Pengajar Bahasa Indonesia di Lembaga Neutron Bandung
Artikel ini pernah dimuat di rubrik Forum Guru
Koran Pikiran Rakyat, Rabu 22 Februari 2012
Beberapa waktu
yang lalu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan surat
edaran nomor 152/R/T/2012 yang isinya mewajibkan mahasiswa dari semua jenjang
untuk membuat karya tulis ilmiah dan karya tersebut harus dipublikasikan di
dalam jurnal ilmiah sebagai syarat kelulusan. Kebijakan ini bertujuan untuk
meningkatkan kualitas pendidikan di perguruan tinggi.
Produktivitas
mahasiswa dalam membuat karya tulis ilmiah memang sangat meinim. Hal inilah
yang menjadi pertimbangan kebijakan ini dibuat. Karya tulis ilmiah ini juga
sebenarnya memiliki fungsi lain, yaitu sebagai representasi dari salah satu
Tridarma Perguruan Tinggi berupa penelitian. Dengan adanya kebijakan ini,
mahasiswa didorong agar aktif dalam melakukan penelitian berdasarkan bidang
ilmunya.
Namun, di balik
tujuan yang mulia itu masih ada sedikit ganjalan yang berpotensi menggagalkan
program ini. Salah satunya, ketersediaan jurnal ilmiah di Indonesia
yang masih minim. Program ini juga berpotensi gagal karena kemampuan menulis
karya tulis ilmiah mahasiswa yang rendah.
Beberapa pakar
pendidikan bahkan menyalahkan sekolah karena tidak mampu memberikan kemampuan
menulis bagi siswanya, sehingga ketika telah menjadi mahasiswa merekapun
kesulitan membuat karya tulis ilmiah. Hal ini bukan hanya terjadi kepada
mahasiswa jurusan nonbahasa, tetapi juga mahasiswa jurusan bahasa.
Meskipun dinilai
subjektif, pendapat pakar pendidikan itu ada benarnya. Jika kita jujur, di
sekolah guru memang sangat kurang memberikan kemampuan menulis karya tulis
ilmiah. Bahkan, kita telah membentuk mereka menjadi calon plagiator di dunia
kampusnya kelak. Sebagai seorang pengajar, kita sering kali khilaf dan
mengajarkan mereka untuk menyalin. Apakah itu menyalin yang ditulis guru di
papan tulis atau menyuruh mereka menyalin dari buku perpustakaan. Sadar atau
tidak, dengan kebiasaan itu guru sedang mencetak siswa menjadi plagiator.
Kita jarang
sekali memberi siswa kelaluasaan dalam berkreativitas, khususnya dalam menulis.
Dalam proses belajar-mengajar punkita malah sering memberi mereka ceramah.
Budaya menulis begitu minim kita berikan, sebaliknya budaya lisan
(mendengarkan) selalu kita praktikan. Karena kebiasaan ini, siswa menjadi
terbiasa sebagai objek yang hanya bisa mengekor, mangut-mangut, dan menjadi
manusia yang pasif. Otak dan kemampuannya dalam menulis menjadi tidak terasah.
Melihat kealpaan
ini, guru mesti mengubah kebiasaan pengajaran kita yang tidak mengasah
kemampuan siswa untuk menulis. Guru harus menjadikan siswa sebagai subjek hidup
dan membimbingnya menjadi manusia yang kreatif dan mampu meenuangkan pikiran
ilmiahnya ke dalam bentuk tulisan ilmiah.
Jika di sekolah
dibiasakan menulis karya ilmiah, tentu ketika di kampus dihadapkan pada
kewajiban membuat karya tulis ilmiah sebagai syarat kelulusannya, tidak akan
sulit atau dipandang sebagai hambatan kelulusan mereka. Jadi, mulai sekarang
mari kita ajari siswa kita menulis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana komentar anda tentang artikel ini