Guru IPS di SMKN 14 Bandung
Artikel ini pernah dimuat di rubrik Forum Guru
Pikiran Rakyat, Sabtu 7 April 2012
Bagaimana kita
memahami fenomena pembelajaran instant yang disuguhkan berbagai macam lembaga
bimbingan-bimbingan belajar pada anak-anak kita?
Melihat begitu
ketatnya persaingan antara siswa kelas VI, IX, dan XII menjelang Ujian Nasional dan SNMPTN membuat para orang tuua murid
menempuh berbagai cara untuk mendapatkan nilai yang baik. Menjamurnya bimbingan
belajar selama ini bagaikan lahan bisnis yang baru untuk beberapa pihak.
Pemahaman dan konsep mendidik Tut Wuri Handayani seakan tidak berlaku lagi.
Konsep pembelajaran di bimbingan belajar seperti prses produksi yang menuntut
suatu hasil optimum pada jangka waktu yang singkat, tanpa menekankan pada
bagaimana pemahamandan pendalaman teori yang dipergunakan.
Apakah sekolah
sebagai lembaga pendidikan formal bertanggung jawab dengan semakin ramainya
para siswa masuk di lembaga-lembaga pendidikan nonformal seperti bimbingan
belajar? Apakah indikasi ini menunjukkan bahwa sekolah tidak memfasilitasi
metode-metode pembelajaran yangcepat dan mudah diadaptasi oleh para siswanya?
Jika alokasi
waktu yang sempit di sekolah sebagai alas an utama para guru dalam menyampaikan
materi, lembaga-lembaga bimbingan belajar bisa dianggap sebagai jalan keluar
bagi siswa yang ingin lebih mendalami berbagai jenis soal beserta pemecahannya.
Selama inni sswa di lembaga belajar sebagian besar waktunya dihabiskan untuk
mengerjakan berbagai bentuk latihan soal dengan berbagai bentuk latihansoal
dengan berbagai cara pendekatan pengerjaan soal yang cepat dan singkat. Di
samping itu, pengenalan rumus-rumus yang lebih mudah penerapannya membuat siswa
tertantang untuk lebih cepat dalam pengenalan soal.
Hal ini menjadi
pemicu utama menjamurnya lembaga bimbingan belajar. Bagi orang awam, mungkin
itulah yang selama ini dicari karena kemampuan mengerjakan soal lebih cepat dan
benar menjadi target utama untuk mendapatkan nilai yang baik.
Cara belajar
yang instant itu sebatas pada cara menghafalmateri dan mengerjakancoal dengan
benar sehingga sebagian besar penilaian pun terpaut pada kedua hal tersebut
tanpa kita ketahui proses belajarnya. Dengan begitu, ada mata rantai yang
hilang yang menyebabkan proses belajar menjadi arena penilaian berupa “angka”
tanpa melihat bagaimana angka itu didapatkan.
Sementara
“mental pembelajar” yang kita harapkanada pada para siswa sebagai motivator
utama dalam mengeksplorasi dan mengembangkan daya juang serta cita-citanya,
tidak terasah dengan baik. Oleh sebab itu, banyak siswa yang ahli dalam
mengerjakan soal, tetapi tidak mempunyai mental untuk mempelajari dan
menganalisis materi secara mendalam. Hal itu menyebabkan tumpulnya kemampuan
berpikir kritis.
Sudah saatnya
lembaga bimbingan belajar kembali kepada arti harfiahnya “bimbingan belajar”.
Artinya, bagaimana melakukan bimbingan cara-cara belajar yang baik melalui
pendekatan yang berbeda pada setiap individunya sehingga dapat maksimal dalam
mengembangkan potensi siswa, sekaligus menjadikan lembaga-lembaga itu sebagai
lembaga konsultasi dalam pemecahan kesulitan belajar dan penyaluran berbagai
macam potensi.
Pada akhirnya,
orang tua dan gurulah yang harus berperan aktif dalam memberikan bimbingan dan
arahan yang sesuai dengan bakat dan potensi anak. Kesiapan mental pembelajar
harus ditanamkan sejak dini karena pembelajaran yang instant hanya bertahan
pada pembentukan mental berkompetisi. Padahal, pendidikan adalah proses panjang
dan bertahap yang membutuhkan individu-individu yang mampu menganalisis,
berpikir kritis, berwawasan, dan berkarakter.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana komentar anda tentang artikel ini