Rabu, 25 April 2012

Autokritik untuk RSBI dan SBI

Oleh : Anang
          Guru Bahasa Inggris di SMAN 3 kota Sukabumi
          Artikel ini pernah dimuat di Rubrik Forum Guru
          Koran Pikiran Rakyat, Selasa 13 Maret 2012


Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) adalah amanat Undang-undang. Keberadaannya mutlak terselenggara. Jika kemudian pada prosesnya terganjal kendala, serumit apa pun itu harus terselesaikan. Beberapa waktu lalu muncul desakan kepada pemerintah terkait dengan status RSBI. Bahkan, usulan sampai di Mahkamah Konstitusi untuk mengkaji kembali Undang-undang Sisdiknas terutama Pasal 50 ayat 3 yang menjadi dasar pembentukan RSBI/SBI.
Kontroversi seputar RSBI sudah lama muncul, bahkan saat wacana itu diluncurkan. Kontroversi terkait dengan indikasi ketidakadilan dalam pelayanan pendidikan, adanya katalisasi, pendidikan komersial, dan lain-lain. Pasal 5 Ayat (1)UU No. 20/2003 berbunyi,”Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”, yang didukung dengan pasal 11 ayat (1) yang berbunyi,”Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan pelayanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.” Secara jelas, UU itu memberikan ketenangan kepada warga bahwa pendidikan bermutu dan berprinsip keadilan sudah terjamin, terlepas dari status RSBI/SBI atau bukan karena UU mengikat semua. Lalu, mengapa wacana ketidakadilan kemudian muncul?
Bermula dari pasal 50 ayat 3 UU sisdiknas yang berbunyi,”Pemerintah dan atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf Internasional”. Pasal itu secara substansi tidak membawa masalah. Bahkan, terkandung pesan bahwa setiap daerah harus mengejar ketertinggalan pendidikan secara umum dengan membuka komunikasi  global bertaraf Internasional.
Namun, yang terjadi kemudian justru sebaliknya. Harapan yang ingin dicapai oleh pemerintah terganjal kendala yangcukup kompleks. Munculnya tendensi kastalisasi pendidikan di manna pemerintah sangat memperhatikan sekolah bergelar RSBI/SBI dan cenderung mengabaikan yang lain. Pada satu kesempatan Mendikbud menyebutkan bahwa semua diperuntukkan bagi para pelajar dengan predikat kecerdasan sangat istimewa.
Kendala lain muncul dari dalam sekolah dengan gelar RSBI/SBI sendiri. Pemberian gelar RSBI tidak seutuhnya diiringi dengan kesiapan internal untuk menyambut mimpi meraih jenjang istimewa itu. Ketika sekolah siap bahkan terbiasa menerima siswa istimewa, ternyata tidak serta merta diiringi dengan penyaringan untuk mendapatkan para guru yang juga istimewa. Ketika sistem begitu apik mengatur siswa yang masuk, tidak demikian halnya untuk para guru. Harapan agar siswa istimewa bisa melesat dalam prestasi karena mereka mendapatkan fasilitas istimewa tidak diimnbangi dengan kualitas pengajarnya.
Ada tuntutan agar pemerintah daerah yang berperan dalam penyelenggaraan RSBI berani meninjau lebih jauh ke dalam tubuh sekolah RSBI. Mereka harus berani mengajak bicara atas nama kemajuan dan tanggung jawab moral untuk masa depan bangsa.
Ketegasan seperti ini mutlak dibutuhkan jika RSBI benar-benar ingin mencapai sebagaimana yang diharapkan UU. Jika tidak, RSBI hanya akan menjadi symbol katalisasi dan komersialisasi pendidikan yangbermakna sekolah “Bertaraf” Internasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana komentar anda tentang artikel ini