Guru SMPN 1 Cangkuang Kabupaten Bandung
Artikel ini pernah dimuat di rubrik Forum Guru
Koran Pikiran Rakyat, Selasa 24 April 2012
Belakangan ini
dunia pendidikan kita disibukkan dengan Ujian Nasional (UN). Terlepas dari pro
dan kontra penyelenggaraannya, mudah-mudahan anak-anak kita terselamatkan dari
“hantu” yang menakutkan. Paling tidak, mereka merasa nyaman apa pun yang
terjadi. Sebab, kehidupan masih panjang. Hidup ini tidak ditentukan oleh lulus
tidaknya ujian, yang hanya mengandalkan beberapa mata pelajaran. Kehidupan yang
hakiki adalah bagaimana kita bisa menghadapi hidup ini dengan lapang dada.
Celakanya, dunia
pendidikan kita terjebakdengan sebuah “nilai”. Nilai besar sering diidentikkan
dengan keberhasilan dan gengsi. Akhirnya segala cara dilakukan. Lalu, masih
perlukah UN dilaksanakan? Mari kita berselencar apa yang terjadi di hadapan
kita, ketika media begitu gamblang menginformasikan “kejanggalan”
penyelenggaraan. Bagaimana anak-anak kita mempunyai jawaban “sakti” padahal
ujian belum dimulai. Atau kasak-kusuk tangan-tangan yang tidak bertanggungjawab
demi keselamatan institusi! Mari kita bertanya kepada nurani, sudah sejauh mana
kita memberikan cawan “kejujuran” kepada anak-anak? Atau malah kita sendiri
menumpahkan “nila” yang akhirnya negeri ini menjadi sarang penyamun?
Saying, disaat
yang sama ketika ada yang memberikan solusi terbaik harus “teramptasi” oleh
kebijakan yang membabi buta. Bagaimana komunitas “air mata guru” dikucilkan
dari lingkungannya akibat membongka kecurangan, misalnya. Bahkan dengan bahasa
yang apik pihak sekolah menyediakan surat
pernyataan, agar pengawas atau panitia UN tidak membocorkan apa pun yang
terjadi di lapangan.
Rasanya nurani
kita (harus) tergadaikan! Bagaimana seluruh civitas
sekolah berada pada kondisi, bagai makan buah simalakama, dimakan ibu mati, tak
dimakan ayah mati.
Penulis terkesan
dengan tulisan M. Izza Ahsan, anak kelas tiga SMP yang nekat keluar tatkala
akan ujian. Dengan apik dia menuliskan, sindrom sekolah mengalir ke seluruh
peredaran darah dan menekan otakku. Merampok kebahagiaanku. Aku semakin
tidakbetah di sekolah. Ditambah lagi dengan keberadaan guru penghancur mental.
Guru yang mempermalukan murid di depan umum. Guru yang tidak mempergunakan
jangka sebagai alat mengajar, melainkan asebagai alat menghajar. Guru yang
membuat kelas jadi sesunyi kuburan dengan dalih menciptakan suasana kondusif.
Sekolah seperti
memenjarakan dan hanya mengotori otakku, menghambat impianku. Sekolah itu
seperti susah payah menimba air dari dalam sumur, lalu mengguyurnya ke tempat
semula. Sebagai remaja yang ingin terus belajar dalam arti sebenarnya, aku
tidak ingin tersesat di sekolah. Akhirnya aku memutuskan keluar dari sekolah
formal dan menciptakan sekolahku sendiri. Aku memilih melawan arus; membebaskan
diri sepenuhnya, tetapi juga mendapat tantangan berat dari luar. Yaitu, dari
orang-orang yang menganggap anak yang tidak ingin sekolah, tetapi ingin belajar
adalah lelucon; sedangkan anak yang sekolah, tetapi tidak belajar adalah biasa
(Dunia Tanpa Sekolah, Read-Mizan). Tampaknya dunia pendidikan kita harus
belajar kepada Izza, sehingga nurani kita tidak tergadaikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana komentar anda tentang artikel ini