Guru Bahasa Indonesia SMP Satya Dharma Sudjana Terusan Nunyai, Lampung Tengah, Lampung
Artikel ini pernah dimuat di rubrik Forum Guru
Koran Pikiran Rakyat, Selasa 27 Maret 2012
Jargon
“Menjangkau Mereka yang tak Terjangkau” sepertinya belum sepenuhnya menjangkau
mereka yang tak terjangkau. Ada
satu hal yang luput dari perhatianpemerintah, yaitu menjangkau mereka yang tak
terjangkau melalui buku pelajaran.
Tahun 2012 ini,
kementrian pendidikan dan kebudayaan (Kemendikbud) mengampanyekan jargon
barunya yang cukup menarik, yaitu “Menjangkau Mereka yang tak Terjangkau”.
Melalui jargon itu, Kemendikbud berusaha lebih memperhatikan dan meningkatkan
pelayanan pendidikan bagi anak-anak yang jauh dari jangkauan pendidikan,
misalnya mereka yang tinggal di daerah terpencil dan daerah perbatasan.
Namun, jargon
ini hanya mencakup kewilayahan sehingga jargon “tak terjangkau” bukan hanya
“tak terjangkau” secara kewilayahan, tetapi juga secara sosial-ekonomi. Dengan
demikian, semua lapisan masyarakat di negeri ini bisa memperoleh hak
pendidikan.
Untuk
melaksanakan program ini, pemerintah pun menyiapkan beberapa langkah,
diantaranya kebijakan keberpihakan terhadap mereka, membangun sekolah baru atau
memperbaiki yang sudah ada, dan menyediakan subsidi pendidikan. Langkah-langkah
itu diharapkan mampu menghapus kesenjangan pendidikan.
Namun, jargon
itu sepertinya belum sepenuhnya menjangkau mereka yang tak terjangkau. Ada
satu hal yang luput dari perhatian pemerintah, yaitu menjangkau mereka yang tak
terjangkau melalui buku pelajaran. Bila kita mencermati buku-buku pelajaran
yang dipegang anak didik maupun guru saat ini, setidaknyaada dua permasalahan
yang cukup menarik untuk dicermati. Pertama, berkaitan dengan gambar-gambar
yang digunakan sebagai ilustrasi materi pelajaran. Kedua, berkaitan dengan
nama-nama tokoh yang digunakan dalam materi pelajaran tertentu.
Bila diteliti,
hamper semua gambar di buku pelajaran saat ini selalu menggambarkan keadaan
wilayah yang “terjangkau” dengan pendidikan. Dengan kata lain, mayoritas gambar
diambbildari wilayah Indonesia
bagian barat. Sulit ditemui gamabar yang mengilustrasikan sebuah materi
pelajaran yang diambil atau bertema wilayah yang “tak terjangkau”, misalnya
wilayah-wilayah perbatasan terpencil ataudari wilayah timur Indonesia.
Permasalahan
berikutnya berkaitan dengan nama-nama tokoh dalam buku pelajaran. Buku
pelajaran saat ini cenderung menampilkan nama tokoh yang condong ke arah
wilayah yang “terjangkau” atau yang lebih sering ditemukan di masyarakat kota
di bagian barat Indonesia.
Padahal, banyak sekali nama tokoh yang bisa diambil dari wilayah di negeri ini
yang lebih bisa mewakili mereka yang “tak terjangkau” ataupun yang
“terjangkau”.
Kedua,
permasalahan ini sepertinya sepele. Namun, bila kita berpikir secara kritis dan
komprehensif dengan mengedepankan sikap toleransidan jiwa nasionalisme yang
tinggi, hal ini tidak patut diteruskan. Jargon itu juga harus diimplementasikan
dalam bentuk buku pelajaran yang lebih nasionalis dan “menjangkau”.
Gambar-gambar dan nama-nama tokoh yang digunakan sebagai ilustrasi materi di
buku pelajaran harus bisa menampilkan dan mewakili kondisi dan sosok anak didik
yang berada di semua wilayah di negeri ini, tak terkeculali dari wilayah mereka
yang tak terjangkau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana komentar anda tentang artikel ini