Guru Bahasa Inggris di SMAN 3 kota Sukabumi
Artikel ini pernah dimuat di Rubrik Forum Guru
Koran Pikiran Rakyat, Selasa 13 Maret 2012
Rintisan Sekolah
Bertaraf Internasional (RSBI) dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) adalah
amanat Undang-undang. Keberadaannya mutlak terselenggara. Jika kemudian pada
prosesnya terganjal kendala, serumit apa pun itu harus terselesaikan. Beberapa
waktu lalu muncul desakan kepada pemerintah terkait dengan status RSBI. Bahkan,
usulan sampai di Mahkamah Konstitusi untuk mengkaji kembali Undang-undang
Sisdiknas terutama Pasal 50 ayat 3 yang menjadi dasar pembentukan RSBI/SBI.
Kontroversi
seputar RSBI sudah lama muncul, bahkan saat wacana itu diluncurkan. Kontroversi
terkait dengan indikasi ketidakadilan dalam pelayanan pendidikan, adanya
katalisasi, pendidikan komersial, dan lain-lain. Pasal 5 Ayat (1)UU No. 20/2003
berbunyi,”Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh
pendidikan yang bermutu”, yang didukung dengan pasal 11 ayat (1) yang
berbunyi,”Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan pelayanan dan
kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan bermutu bagi setiap warga
negara tanpa diskriminasi.” Secara jelas, UU itu memberikan ketenangan kepada
warga bahwa pendidikan bermutu dan berprinsip keadilan sudah terjamin, terlepas
dari status RSBI/SBI atau bukan karena UU mengikat semua. Lalu, mengapa wacana
ketidakadilan kemudian muncul?
Bermula dari
pasal 50 ayat 3 UU sisdiknas yang berbunyi,”Pemerintah dan atau pemerintah
daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua
jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf
Internasional”. Pasal itu secara substansi tidak membawa masalah. Bahkan,
terkandung pesan bahwa setiap daerah harus mengejar ketertinggalan pendidikan
secara umum dengan membuka komunikasi global
bertaraf Internasional.
Namun, yang
terjadi kemudian justru sebaliknya. Harapan yang ingin dicapai oleh pemerintah
terganjal kendala yangcukup kompleks. Munculnya tendensi kastalisasi pendidikan
di manna pemerintah sangat memperhatikan sekolah bergelar RSBI/SBI dan
cenderung mengabaikan yang lain. Pada satu kesempatan Mendikbud menyebutkan
bahwa semua diperuntukkan bagi para pelajar dengan predikat kecerdasan sangat
istimewa.
Kendala lain
muncul dari dalam sekolah dengan gelar RSBI/SBI sendiri. Pemberian gelar RSBI
tidak seutuhnya diiringi dengan kesiapan internal untuk menyambut mimpi meraih
jenjang istimewa itu. Ketika sekolah siap bahkan terbiasa menerima siswa
istimewa, ternyata tidak serta merta diiringi dengan penyaringan untuk
mendapatkan para guru yang juga istimewa. Ketika sistem begitu apik mengatur
siswa yang masuk, tidak demikian halnya untuk para guru. Harapan agar siswa
istimewa bisa melesat dalam prestasi karena mereka mendapatkan fasilitas
istimewa tidak diimnbangi dengan kualitas pengajarnya.
Ada
tuntutan agar pemerintah daerah yang berperan dalam penyelenggaraan RSBI berani
meninjau lebih jauh ke dalam tubuh sekolah RSBI. Mereka harus berani mengajak
bicara atas nama kemajuan dan tanggung jawab moral untuk masa depan bangsa.
Ketegasan seperti ini mutlak dibutuhkan jika RSBI benar-benar
ingin mencapai sebagaimana yang diharapkan UU. Jika tidak, RSBI hanya akan
menjadi symbol katalisasi dan komersialisasi pendidikan yangbermakna sekolah
“Bertaraf” Internasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana komentar anda tentang artikel ini