Rabu, 25 April 2012

Menggagas Pendidikan Multikultural

Oleh : Endang Komara
          Guru Besar Kopertis Wilayah IV
          Wakil Ketua Bidang Akademik STKIP Pasundan
          Artikel ini pernah dimuat di rubrik Opini
          Koran Pikiran Rakyat
 

Wacana multikulturalisme untuk konteks pendidikan di Indonesia mulai mengemuka ketika sistem otoriter-militeristis tumbang dengan jatuhnya rezim Soeharto. Saat itu timbul konflik antarsuku, antargolongan yang menimbulkan anomaly ddi sebagian masyarakat. Hal tersebut disebabkan oleh ketidakpuasan anggota masyarakat dalam hal berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, terutama dalam aspek kehidupan ipoleksosbudhankamag (ideology, politik, sosial-budaya, pertahanan keamanan, dan agama).
Pendidikan multikultural (multicultural education) merupakan respons terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Ini sejalan dengan UUD 1945 Pasal 31 (1) bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran. Dalam dimensi lain, pendidikan multikultural seperti dijelaskan oleh Hilliard (1992) merupakan pengembangan kurikulum dan aktivitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi, dan perhatian terhadap orang-orang non-eropa. Sementara secara luas, pendidikan multikultural itu mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnik, ras, budaya, strata sosial, dan agama.
Pendidikan multikultural berawal dari berkembangnya gagasan dan kesadaran tentang multikulturalisme. Ini terkait dengan perkembangan politik dan sosial. Multikulturalisme adalah salah satu konsep yang bisa menjawab tantangan perubahan zaman dengan alasan multikulturalisme merupakan ideologi yang mengagungkan perbedaan atau suatu keyakinan yang mengakui dan mendorong terwujudnya pluralisme budaya sebagai wujud kehidupan masyarakat.
Pendidikan multikultural bertujuan mewujudkan pendidikan yang bersifat antirasis yang memperhatikan keterampilan-keterampilan dan pengetahuan dasar bagi warga masyarakat.
JA Banks (1985) mendeskripsikan pendidikan multikkultural dalam empat fase yang pertama, ada upaya untuk mempersatukan kajian-kajian etnis pada setiap kurikulum. Kedua, hal ini diikuti oelh pendidikan multietnis sebagai usaha untuk menerapkan persamaan pendidikanmelalui reformasi keseluruhan sistem pendidikan. Ketiga, kelompok-kelompok marginal mulai menuntut perubahan-perubahan mendasar dalam fase pendidikan. Fase keempat, perkembangan teori, riset, dan praktik, perhatian pada hubungan antarras, kelamin, dan kelas telah menghasilkan tujuan bersama bagi kebanyakan teoretiku, jika bukan praktisi dari pendidikan multikultural.
Harapannya, dengan implementasi pendidikan yang berwawasan multikulturalisme dapat membantusiswa mengerti, menerima, menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya, dan nilai-nilai kepribadian. Lewat penanaman semangat multikulturalisme di sekolah-sekolah akan menjadi media pelatihan dan penyadaran bagi generasi muda untuk menerima perbedaan budaya, ras, etnis, dan kebutuhan di antara sesame dan mau hidup bersama secara damai.
Ide pendidikan multicultural akhirnya menjadi komitmen global sebagai direkomendasikan UNESCO pada Oktober 1954 di Jenewa, antara lain: pertama, pendidikan hendaknya mengembangkan kemampuan untuk mengakui dan menerima nilai-nilai yang ada dalam kebhinekaan pribadi, jenis kelamin, masyarakat, dan budaya serta mengembangkan untuk berkomunikasi, dan berbagi, bekerja samadengan orang lain. Kedua, pendidikan meneguhkan jati diri dan mendorong konvergensi gagasan dan penyelesaian yang memperkokoh perdamaian, persaudaraan, solidaritas antarpribadi dan masyarakat. Ketiga, pendidikan hendaknya meningkatkan kemampuan menyelesaikan konflik secara damai tanpa kekerasan.
Oleh karena itu, pendidikan hendaknya juga meningkatkan pengembangan kedamaian dalam diri pikiran peserta didik sehingga mereka mampu membangun secara kokoh kualitas toleransi, kesabaran, kemampuan untuk berbagi dan memelihara di antara sesamanya.
Pendidikan multicultural sebagai wacana baru dapat diterima tidak hanya melalui pendidikan formal, kehidupan masyarakat, ataupun dalam keluarga. Dalam pendidikan formal, pendidikan multicultural ini dapat diintegrasikan melalui kurikulum mulai pendidikan anak usia dini, SD, SMP, SMA sampai perguruan tinggi.
Untuk mewujudkan gagasan ini hars didasarkan pada konsep ketakwaan dan iman, keberadaban, kesopanan, toleransi, kemandirian, bebas dari paksaan, kekerasan, ancaman, keadilan sosial, dan persamaan hak dalam konsep dan praktik pendidikan. Juga dalam proses pembelajaran menghargai keberagaman etnis dan perbedaan, persamaan hak, toleransi dan sikap terbuk. Mengembangkan kompetensi untuk mampu mandiri dan mampu mengatur diri sendiri tanpa campur tangan pihak lain, bebas dari ancaman dan paksaan. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana komentar anda tentang artikel ini