Guru di Pontren Modern Assurur, Pameungpeuk Bandung
Artikel ini pernah dimuat di rubrik Forum Guru
Koran Pikiran Rakyat, Sabtu 10 Maret 2012
Isu plagiarisme
sedang menyita perhatian publik. Terlebih setelah pemberitaan yang menimpa
salah satu PTN sering muncul ke media. Berita itu ditanggapi beragam oleh
masyarakat. Respon masyarakat yang sebagian besar berupa kritik wajar terjadi.
Sebabnya, dalam dunia akademik. Akan tetapi, sikap objektif dan kritis harus
tetap dikedepankan.
Plagiarisme
selalu dipersepsikan sebagai penjiplakan yang fatal. Paling tidak, sebagian
besar masyarakat kita berkeyakinan seperti itu. Dengan demikian, sang pelaku
harus diberi sanksi yang tegas dan berat. Misalnya penurunan pangkat,
pencabutan gelar, bahkan pemecatan. Keyakinan itu tidak salah, tetapi tidak
sepenuhnya benar.
Definisi
plagiarisme telah banyak dikemukakan para ahli. Nevile (2010) dalam The Complete Guide Referencing and Voiding
Plagiarism mendefinisikan plagiarisme sebagai tindakan mengambil ide atau
tulisan orang lain tanpa menyebutkan rujukan dan diklaim sebagai miliknya. Oleh
karena itu, penulisan kutipan dan sumber menjadi indikator utama untuk
menentukan seseorang melakukan plagiat atau tidak.
Pada praktiknya,
plagiarisme dibedakan menjadi beberapa kategori. Sastroasmoro (2007)
mengategorikan berdasarkan, pertama, aspek yang dijjiplak. Plagiarisme jenis
ini dibagi empat kategori, plagiarisme ide, isi, tulisan, dan plagiarisme
total. Dari keempat kategori ini, kategori terakhirlah yang dianggap paling
berat.
Kedua,
berdasarkan proporsi yang dijiplak. Plagiarisme jenis ini dibedakandalam tiga
kategori, plagiarisme ringan (,30 persen), sedang (30 persen-70persen), dan
berat (.70 persen). Ada anggapan,
jumlah kutipan menjadi penentu baik tidaknya suatu karya ilmiah. Semakin banyak
kutipan, semakin baik. Padahal, jika jumllahnya tidak wajar bisa dianggap
plagiat. Idealnya, proporsi ide atau gagasan penulis harus lebih dominant.
Ketiga,
berdasarkan pola plagiarisme. Plagiarisme jenis ini dibedakan menjadi dua
kategori, yaitu plagiarisme kata demi kata (word for word) dan plagiarisme
mozaik (menggabungkan ide orisinil dengan ide orang lain). Yang paling sering
dilakukan dengan menyelipkan atau menggabungkan tulisan orang lain menjadi
tulisan yang baru. Penulis pun tidak menyebutkan sumbernya sehingga seolah-olah
tulisan itu miliknya.
Keempat,
berdasarkan kesengajaan. Plagiarisme jenis ini diklasifikasikan menjadi dua
kategori, yaitu plagiarisme yang disengaja dan yang tidak disengaja. Kategori
kedua kerap terjadi dan menyebabkan seseorang dianggap plagiat. Misalnya,
penulis lupa menuliskan sumber pada daftar pustaka. Padahal, di bagian isi,
pengutipannya sudah benar. Walaupun terkesan remeh. Kelalaian ini bisa
berakibat fatal. Hal ini pula yang terjadi pada salah satu dosen yang saat ini
santer diberitakan karena diindikasikan melakukan plagiat (“PR”, 8/3/2012).
Kategorisasi ini
menegaskan bahwa setiap kasus plagiarisme tidak bisa disakompetdaunkeun. Tentu saja, sanksinya pun akan berbeda
tergantung dari kategori plagiarisme yang dilakukan. Dalam prinsip keadilan,
tidak benar jika pelanggaran ringan dan pelanggaran berat diberi sanksi yang
sama. Apalagi, jika pelanggaran itu lebih karena faktor kelalaian bukan
kesengajaan. Perlakuannya pun akan jauh berbeda. Diharapkan melalui pemahaman
ini, kita bisa lebih objektif dan kritis dalam menyikapi setiap kasus
plagiarisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana komentar anda tentang artikel ini