Penulis, Staf
Pengajar Sekolah Pascasarjana
Universitas
Pendidikan Indonesia
(UPI) Bandung
Pengurus ICMIArtikel ini pernah dimuat di rubrik Opini
Koran Pikiran Rakyat
Masalah yang
masih relatif sulit diterjemahkan dalam pembangunan pendidikan Indonesia
saat ini adalah masalah aksesibilitas dan keterjangkauan nilai. Rendahnya
aksesibilitas pendidikan tampak dari rerata lama sekolah masyarakat Indonesia
dan angka partisipasi kasar pada jenjang menengah dan tinggi. APK pada tingkat
SD, sebagaimana dikemukakan Mendikbud pada Rembuk Pendidikan 2012, sudah
mencapai 117% dan APM mencapai 98%. Artinya, hanya 2% lagi anak Indonesia
yang belum mengenyam pendidikan SD. Sementara itu, secara nasional rerata APK
SMA hanya mencapai 69,60% (2010). Demikian pula APK perguruan tinggi baru
mencapai 26% (2010).
Angka ini tentu
saja memberikan gambaran betapa banyak anak-anak Indonesia
yang tidak dapat melanjutkan sekolah ke jenjang menengah. Masalah utamanya
adalah kemampuan ekonomi, sekalipun ada pula unsur budaya di dalamnya.
Kehidupan yang semakin mengimpit menyebabkan masyarakat harus berpikir ulang
menyekolahkan anaknya ke jenjang lebih tinggi. Selain karena biaya pendidikan
yang semakin tak terjangkau, keyakinan bahwa pendidikan sebagai investasi pun
semakin sulit dibuktikan.
Data lain
menunjukkan, rerata lama belajar masyarakat secara nasionalbaru mencapai 7,80
(2010) yang berarti masyarakat Indonesia
baru mengenyam pendidikan jenjang SMP kelas VIII. Sementara itu, angka melek
huruf nasional mencapai 92,95% (2010). Dua data terakhir ini menunjukkan
anomaliyang sulit berterima apabila dikaitkan dengan tantangan dan persaingan
global yang sedang kita hadapi. Di saat kita membutuhkan kondisi masyarakat
yang kompetitif untuk memenangi persaingan, faktanya di negeri ini rerata
pendidikan masyarakat hanya setaraf SMP kelas VI-II dan masih sekitar 7,15
persen masyarakat yang buta huruf. Dari sisi ini, kita sesungguhnya sebagai
bangsa belum siap untuk menjadi pesaing bangsa-bangsa yang sudah dulu maju.
Apabila aspek
pendidikan ini menjadi indicator raihanIndeks Pembangunan Manusia, pemerintah
harus lebih keras bekerja dalam meningkatkan perluasan akses pendidikan
sehingga semua anak usia sekolah harus dipastikan dapat mengenyam pendidikan.
Prioritas membangun dan memperbaiki gedung sekolah yang rusak merupakan
orientasi paling dekat, mengingat betuk fisik inilah yang pertama dapat kita
saksikan. Secara kasat mata kita masih sangat prihatin dengan kondisi bangunan
gedung-gedung sekolah karena kualitas bangunan yang tidak memadai bahkan hancur
sebelum waktunya. Tidak kurang bangunan yang baru satu atau dua tahun ambruk
karena kualitas bahan yang tidak memadai. Ikhtiar untuk menjaga kualitas
bangunan sekolah menlalui hibah swakelola menjadi demikian penting, mengingat
program tender saat ini hanya menjadikan bangunan sekolah sebagai proyek
bancakan.
Dalam rangka
aksesibilitas, pemerintah juga harus memastikan bahwa anak Indonesia
memperoleh kesempatan berpendidikan ke jenjang lebih tinggi. Kenyataan ini
hendak dijawab dengan program pendidikan daar 12 tahun yang diberi nama
pendidikan universal. Program ini bukan hanya mendorong masyarakat untuk
berpartisipasi lebih besar, tetapi juga mendudukkan tanggung jawab pemerintah
dalam memberikan akses pendidikan kepada rakyatnya secara lebih serius. Oleh
karena itu, perlu dilakukan beragam program penyadaran yang mendorong
terlaksananya pendidikan universal ini.
Keterjangkauan
akses ini juga berkait dengan kesiapan dan ketersediaantenaga guru di daerah.
Problem terbesar bangsa ini adalah daya jangkau yang luas dan banyak daerah
terpenci. Sesungguhnya kita tidak kekurangan SDM guru yang memiliki program
yang jelas. Program Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan (mestinya,
terbelakang), Terluar, dan Tertinggal (SM3T) merupakan salah satu terobosan
yang patut diapresiasi. Hanya dengan intervensi program yang kuat dan jelas,
kekurangan guru di daerah dapat diatasi dengan cepat. Energi lain yang sesungguhnya
dapat diberdayakan oelh pemerintah adalah para guru honorer yang hingga kini
belum tersentuh regulasi yang jelas. Padahal, apabila pemerintah menghendaki
mereka mungkin siap ditempatkan di pelosok wilayah Indonesia
dengan jaminan hidup atau diangkat menajdi guru kontrak daripada mereka menjadi
tenaga honorer di perkotaan dengan jaminan penghidupan yang tidak jelas.
Keterjangkauan
Keterjangkauan
nilai yang dimaksud adalah betapa sulitnya membangun sistem pendidikan yang
mengedepankan nilai-nilai edukasi. Pendidikan saat ini dapat dikatakan sudah
teralienasi oleh pola hidup hedonisme dan pragmatisme yang menghalalkan segala
cara. Bahkan, dunia pendidikan sudah jauh melenceng dari basis nilai yang
seharusnya menjadi akar penyangganya. Berbagai kasus demoralisasi dalam
kehidupan akademik di berbagai jenjang menunjukkan bahwa menegakkan nilai di
dunia akademik seperti menegakkan benang basah. Umumnya demoralisasi ini karena
masifnya perilaku “cepat saji” yang menjauhkan manusia Indonesia
dari apresiasi terhadap proses. Yang muncul kemudian adalah wajah-wajah
simbolis penuh topeng. Dekonstruksi gelar kesarjanaan sedang melanda negeri ini
karena permupakatan tak terpuji dari penggunan dan penyelenggara pendidikan.
Pendidikan
universal yang ditawarkan pemerintah tentu saja tidak sebatas menaikkan angka
tingginya pendidikan masyarakat Indonesia.
Angka itu seharusnya mencerminkan kualitas dan berimplikasi pada kemampuan
seseorang. Apabila angka-angka itu masih bersifat manipulatif atau pesanan
karena program politis, berapa pun tingginya jenjang pendidikan tidak akan
berpengaruh pada daya saing bangsa ini. Pada saat yang bersamaan, tentu saja
pemerintah harus melakukan dua hal secarasinergis, yaitu meningkatkan akses
masyarakat untuk memperoleh pendidikan lebih tinggi serta menertibkan berbagai
praktik tak terpuji yang jauh dari jangkauan nilai dalam dunia pendidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana komentar anda tentang artikel ini