Selasa, 17 April 2012

Ujian (Kejujuran) Nasional

Oleh : Yayan Suparman
          Guru bahasa Arab di MA Al-Huda Ciparay Kabupaten Bandung
          Artikel ini pernah dimuat di rubrik Forum Guru
          Koran Pikiran Rakyat, Selasa 20 Maret 2012


Ujian Nasional (UN) 2012 tidak lama lagi akan segera dilaksanakan. Tanggal 16-19 April mendatang siswa SMA dan yang sederajat akan terlebih dulu menghadapi UN. Setelah itu pada tanggal 23-26 April akan dilaksanakan UN untuk SMP. Selanjutnya, tanggal 8-10 Mei akan dilaksanakan UN SD. Sebagaimana UN sebelumnya, UN tahun ini masih juga memberikan efek psikologis yang sama bagi siswa, guru, dan juga orangtua siswa sehingga pelaksanaannya tetap menjadi polemic di masyarakat.
Kendati format penilaian kelulusan sudah berubah karena menyertakan 40 persen nilai sekolah, UN masih menjadi momok menakutkan bagi banyak siswa, guru, dan orangtua. Enam puluh persen nilai UN masih dinilai terlalu dominant sehingga menjadikan siswa merasa tidak aman dengan kelulusannya. Ketakutan terhadap ketidaklulusan ini pada akhirnya memberi andil besar atas terjadinya sikap tidak jujur saat menjalankan UN. Masih segar dalam ingatan kita pada tahun lalu terjadi kasus menyontek missal yang terjadi di salah satu SD di Surabaya. Hal itu semata-mata terjadi karena ketakutan pihak sekolah dan siswanya seandainya tidak lulus UN. Hal serupa sangat mungkin terjaditahun ini dengan alas an ketakutan yang sama.
Jika ita berani jjur, ketidajujuran saat menghadapi UN memang sudah terjadi secara missal. Dari siswa, sekolah, sampai pejabat pendidikan daerah banyak melakukan ketidakjujuran itu. Ketakutan terhadap UN sepertinya telah mengubah banyak orang kehilangan rasa kejujurannya. Banyak siswa yang diketahui memanfaatkan joki UN dengan membeli kunci jawaban dengan harga yang sangat mahal, meskipun jawabannya belum tentu benar. Sudah banyak siswa yang tertipu joki gadungan, tetapi tetap saja karena takut tidak lulus UN mereka masih saja mencari joki saat menghadapi UN.
Tak jauh beda dengan siswanya, oknum guru-guru sekolah pun kerap melakukan ketidakjujuran yang sama. Tim sukses UN yang dibentuk sekolah sering kali menjadi tim pembocor soal dan jawaban bagi siswanya. Ketidakjujuran itu melanggeng seperti biasa karena terbungkus alasan membantu siswa. Sebaliknya, jika mereka tidak melakukan pembocoran itu mereka merasa mengorbankan siswanya.
Setali tiga uang, oknum pejabat pendidikan daerah ikut-ikutan tidak jujur. Dengan alasan menjaga nama baik daerah agar tidak dikenal sebagai daerah bodoh karena banyak siswanya yang tidak lulus UN, oknum pejabat pendidikan daerah pun banyak melakukan kecurangan. Sayangnya, tindakan ini pun seolah menjadi hal lumrah bahkan berkesan menjadi tindakan heroik bagi daerahnya.
Jika kita memahami hakikat UN ini sebagai alat untuk mengevaluasi kualitas pendidikan kita, sekaligus sebagai motivator agar seluruh perangkat pendidikan selalu bekerja keras untuk terus meningkatkan kualitas pendidikan nasional, tidak seharusnya UN ini disikapi dengan ketidakjujuran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana komentar anda tentang artikel ini