Guru SD Negeri Mekarwangi 1 Kec. Argapura, Kab. Majalengka
Artikel ini pernah dimuat di rubrik Forum Guru
Koran Pikiran Rakyat, Kamis 8 Maret 2012
Diduga kasus
plagiarisme bukan cuma terjadi di perguruan tinggi yang disebutkan dalam surat
Dikti. Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia
(Aptisi) Jawa Barat Didi Turmudzi menduga kasus-kasus serupa terjadi di semua
perguruan tinggi, bukan hanya terjadi pada kandidat guru besar, melainkan juga
di kalangan akademisi lain (Pikiran
Rakyat, 4/3/12).
Fenomena
plagiarisme di perguruan tinggi bukan saja “memamerkan” kebobrokan ruang
akademisi kita, sekaligus sebagai potret buram rendahnya kejujuran seorang
intelektual dalam tataran akademik. Terlepas, plagiarisme di pandang sebagai
aksi criminal di dunia akademik, saya menilai plagiarisme merupakan bagian dari
budaya (kultur) perguruan tinggi (PT) kita yang sangat kental.
Eksistensi
budaya plagiarisme di PT bermula dari ketidakmampuan mahasiswa dalam menuangkan
gagasan secara tertulis. Kondisi tersebut dipicu pula oleh rendahnya
keterampilan membaca. Dan realita ini, lahirlah budaya instan yang memalukan,
plagiarisme!
Penulis besar
adalah pembaca besar. Dengan kata lain, sebuah keniscayaan jika seorang penulis
besar bukan pembaca besar. Oleh sebab itu, harap maklum jika plagiarisme di PT
merupakan kultur tak terbantahkan. Argumentasi ini bukan sekadar isapan jempol
semata, mari kita mencermati seberapa banyak koleksi buku yang dimiliki
mahasiswa bahkan dosen PT di negeri ini.
Jika kita jujur,
koleksi buki referensi yang dimiliki setiap mahasiswa S-1, S-2, atau S-3 masih
dikatakan belum sepadan dengan tingkat intelektual mereka. Padahal, koleksi
buku merupakan salah satu bentuk fiksi dari intelektualitas akademik seseorang.
Dengan demikian,
tak mengherankan jika hingga detik ini, budaya menulis skripsi, tesis,
disertasi, atau menjadi kandidat guru besar masih dianggap beban dalam penyelesaian
studi/jabatan di perguruan tinggi. Karya tulis ilmiah sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar kesarjanaan atau kenaikan jabatan di PT akhirnya menjadi momok
bagi kalangan akademik. Sebagai jalan pintas dalam mengatasi persoalankemampuan
menulis yang sangat rendah, banyak kalangan akademik akhirnya melakukan plagiat
atau memesan karya tulis kepada orang lain (ghost
writer).
Merebaknya
persoalan plagiarisme di perguruan tinggi setidaknya menyadarkan ingatan kita
bahwa PT dengan segala atribut keilmuwan dan keilmiahannya mestinya senantiasa
menjadikan karya tulis sebagai suatu kewajaran atau keharusan, tidak menjadikan
tabu dan dianggap menghambat. Justru, tanpa aktivitas karya tulis, sebuah PT
akan kehilangan esensi dan jati diri. Dengan demikian, kasus plagiarisme di PT
merupakan tamparan keras (baca:ngisinkeun!)
bagi seluruh akademisi (dosen dan mahasiswa) PT yang bersangkutan, tanpa
kecuali.
Karya tulis yang
berasal dari penelitian merupakaan kegiatan dalamupaya menghasilkan pengetahuan
empirik, konsep, metodologi, atau informasi baru yang dapat memperkaya ilmu
pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian. Demikian pasal 3 ayat (3)
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (USPN) menandaskan. Itulah sebabya,
karya tulis atau kenaikan jabatan jangan sampai ternodai oleh budaya
plagiarisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana komentar anda tentang artikel ini