Guru di SLB Negeri Banjar (CPNS Provinsi Jabar)
Artikel ini pernah dimuat di rubrik Forum Guru
Koran Pikiran Rakyat, Jumat 9 Maret 2012
Agak miris
memang mendengar pemberitaan tentang plagiarisme yang terjadi di perguruan tinggi, bahkan ketua Sosiasi
Perguruan Tinggi Swasta (Aptisi) pun menduga kasus serupa terjadi di semua
perguruan tinggi (Pikiran Rakyat, 4/3/2012).
Menyoal plagiarisme yang terjadi di perguruan tinggi, penulis tidaklah menutup
mata itu memang terjadi, tetapi jika plagiasme itu dianggap “merupakan bagian
dari budaya (kultur) perguruan tinggi kita yang sangat kental” (Forum Guru “PR”, 8/3/2012). Agak terlalu berlebihan.
Jika budaya
diartikan sebagai kultur atau kebiasaan saja, itu pun sudah cukup menyakitkan.
Apalagi, jika budaya diartikan pola atau gaya
hidup, tentu ini lebih menyakitkan. Penulis beranggapan jangan sampai hanya
karena beberapa kasus lagiarisme yang terjadi di perguruan tinggi, lantas
dijadikan sebuah pembenaran untuk menyebutnya sebagai budaya.
Apalagi,
baru-baru ini salah satu calon guru besar Universitas Pendidikan Indonesia
(UPI), Dr. B Lena Nuryanti Sastradinata mengklarifikasi tudingan plagiat
karyatulis ilmiah yang dibuatnya, hal itu semata karena keteledoran dalam
mencantumkan daftar pustaka karena harus memangkas halaman (Pikiran Rakyat, 8/3/2012). Ini
membuktikan, yang terjadi bukanlah sebuah budaya, mungkin saja karena keteledoran
atau karena kurang pahamnya aturan main dalam pembuatan karya tulis ilmiah.
Sekali lagi
penulis ungkapkan, jika plagiarisme di perguruan tinggi memang terjadi, itu
hanya sebagian kecil atau sering disebut oknum mahasiswa. Sebagai contoh, jika
kita menemukan adal polisi di jalan meminta atau menerima sejumlah uang sogokan
dari pengendara yang melanggar, apakah kita langsung mengatakan itu budaya
polisi? Atau oknum polisi? Atau jika ada guru yang memaksa menjual lembar kerja
siswa kepada musridnya, padahal ada larangan, lantas kita mengatakan itu memang
budaya guru sekarang atau itu hanya oknum guru?
Penulis kira
itu hanya oknum, bukan sebuah budaya. Kita memang hanrus menyayangkan jika ada
oknum mahasiswa yang melakukan plagiarisme di perguruan tinggi, dan mulai
plagiat skripsi, tesis, bahkan disertasi sekalipun.
Akan tetapi,
janganlah kita mengatakan itu sebuah budaya, masih teramat banyak mhasiswa yang
mencurahkan kemampuannya untuk membuat sebuah karya tulis ilmiah dalam
menghasilkan inovasi bagi kemajuan pendidikan dan kemajuan bangsa.
Penulis harus
tegaskan, plagiarisme yang terjadi di perguruan tinggi sekarang bukanlah
budaya, melainkan musibah pendidikan yang dilakukan oleh oknum-oknum pelaku
pendidikan, yang harus segera kita perbaiki.
Semoga musibah
pendidikan yang sekarang sedang terjadi, dapat menjadi introspeksi di semua
lini pendidikan yang berujung pada budaya pendidikan Indonesia
yang baik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana komentar anda tentang artikel ini