Penulis Lepas
Artikel ini pernah dimuat di rubrik Opini
Koran Pikiran Rakyat, Sabtu 14 April 2012
Warga yang
bermukim di pulau Jawa, termasuk Jawa Barat, mesti mewaspadai kemungkinan
terjadinya gempa setelah gempa bumi berkekuatan 8,8 skala Richter mengguncang
Aceh, Rabu (11/4). Meski belum bisa diketahui efeknya, Kamis (12/4) lalu, telah
terjadi pula gempa di Lampung dan Cianjur (Pikiran
Rakyat, Jumat, 13 April 2012).
Pertanyaannya,
bagaiman kita harus menyikapinya? Sebagai sebuah negara yang berada di antara
tiga lempeng bumi yaitu Lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia, dan Lempeng
Pasifik, Indonesia memang menjadi salah satu kawasan yang sangat rawan gempa
bumi. Indonesia
bahkan disebut-sebut sebagai salah satu negara yang memiliki titik gempa bumi
paling banyakdi dunia. Berulang kali sejumlah kawasan di negara kita pun
diguncang gempa bumi.
Gempa sendiri
bisa terjadi antara lain karena (1) proses tektonik akibat pergerakan lempeng
bumi, (2) aktivitas sesar di permukaan bumi dan (3) aktivitas gunung bumi.
Sejauh ini, tercatat beberapa gempa bumi besar yang pernah melanda Indonesia.
Misalnya saja, gempa bumi Sumatra yang berkekuatan 7,9
skala Richter yang mengguncang Padang-Pariaman, tahun 2009 silam. Gempa ini
menyebabkan sedikitnya 1.100 orang tewas dan ribuan luka-luka karena
terperangkap dalam reruntuhan bangunan.
Ditahun yang sama,
gempa bumi dahsyat berkekuatan 7,3 skala Richter menggoyang dan
memorak-porandakan sebagian besar kawasan Jawa Barat bagian selatan. Korban
jiwa maupun luka-luka berjatuhan. Berbagai infrastruktur dan fasilitas publik
mengalami kerusakan.
Dengan menyadari
keberadaan negara kita yang berada di antara tiga lempeng bumi sebagaimana
disebutkan di muka, mestinya penduduk negeri ini harus selalu siap—fisik maupun
psikis—menghadapi setiap kemungkinan terjadinya gempa bumi. Akan tetapi,
dibandingkan penduduk sejumlah negeri lain yang juga berada di kawasan rawan
gempa bumi, seperti Jepang, Rumania, Turki, maupun Selandia Baru, misalnya,
kebanyakan penduduk negeri ini tampaknya senantiasa masih selalu kurang sial
dalam menghadapi kemungkinan terjadinya gempa bumi.
Hal ini terjadi
karena masih meinimnya pendidikan kesiap-siagaan menghadapi bencana alam yang
diperuntukkan untuk anak-anak sekolah maupun yang diperuntukkan bagi masyarakat
umum secara luas. Ujung-ujungnya bisa ditebak, penduduk kita pun tidak banyak mengetahui
cara bertindak yang tepat saat terjadi bencana alam. Padahal, memiliki
pengetahuan yangmumpuni ihwal kesiapsiagaan menghadapi bencana alam sangat
penting untuk mengurangi risiko yang lebih buruk ketika terjadinya bencana
alam.
Contohnya,
tatkala gempa mengguncang Aceh, Rabu (11/4) lalu, banyak warrga yang masih sama
sekali tidak mengetahui cara evakuasi yang benar. Hal ini diperparah dengan
ketidaksiapan aparat memandu warga. Akibatnya, kepanikan dan hysteria missal
memuncak yang menyebabkan kekacauan dan keruwetan pada saat dan setelah gempa
berlangsung.
Kurikulum Kehidupan
Dalam konteks
pendidikan di sekolah, sementara kalangan menilai bahwa kurikulum pendidikan
kita minim berorientasi kepada kehidupan. Padahal, justru kurikulum pendidikan
yang berorientasi pada kehidupanlah yang sebaiknya lebih banyak diajarkan di
sekolah-sekolah kita.
Dengan memahami
bahwa negeri ini sebagian besar wilayahnya berada dalam kawasan rawan gempa
bumi, sudah selayaknya pendidikan gempa bumi menjadi pelajaran yang perlu lebih
banyak diajarkan sebagai bagian dari kesiapsiagaan menghadapi bencana alam.
Sebagai mata
pelajaran yang berorientasi pada kehidupan nyata, pendidikan gempa bumi
idealnya bisa diajarkan mulai dari tingkat pendidikan dasar hingga tingkat
pendidika menengah di sekolah-sekolah kita. Tentu saja, tidakharus membuat mata
pelajaran baru bagi pendidikan gempa bumi di sekolah. Pendidikan gempa bumi
dapat diberikan lewat mata pelajaran yang sudah ada, misalnya mata pelajaran
geografi.
Di negara-negara
lain, pendidikan gempa bumi juga tidak diberikan sebagai pelajaran yang berdiri
sendiri, melainkan diintegrasikan dengan pelajaran lain. Sebagai contoh, di
Jepang pelajaran ini diajarkan dalam pelajaran geosains (Chigaku). Sementara di Selandia Baru, pelajaran ini diajarkan
dalam peajaran geografi. Fokus utama pendidikan gempa bumi di sekolah adalah
untuk mengetahui dan memahami dasar-dasar ilmu gempa bumi (seismologi) berikut
segala fenomena yang berkaitan dengannya. Selain itu, untuk mengetahui dan
memahami berbagai dampak gempa bumi bagi kehidupan manusia.
Di samping
diajarkan untuk anak-anak sekolah, pendidikan gempa bumi sebaiknya diberikan
pula bagi kalangan masyarakat masyarakat umum secara berkala, khususnya bagi
mereka yang bertempat tinggal di kawasan-kawasan rawan gempa bumi. Dalam
konteks ini, agaknya kita bisa berkaca pada langkah pemerintah Rumania.
Menyusul gempa bumi yang terjadi di kawasan Vrancea tahun 1990 lalu, pemerintah
Rumania secara
berinisiatif meluncurkan program nasional pendidikan gempa bumi bagi publik
secara berkala. Untuk menunjang program ini, pemerintah Rumania menerbitkan
buku panduan praktis gempa bumi untuk para orangtua, anak-anak, para guru, staf
sekolah dan berbagai kategori profesi lainnya serta masyarakat luas yang berada
di daerah-daerah rawan gempa bumi.
Dengan adanya
pendidikan gempa bumi kepada para siswadan masyarakat umum lainnya ini
diharapkan semakin banyak warga negeri yang kian paham bagaimana belajar hidup
dan bertahan hidup di kawasan yang rawan gempa bumi, maupun bertindak rasional
dan efisien sebelum dan ketika terjadi gempa bumi, mampu mencegah bencana/
petaka lebih jauh tatkala gempa bumi berlangsung dan mampu bekerja samaserta
mengambil langkah tepat bagi proses pemulihan setelah gempa bumi terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana komentar anda tentang artikel ini