Minggu, 15 April 2012

"Sedekah" Menjangkau Pendidikan

Oleh : Ahmad Setiyaji
          Wartawan Senior HU Pikiran Rakyat
          Artikel ini pernah dimuat di rubrik Opini
          Koran Pikiran Rakyat


Ada kekeliruan pola pikir di sebagian masyarakat mampu. Mereka memburu sekolah negeri yang notabene meraih subsidi dana dari pemerintah, sedangkan sekolah swasta seolah-olah “diberikan” kepada yang kurang mampu. Alhasil, ketidakterjangkauanlah yang muncul di kalangan kurang mampu.
Berdasarkan data Bagian Perencanaan dan Penganggaran Dasar Kemendikbud, jumlah siswa miskin mencapai 50 juta. Jumlah tersebut terdiri atas 27,7 juta siswa SD, 10 juta siswa SMP, dan 7 juta siswa SMA. Dari jumlah itu, sedikitnya ada 2,7 juta siswa SD dan 2 juta siswa SMP yang terancam putus sekolah.
Selain itu, kalangan kurang mampu sulit menjangkau lokasi pendidikan karena sarana transportasinya_jalan dan jembatan penghubungnya_rusak. Kendaraan angkutan umum pun sangat pun sangat terbatas. Banyak anak sekolah diperdesaan harus berjalan kaki cukup jauh untuk menjangkau lokasi pendidikan. Bahkan, banyak pula bangunan sekolah dan tenaga pengajar berikut sarana penunjang kegiatan belajar-mengajar (KBM) yang tak memadai. Realita inibukan hanya di perdesaa, tetapi juga di pinggiran perkotaan.
Kendala ketidakterjangkauan mengenyam pendidikan ini sesungguhnya urgen dan signifikan untuk dicarikan solusi. Pasalnya, berdasarkan laporan statistic World bank 2011 dan The Global Competitiveness Report 2010-2011 terungkap data, lama sekolah atau mengenyam pendidikan berkorelasi positif terhadap indeks pembangunan manusiaa (IPM) atau human development indeks (HDI). Jika kendala ketidakterjangkauan mengennyam pendidikan tidak segera dicarikan solusi, IPM bangsa Indonesia akan terus melorot dan negative.
Meskipun begitu, penggunaan istilah “bantuan” pemerintah perlu dicermati, seperti BOS (Bantuan Operasional Sekolah), BSM (Bantuan Siswa Miskin) yang konon mencapai Rp 5,9 trilliun, bantuanruang kelas baru, bantuan pembangunan sarana pondokpesantren dan gedung perguruan tinggi Islam, bantuan khusus murid, bantuan tunjangan para pendidik, dan sejenisnya. Soalnya, istilah “bantuan” terkesan rakyat berharap belas kasih pemerintah, padahal itu kewajiban pemerintah sesuai dengan UUD’45.

“Sedekah” sebagai solusi
Tujuan pendidikan Nasional adlah terwujudnya manusia seutuhnya yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa (YNE). Untuk itulah, proses pendidikan diarahkan pada terkondisikannya manusia selalu dekatdengan-Nya. Nah, konsep “sedekah”_dalam arti sesungguhnya maupun artikulasi singkatan_tampaknya bisa dijadikansolusi atas berbagai kendala ketidakterjangkauan yang muncul dalam dunia pendidikan. Ya, bangsa Indonesia perlu mengubah pola pikirnya dengan menjadikan “sedekah” atau selalu dekat kepada Allah” sebagai orientasi utama hidupnya. Jika “sedekah” mendasari perilakunya, tak perlu lagi ada waskat atau pengawasan melekat.
Perbuatannya tidak antagonisme atau menjauhkan diri dari Allah, seperti korupsi dana pendidikan, gois dalam mengenyam pendidikan_misalnya memburu sekolah negeri padahal dirinya mampu sekolah di swasta_, enggan membantupenyelenggaraan pendidikan, menyontek, membuat karya tulis plagiat, tak bertanggung jawab dalam KBM, dan sejenisnya.
Sebaliknya, guru akan berorientasi sedekah ilmu ketika menyampaikan materi pelajaran kepada siswa sehingga output-nya keikhlasan mengajar, nyaman, dan lancarnya KBM, serta dimudahkan siswa menerima materi pelajaran. Siswa dan orangtua pun ikhlas sedekah waktu dan dan dana tatkala mengikuti KBM. Karyawan sekolah dan seluruh perangkat pendidikan juga harus sedekah waktu, sedekah pikiran, dan “sedekah” (selalu dekat kepada Allah) orientasi kehidupannya. Seandainya itu terwujud, dipastikan cita-cita mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya yang cerdas dapat menjadikenyataan.
Model konsep “sedekah” ini pernah penulis jumpai di SMAN 1 Cibinong, yang jarak tempuhnya ssekitar empat jam dari kota cianjur. Sekolah yang dipimpin Drs Toto Suharya, Mpd ini, sukses menerapkan sedekah_rereongan sarumpi_diantara siswanya sehingga muncullah program Kakak Asuh, budaya Sedekah Ilmu, dan dinding bangunan sekolahnya pun diwarnai aneka motto keajaiban sedekah. Lokasi sekolah yang siswa, guru, dan karyawannya berorientasi hidup “sedekah”_selalu dekat kepada Allah_itu, berhadapan dengan pemakaman umum.
Seandainya konsep “sedekah” ini kian memasyarakat, tampaknya harapan Mendikbud Moh. Nuh dan Irjen Kemendikbud, Haryono Umar tentang perlunyamewujudkan dunia pendidikan yang bersih dari korupsi dapat direalisasikan. Dengan begitu, kita bisa menyukseskaan program pendidikan antikorupsi serta kebijakan audit terhadap manajemen dan anggaran di sektor pendidikan.
Tak hanya itu, kita bisa ubah citra buruk dunia pendidikan sebagaimana yang disampaikan Indonesia Corruption Watch (ICW) bahwa selama 12 tahun terakhir, terungkap 233 kasus korupsi di dunia pendidikan. Modus penyimpangan anggaran (8 kasus, kerugian negara Rp 98,3 miliar), mark up (33 kasus, kerugian negara Rp 70,2 miliar), kegiatan fiktif (18 kasus, kerugian negara Rp 15 miliar) serta pemerasan dan pungli (kerugian negara Rp 500 juta). Konsep “sedekah” ini sangat prospektif dan menjangkau kesuksesan pendidikan nasional. Perilaku guru dan anak didik selalu dekat kepada Allah berupa selalu snyum, sapa, dalam, sopan, santun. Bila sakit atau sehat, senang atau sedih, itu diyakini pada hakikatnya menjangkau ikhtiar dekat kepada Allah. Eksistensi guru pun benar-benar digugu dan ditiru karena selalu dekat kepada Allah. Mereka “sembunyikan egoisnya dekat kepada Allah” atau “sedekah”, yang notabene bermakna menjangkau keikhlasan dalam KBM.
Ya, termasuk ikhlas tatkala mengikuti Program sarjana Mendidik (PSM) yang menjangkau anak didik di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal. Juga, ikhlas menjangkau hak-hak mengenyam pendidikan yang dimiliki anak didik yang memiliki keterbatasan kemampuan pancaindra. Swasta pun dituntut ikhlas “bersedekah” melalui program CSR (corporate social responsibility) ke dunia pendidikan. Sungguh, konsep “sedekah” ini relevan dengan harapan Mendikbud yang mengharapkan kerja sama berbagai pihak demi tercapainya tujuan pendidikan Nasional. Mari, gotong royong menjangkau yang tak terjangkau dalam dunia pendidikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana komentar anda tentang artikel ini