Guru SD Islam
Terpadu Bina Muda Cicalengka dan MA Quwatul Iman, Pacet Kabupaten Bandung
Artikel ini pernah dimuat di rubrik Forum Guru
Koran Pikiran Rakyat, Kamis 5 April 2012
Dunia pendidikan kita masih menjadikan prestasi
akademik sebagai emas berharga yang
menjadi tujuan akhir dari setiap proses pembelajaran di sekolah. Para
guru menjejali siswanya dengan muatan-muatan akademik yang diakhiri oleh
tes-tes standar dengan harapan meraih nilai tinggi. Nilai ini berupa
angka-angka yang kemudian dijadikan hakim untuk menentukan keberhasilan atau
kegagalan belajar siswa.
Orang tua pun
senang data nilai sembilan untuk matematika, fisik, kimia dan biologi berderet
menghiasi kolom rapor sang anak. Tetapi tidak kecewa dengan nilai enam untuk
musik, kesenian, dan olah raga. Pemerintah tidak mau kalah, olimpiade-olimpiade
pun digelar sebagai media untuk mempertontonkan kehebatan siswa.
Ujung-ujungnya, anak dipaksa bergelut hidup mati dengan soal-soal ujian sekolah
dan Ujian Nasional.
Prestasi
akademik memandang tujuan pendidikan semata-mata untuk mendukung, mendorong,
dan memfasilitasi siswa meraih nilai tertinggi dan nilai standar, terutama
pelajaran-pelajaran yang termasuk bagian inti kurikulum. Akibatnya, kita
digiring pada paradigma yang memisahkan antara pelajaran penting dan tidak
penting. Pemisahan ini seolah menganak-emaskan pelajaran tertentu dan
menganak-tirikan pelajaran yang lain.
Prestasi akademik
cenderung pada kurikulum akademik yang ketat, seragam dan wajib bagi semua
siswa. Ini menyiratkan bahwa persyaratan akademik dibuat lebih berat daripada
sebelumnya. Situasi seperti ini menuntut siswa menerima pelajaran yang makin
lama makin sulit, mendengarkan penjelasan guru lebih lama, belajar lebih keras,
dan mengerjakan pekerjaan rumah lebih banyak daripada yang mereka alami
sebelumnya. Semua ini diyakinisebagai cara belajar hebat untuk meningkatkan
prestasi akademik. Dampak negatifnya, ini akan mendorong proses pembelajaran
hanya untuk mempersiapkan menghadapi ujian.
Pengutamaan
prestasi akademik selalu bersifat membandingkan dengan penilaian normative. Ini
mengacu pada proses membandingkan kinerja akademik siswa dalam tes standar
dengan siswa lain. Konsekuensinya, muncul dikotomi siswa pintar dan siswa
bodoh, siswa cepat dan siswa lambat dengan tingkat persaingan yang tajam
diantara mereka. Biasanya, siswa pintar-cepat akan mendapat perlakuan khusus
dan istimewa dari gurunya, tetapi tidak demikian dengan siswa yang
bodoh-lambat.
Jika merujuk
pada perkembangan manusia seutuhnya, semestinya kita menggunakan penilaian
“ipsatif” sebagai tolok ukurnya. Ipsatif berarti “dari diri”. Dalam konteks
penilaian pendidikan, berarti membandingkan kinerja siswa masa kini dengan
kinerja sebelumnya, bukan membandingkan dengan kinerja siswa yang lain. Dengan
demikian, kita bisa melihat kemajuan siswa secara alami. Ini memungkinkan siswa
untuk bersaing dan berkompetisi dengan dirinya sendiri dari waktu ke waktu,
demi kemajuan yang lebih baik dari hari ke hari.
Seharusnya kita
menyadari, pendidikan bukanlah semata-mata bertujuan untuk meraih prestasi
akademik setinggi-tingginya dengan mengabaikan fitrah dan potensi kemausiaan
siswa. Pendidikan harus menjadi media petualangan siswauntuk menemukan hakikat
diri, potensi kecerdasan, keunikan, minat dan bakatnya agar mereka siap dan
berani menghadapi realitas hidup dengan segala problematikanya.
Sangat Bermanfaat
BalasHapusBantu Share
Sangat membantu menambah wawasan
BalasHapus