirkan. Penolakan ini bukanlah isapan jempol belaka. Karena realita dunia pendidikan di tanah air dipandang belum memungkinkan dan belum saatnya UN diberlakukan. Masih terlalu lebar jurang kesenjangan penyediaan insfrastruktur dan fasilitas pendidikan antar daerah di Indonesia. Hal ini akan melahirkan rasa ketidakadilan pada masyarakat di daerah-daerah tertinggal bila UN tetap dilaksanakan. Tapi pemerintah bergeming dan bersikeras menerapkannya.
Menerapkan UN berarti telah melukai rasa ketidakadilan yang merupakan perbuatan “dosa.” Bila menyangkut kehidupan berbangsa dan bernegara maka perbuatan tersebut termasuk “dosa besar.” Bukan saja telah berdosa kepada dunia pendidikan, pelaksanaan UN telah mencoreng kewibawaan hukum di Negara hukum ini. Berikut 5 dosa besar UN yang telah genap berlangsung selama lima tahun.
Pertama, melanggar putusan Mahkamah Agung. Berdasarkan perkara nomor: 296K/Pdt/2008, MA telah memerintahkan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk melarang melaksanaan UN di seluruh Indonesia. Keputusan MA ini menguatkan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta sebelumya yang dikeluarkan pada 6 Desember 2007. Sebagai Negara hukum, setiap warga negara wajib mematuhi hukum yang berlaku tanpa pandang bulu. Terlebih bagi institusi tertinggi dunia pendidikan negeri ini yang harus bisa menjadi contoh pertama bagi masyarakat dalam mentaati hukum.
Kedua, belum meratanya sarana-prasarana pendidikan di seluruh Indonesia. Menurut data Kemendikbud bahwa sebanyak 194.000 ruang kelas Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP), di Indonesia rusak berat dan perlu segera direnovasi. Sekolah-sekolah tersebut sudah tidak layak dijadikan tempat Kegiatan Belajar Mengajar (KBM). Bahkan berpotensi membahayakan siswa yang sedang belajar karena bangunan yang rapuh sewaktu-waktu bisa saja rubuh. Jumlah sekolah tersebut akan berlipat-lipat ganda bila menyangkut ketersediaan fasilitas sekolah yang masih minim dan jauh dari standar kebutuhan pendidikan nasional. Kualitas sarana prasarana pembelajaran akan mempengaruhi kualitas KBM dan output lulusan. Maka tidaklah berlebihan bila pemerintah terlebih dahulu memfokuskan penyetandaran fasilitas pendidikan di seluruh tanah air sebelum menerapkan sistem evaluasi berstandar nasional.
Ketiga, belum meratanya kualitas guru.  Berdasarkan data Ditjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Pendidikan (PMPTK) Depdiknas, jumlah guru honorer di Indonesia tahun 2007 mencapai 922.308 guru, terdiri dari 472.475 guru honorer di sekolah negeri dan 449.883 guru di sekolah swasta. Kini angka statistik tersebut cenderung belum banyak berubahan. Karena tingkat pertumbuhan jumlah guru honorer belum mampu diimbangi dengan pengangkatan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) setiap tahunnya. Walaupun kini sedang berjalan program sertifikasi guru tetapi program ini malah menambah polemik permasalahan baru. Terutama tentang kebijakan guru yang telah memenuhi syarat sertifikasi.
Keempat, membengkaknya anggaran biaya UN. Tahun 2009, UN menghabiskan biaya anggaran  Rp.572 Milyar, Tahun 2010 Rp.590 Milyar, Tahun 2011 Rp.600 Milyar dan Tahun ini Rp.600 Milyar. Anggaran tersebut belum termasuk biaya pendistribusian soal hingga ke daerah-daerah. Oleh sebagian kalangan pelaksanaan UN hanya pemborosan anggaran saja. Karena masih banyak permasalahan mendesak di dunia pendidikan yang memerlukan penangan segera seperti tingginya angka putus sekolah. Menurut data Komnas Perlindungan Anak tahun 2007 di 33 propinsi tercatat sekitar 11,7 juta jiwa putus sekolah.
Kelima, mengerdilkan makna pendidikan. Pendidikan merupakan upaya sadar untuk memanusiakan manusia. Pada prinsipnya pendidikan harus bisa menyentuh tiga aspek yang terdapat dalam diri siswa. Aspek kognitif atau pengetahuan, aspek afektif atau sikap, dan aspek psikomotor atau keterampilan. Ketiga aspek tersebut merupakan bagian integral yang tidak dapat dipisahkan pada diri siswa. Dari ketiga aspek mendasar tersebut, UN hanya mampu mengevaluasi satu aspek saja. Inilah yang menjadi salah satu penolakan banyak kalangan pendidikan. Karena UN hanya fokus pada aspek kognitif atau pengetahuan saja. Sedangkan kedua aspek dasar lainnya tidak digunakan. Begitupun UN dipandang menganaktirikan mata pelajaran-mata pelajaran yang tidak di-UN-kan seperti mata pelajaran agama, Pendidikan Kewarganegaraan (Pkn), olah raga, pendidikan seni budaya dan lainnya. Seolah-olah mutu pendidikan kita ditentukan oleh mata pelajaran yang di UN-kan saja. Yang lebih memprihatinkan usaha belajar siswa selama bertahun-tahun seolah-olah tidak dijadikan pertimbangan sebagai syarat kelulusan. Karena pada ujung-ujungnya hanya ditentukan oleh beberapa hari ujian saja.
Sudah menjadi sifat alamiah jika setiap individu diciptakan dengan potensi dan kemampuan yang tidak sama. Kemajuan suatu bangsa sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam mengelola potensi yang berbeda tersebut. Kemudian mendominankannya supaya bisa memberikan kontribusi terbaik bagi bangsanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana komentar anda tentang artikel ini