Guru Bahasa Indonesia di Sekolah Madani, Parung-Bogor
Artikel ini pernah dimuat di rubrik Forum Guru
Koran Pikiran Rakyat, Senin 2 April 2012
Tingkat konsumsi
masyarakat Indonesia
berada pada tataran yang akut. Negeri uang menurut sensus Badan Pusat Statistik
tahun 2010 penduduknya mencapai 237 juta jiwa ini hanya menjelma bukan sebagai
produsen, tetapi malah menjadi pasar yang empuk bagi negera lain. Berdasarkan
data dari AC Nielsen yang disampaikan Ketua Indonesian Islamic Business Forum, Heppy
Tranggono, Indonesia
berpredikat sebagai negara terkonsumtif kedua di dunia setelah singapura. Akan
tetapi, Singapura masih jauh lebih baik karena nilai ekspornya lebih tinggi
dari Indonesia.
Pada satu sisi,
kondisi tersebut menunjukkan bahwa daya beli masyarakat kita sudah berada di
tingkat yang baik. Bahkan tidak menurun di tengah gejolak kenaikan harga bahan
bakar minyak ini. Namun, apakah kenyataannya benar demikian? Apakah tingginya
tingkat konsumsi itu bukan karena kita masih miskin kreativitas untuk
memproduksi? Lemahnya daya produksi kita ini sangat dikhawatirkan Bung Karno
puluhan tahun lalu. Ia menyatakan bahwa bangsa ini akan menjadi bangsa kuli dan
kuli di antara bangsa-bangsa.
Untungnya,
sebuah oase muncul di tengah gurun konsumerisme saat ini. Kita gembira dengan
kreativitas pelajar di sekolah kejuruan si Solo yang meluncurkan mobil Kiat
Esemka atau Esemka Rajawali.
Inilah bentuk
belajar yang nyata. Siswa mendapatkan teori, memahami, lalu mengejawantahkannya
menjadi wujud yang tak lagi imajinatif. Hal ini pula yang membuat pemahaman
terhadap ilmu-ilmu yang mereka dapatkan menjadi abadi. Bentuk belajar seperti
itu sangat bermakna karena pembelajaran menurut Ki Hajar Dewantara bukan hanya
membobotkan diri pada sisi daya cipta (kognitif) dan daya karya (konatif).
Belajar harus
membuat siswa mampu mengenal dirinya dan memahami realitas dunianya. Realitas
dunia yang mereka hadapi di negeri ini sekarang adalah 8,12 juta orang
menganggur. Karenanya, siswa harus diajak memahami keadaan itu kemudian mencari
solusinya. Salah satu jalan keluar untuk mengurangi pengangguran sekaligus
mengikis budaya konsumtif adalah dengan cara mengoptimalkan daya karsa siswa
melalui kegiatan produksi yang dimulai di sekolah.
Sekolah harus
menjadi pelopor dan titik balik dari konsumtif menjadi produktif. Adapun
kegiatan berproduksi ini tak hanya monopoli sekolah kejuruan, tetapi juga harus
menjadi bagian dari kegiatan pembelajaran di sekolah menengah umum. Bila ada
anggapan ihwal apa yang bisa diperbuat siswa SMA dalam proses produksi bila
belajarnya hanya teori dan menyelesaikan soal, jawabannya silakan lihat buku
rapor bayangan siswa yang setelah pelaksanaan Ujian Tengah Semester (UTS) ini
dibagikan.
Kita akan
melihat kolom nilai prakikum, siswa juga mendapatkan penugasan berupa proyek.
Nah, kegiatan praktikum dan proyek inilah yang bisa dijadikan modal awal untuk
berproduksi. Siswa jurusan IPA bisa membuat produk yang berkaitan dengan ilmu
sainsnya. Siswa IPS bisa mempraktikan kegiatan ekonominya, dan siswa jurusan
bahasa bisa menulis untuk kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku.
Janganlah kita
terlalu dininabobokan oleh kemudahan mendapatkan berbagai barang kebutuhan
sehari-hari. Jangan pula ada yang beranggapan, berproduksi itu bukan tugas
negara kita.
Intinya,
berhentilah makan sebelum engkau kenyang. Begitu kata Rasulullah saw. Artinya,
pola hidup konsumtif yang berlebihan itu tidak sesuai dengan ajaran agama,
melainkan juga tidak sehat untuk kehidupan bernegara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana komentar anda tentang artikel ini