Psikiatris Bisang Psikosomatik Medis
Artikel ini pernah dimuat di rubrik Opini
Koran Pikiran Rakyat
Seperti
tahun-tahun sebelumnya, kehebohan menjelang dan saat Ujian Nasional (UN) sudah
bisa diprediksi. Kehebohan ini kadang lebih banyak dipicu oleh para individu
yang sebenarnya juga menyadari makna UN itu sendiri. Awalnya ide UN kalau tidak
salah dilntarkan oleh mantan Wapres Jusuf Kalla agar ada standarisasi dalam
kelulusan buat para siswa. Sebenarnya tidak ada yang aneh atau masalah dalam
hal ini. Namun, ketika UN menjadi satu-satunya penentu kelulusan siswa, mulai ada
cerita-cerita dramatis terkait UN. Bahkan beberapa tahun yang lalu sampai ada
siswa membakar sekolahnya sendiri akibat tidak lulus UN. Hal ini karena tidak
lulus UN banyak membuat siswa bernasib buruk tidak mampu melanjutkan pendidikan
karena belum bisa lulus sekolah. Bahkan, untuk siswa SMU, ada siswa pintar yang
sudah diterima di perguruan tinggi negeri batal diterima karena UN-nya tidak
lulus. Itu hanya sebagian kecil cerita dramatis nan menyedihkan terkait UN>
Kemudian syarat
UN sebagai satu-satunya syarat kelulusan diubah. UN masih tetap mempunyai porsi
dalam kelulusan namun ujian akhir sekolah dan nilai ujian rata-rata harian juga
diperhitungkan. Hal ini tentunya untuk mengurangi masalah dramatis akibat UN
yang bisa kembali terjadi.
Namun, lihat apa
yang terjadi hari ini? Saya terus terang merasa aneh karena begitu banyaknya
berita terkait UN yang agak sedikit berlebihan bahkan ada beberapa yang mulai
mengarah kepada ritus yang sebenarnya bisa diterima di kalangan akademisi yang
menjunjung nilai keilmuan.
Pertama adalah
beritabahwa soal UN yang akan dibagikansampai dijaga ketat oleh polisi
bersenjata api. Saya jadi berpikir memangnya yang dijaga apa? Kenapa ada kesan
“angker” yang ditampilkan. Apakah arus dijaga oleh polisi bersenjata api?
Apakah bapak-bapak yang berhubungan dengan UN mengetahui bahwa kebocoran soal
UN lebih banyak ketika berada di sekolah samapai ada joki-joki UN yang mengisi
soal itu terlebih dahulu dan para siswa menunggu jawaban dari si joki itu?
Lalu kedua
adalah berita tentang banyaknya gerakan doa bersama dalam menyambut UN.
Tentunya berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa tidaklah salah. Sesuatu yang sangat
wajar dilakukan oleh kita semua sebagai umatnya. Namun ketika doa itu kemudian
dilanjutkan dengan dengan adanya kegiatan “ritual” membasuh kaki guru dengan
air kembang seperti yang ditayangkan salah satu TV swasta apakah ada
relevansinya? Lalu ketika si siswa diberikan air mineral yang sudah
dijampi-jampi dan pensil-pensil 2B yang sudah kalimat doa apa ada hubungannya
dengan kesuksesan UN?
Kita belajardari
sejak kecil bahwa kita memang perlu untuk bekerja keras dan berdoa, ora et labora adalah hal yang sudah kita
dengar sejaak kecil. Kerja keras tanpa didukung doa adalah hambar, tetapi doa
tanpa kerja keras juga adalah kesia-siaan. Ketika menghadapi masalah-masalah
dalam khidupan, kita akan cenderng berusaha beradaptasi dengan masalah-masalah
itu dengan cara-cara yang telah kita pelajari dari pengalaman-pengalamankita.
Bisa dibayangkan
kalau anak-anak yangsedang dalam masa tumbuh kembang ini mendapatkan pelajaran
bahwa dalam menghadapi masalah yang penting adalah melakukan ritus-ritus yang
tidak ada hubungannya dengan usaha dan kerja keras untuk menghadapi masalah
itu. Jangan salahkan kalau anak-anak ini nantinya akan cenderung menjadi manusia-manusia
yang percaya takhayul, lebih percaya ritus-ritus bisa membantu daripada kerja
keras dan izin Tuhan Yang Maha Esa.
Kita sebagai
yang sudah lebih paham harusnya juga mengerti tentang hal ini. Media juga perlu
menyaring dengan baik berita-berita terkait UN yang ditayangkan. Saya lebih
suka berita tentang seorang siswa cacat tidak punya tangan dan harus
mengerjakan UN dengan kakinya daripada berita siswa meminum air mineral hasil
jampi-jampi dan berharap nanti semuanya akan beda hasilnya buat dia tanpa
belajar. Saya mengerti ada beberapa ritus yang mampu membuat seseorang menjadi
lebih percaya diri, tetapi apakah itu yang ingin kita tanamkan kepada anak-anak
kita? Jangan heran kalau masih akan ada “ponari-ponari” lain di masa yang akan
datang kalau kita masih berpikir seperti sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana komentar anda tentang artikel ini