Guru Besar Kopertis Wilayah IV
Wakil Ketua Bidang Akademik STKIP Pasundan
Artikel ini pernah dimuat di rubrik Opini
Koran Pikiran Rakyat
Wacana
multikulturalisme untuk konteks pendidikan di Indonesia
mulai mengemuka ketika sistem otoriter-militeristis tumbang dengan jatuhnya
rezim Soeharto. Saat itu timbul konflik antarsuku, antargolongan yang
menimbulkan anomaly ddi sebagian masyarakat. Hal tersebut disebabkan oleh ketidakpuasan
anggota masyarakat dalam hal berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh
pemerintah, terutama dalam aspek kehidupan ipoleksosbudhankamag (ideology,
politik, sosial-budaya, pertahanan keamanan, dan agama).
Pendidikan multikultural
(multicultural education) merupakan
respons terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan
persamaan hak bagi setiap kelompok. Ini sejalan dengan UUD 1945 Pasal 31 (1)
bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran. Dalam dimensi lain,
pendidikan multikultural seperti dijelaskan oleh Hilliard (1992) merupakan
pengembangan kurikulum dan aktivitas pendidikan untuk memasuki berbagai
pandangan, sejarah, prestasi, dan perhatian terhadap orang-orang non-eropa.
Sementara secara luas, pendidikan multikultural itu mencakup seluruh siswa
tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnik, ras, budaya,
strata sosial, dan agama.
Pendidikan multikultural
berawal dari berkembangnya gagasan dan kesadaran tentang multikulturalisme. Ini
terkait dengan perkembangan politik dan sosial. Multikulturalisme adalah salah
satu konsep yang bisa menjawab tantangan perubahan zaman dengan alasan
multikulturalisme merupakan ideologi yang mengagungkan perbedaan atau suatu
keyakinan yang mengakui dan mendorong terwujudnya pluralisme budaya sebagai
wujud kehidupan masyarakat.
Pendidikan multikultural
bertujuan mewujudkan pendidikan yang bersifat antirasis yang memperhatikan
keterampilan-keterampilan dan pengetahuan dasar bagi warga masyarakat.
JA Banks (1985)
mendeskripsikan pendidikan multikkultural dalam empat fase yang pertama, ada
upaya untuk mempersatukan kajian-kajian etnis pada setiap kurikulum. Kedua, hal
ini diikuti oelh pendidikan multietnis sebagai usaha untuk menerapkan persamaan
pendidikanmelalui reformasi keseluruhan sistem pendidikan. Ketiga,
kelompok-kelompok marginal mulai menuntut perubahan-perubahan mendasar dalam
fase pendidikan. Fase keempat, perkembangan teori, riset, dan praktik, perhatian
pada hubungan antarras, kelamin, dan kelas telah menghasilkan tujuan bersama
bagi kebanyakan teoretiku, jika bukan praktisi dari pendidikan multikultural.
Harapannya,
dengan implementasi pendidikan yang berwawasan multikulturalisme dapat
membantusiswa mengerti, menerima, menghargai orang lain yang berbeda suku,
budaya, dan nilai-nilai kepribadian. Lewat penanaman semangat multikulturalisme
di sekolah-sekolah akan menjadi media pelatihan dan penyadaran bagi generasi
muda untuk menerima perbedaan budaya, ras, etnis, dan kebutuhan di antara
sesame dan mau hidup bersama secara damai.
Ide pendidikan
multicultural akhirnya menjadi komitmen global sebagai direkomendasikan UNESCO
pada Oktober 1954 di Jenewa, antara lain: pertama, pendidikan hendaknya
mengembangkan kemampuan untuk mengakui dan menerima nilai-nilai yang ada dalam
kebhinekaan pribadi, jenis kelamin, masyarakat, dan budaya serta mengembangkan
untuk berkomunikasi, dan berbagi, bekerja samadengan orang lain. Kedua,
pendidikan meneguhkan jati diri dan mendorong konvergensi gagasan dan
penyelesaian yang memperkokoh perdamaian, persaudaraan, solidaritas
antarpribadi dan masyarakat. Ketiga, pendidikan hendaknya meningkatkan
kemampuan menyelesaikan konflik secara damai tanpa kekerasan.
Oleh karena itu,
pendidikan hendaknya juga meningkatkan pengembangan kedamaian dalam diri
pikiran peserta didik sehingga mereka mampu membangun secara kokoh kualitas
toleransi, kesabaran, kemampuan untuk berbagi dan memelihara di antara
sesamanya.
Pendidikan
multicultural sebagai wacana baru dapat diterima tidak hanya melalui pendidikan
formal, kehidupan masyarakat, ataupun dalam keluarga. Dalam pendidikan formal,
pendidikan multicultural ini dapat diintegrasikan melalui kurikulum mulai
pendidikan anak usia dini, SD, SMP, SMA sampai perguruan tinggi.
Untuk mewujudkan
gagasan ini hars didasarkan pada konsep ketakwaan dan iman, keberadaban,
kesopanan, toleransi, kemandirian, bebas dari paksaan, kekerasan, ancaman,
keadilan sosial, dan persamaan hak dalam konsep dan praktik pendidikan. Juga
dalam proses pembelajaran menghargai keberagaman etnis dan perbedaan, persamaan
hak, toleransi dan sikap terbuk. Mengembangkan kompetensi untuk mampu mandiri
dan mampu mengatur diri sendiri tanpa campur tangan pihak lain, bebas dari
ancaman dan paksaan. Semoga!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana komentar anda tentang artikel ini