Guru bahasa Arab di MA Al-Huda Ciparay Kabupaten Bandung
Artikel ini pernah dimuat di rubrik Forum Guru
Koran Pikiran Rakyat, Selasa 20 Maret 2012
Ujian Nasional
(UN) 2012 tidak lama lagi akan segera dilaksanakan. Tanggal 16-19 April
mendatang siswa SMA dan yang sederajat akan terlebih dulu menghadapi UN.
Setelah itu pada tanggal 23-26 April akan dilaksanakan UN untuk SMP. Selanjutnya,
tanggal 8-10 Mei akan dilaksanakan UN SD. Sebagaimana UN sebelumnya, UN tahun
ini masih juga memberikan efek psikologis yang sama bagi siswa, guru, dan juga
orangtua siswa sehingga pelaksanaannya tetap menjadi polemic di masyarakat.
Kendati format
penilaian kelulusan sudah berubah karena menyertakan 40 persen nilai sekolah,
UN masih menjadi momok menakutkan bagi banyak siswa, guru, dan orangtua. Enam
puluh persen nilai UN masih dinilai terlalu dominant sehingga menjadikan siswa
merasa tidak aman dengan kelulusannya. Ketakutan terhadap ketidaklulusan ini
pada akhirnya memberi andil besar atas terjadinya sikap tidak jujur saat
menjalankan UN. Masih segar dalam ingatan kita pada tahun lalu terjadi kasus
menyontek missal yang terjadi di salah satu SD di Surabaya. Hal itu semata-mata
terjadi karena ketakutan pihak sekolah dan siswanya seandainya tidak lulus UN.
Hal serupa sangat mungkin terjaditahun ini dengan alas an ketakutan yang sama.
Jika ita berani
jjur, ketidajujuran saat menghadapi UN memang sudah terjadi secara missal. Dari
siswa, sekolah, sampai pejabat pendidikan daerah banyak melakukan
ketidakjujuran itu. Ketakutan terhadap UN sepertinya telah mengubah banyak
orang kehilangan rasa kejujurannya. Banyak siswa yang diketahui memanfaatkan
joki UN dengan membeli kunci jawaban dengan harga yang sangat mahal, meskipun
jawabannya belum tentu benar. Sudah banyak siswa yang tertipu joki gadungan,
tetapi tetap saja karena takut tidak lulus UN mereka masih saja mencari joki
saat menghadapi UN.
Tak jauh beda
dengan siswanya, oknum guru-guru sekolah pun kerap melakukan ketidakjujuran
yang sama. Tim sukses UN yang dibentuk sekolah sering kali menjadi tim pembocor
soal dan jawaban bagi siswanya. Ketidakjujuran itu melanggeng seperti biasa
karena terbungkus alasan membantu siswa. Sebaliknya, jika mereka tidak
melakukan pembocoran itu mereka merasa mengorbankan siswanya.
Setali tiga
uang, oknum pejabat pendidikan daerah ikut-ikutan tidak jujur. Dengan alasan
menjaga nama baik daerah agar tidak dikenal sebagai daerah bodoh karena banyak
siswanya yang tidak lulus UN, oknum pejabat pendidikan daerah pun banyak
melakukan kecurangan. Sayangnya, tindakan ini pun seolah menjadi hal lumrah
bahkan berkesan menjadi tindakan heroik bagi daerahnya.
Jika kita
memahami hakikat UN ini sebagai alat untuk mengevaluasi kualitas pendidikan
kita, sekaligus sebagai motivator agar seluruh perangkat pendidikan selalu
bekerja keras untuk terus meningkatkan kualitas pendidikan nasional, tidak
seharusnya UN ini disikapi dengan ketidakjujuran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana komentar anda tentang artikel ini