Minggu, 15 April 2012

Pendidikan Universal

Oleh :   Dadang Anshori
Penulis, Staf Pengajar Sekolah Pascasarjana
Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung
            Pengurus ICMI
            Artikel ini pernah dimuat di rubrik Opini
            Koran Pikiran Rakyat
 

Masalah yang masih relatif sulit diterjemahkan dalam pembangunan pendidikan Indonesia saat ini adalah masalah aksesibilitas dan keterjangkauan nilai. Rendahnya aksesibilitas pendidikan tampak dari rerata lama sekolah masyarakat Indonesia dan angka partisipasi kasar pada jenjang menengah dan tinggi. APK pada tingkat SD, sebagaimana dikemukakan Mendikbud pada Rembuk Pendidikan 2012, sudah mencapai 117% dan APM mencapai 98%. Artinya, hanya 2% lagi anak Indonesia yang belum mengenyam pendidikan SD. Sementara itu, secara nasional rerata APK SMA hanya mencapai 69,60% (2010). Demikian pula APK perguruan tinggi baru mencapai 26% (2010).
Angka ini tentu saja memberikan gambaran betapa banyak anak-anak Indonesia yang tidak dapat melanjutkan sekolah ke jenjang menengah. Masalah utamanya adalah kemampuan ekonomi, sekalipun ada pula unsur budaya di dalamnya. Kehidupan yang semakin mengimpit menyebabkan masyarakat harus berpikir ulang menyekolahkan anaknya ke jenjang lebih tinggi. Selain karena biaya pendidikan yang semakin tak terjangkau, keyakinan bahwa pendidikan sebagai investasi pun semakin sulit dibuktikan.
Data lain menunjukkan, rerata lama belajar masyarakat secara nasionalbaru mencapai 7,80 (2010) yang berarti masyarakat Indonesia baru mengenyam pendidikan jenjang SMP kelas VIII. Sementara itu, angka melek huruf nasional mencapai 92,95% (2010). Dua data terakhir ini menunjukkan anomaliyang sulit berterima apabila dikaitkan dengan tantangan dan persaingan global yang sedang kita hadapi. Di saat kita membutuhkan kondisi masyarakat yang kompetitif untuk memenangi persaingan, faktanya di negeri ini rerata pendidikan masyarakat hanya setaraf SMP kelas VI-II dan masih sekitar 7,15 persen masyarakat yang buta huruf. Dari sisi ini, kita sesungguhnya sebagai bangsa belum siap untuk menjadi pesaing bangsa-bangsa yang sudah dulu maju.
Apabila aspek pendidikan ini menjadi indicator raihanIndeks Pembangunan Manusia, pemerintah harus lebih keras bekerja dalam meningkatkan perluasan akses pendidikan sehingga semua anak usia sekolah harus dipastikan dapat mengenyam pendidikan. Prioritas membangun dan memperbaiki gedung sekolah yang rusak merupakan orientasi paling dekat, mengingat betuk fisik inilah yang pertama dapat kita saksikan. Secara kasat mata kita masih sangat prihatin dengan kondisi bangunan gedung-gedung sekolah karena kualitas bangunan yang tidak memadai bahkan hancur sebelum waktunya. Tidak kurang bangunan yang baru satu atau dua tahun ambruk karena kualitas bahan yang tidak memadai. Ikhtiar untuk menjaga kualitas bangunan sekolah menlalui hibah swakelola menjadi demikian penting, mengingat program tender saat ini hanya menjadikan bangunan sekolah sebagai proyek bancakan.
Dalam rangka aksesibilitas, pemerintah juga harus memastikan bahwa anak Indonesia memperoleh kesempatan berpendidikan ke jenjang lebih tinggi. Kenyataan ini hendak dijawab dengan program pendidikan daar 12 tahun yang diberi nama pendidikan universal. Program ini bukan hanya mendorong masyarakat untuk berpartisipasi lebih besar, tetapi juga mendudukkan tanggung jawab pemerintah dalam memberikan akses pendidikan kepada rakyatnya secara lebih serius. Oleh karena itu, perlu dilakukan beragam program penyadaran yang mendorong terlaksananya pendidikan universal ini.
Keterjangkauan akses ini juga berkait dengan kesiapan dan ketersediaantenaga guru di daerah. Problem terbesar bangsa ini adalah daya jangkau yang luas dan banyak daerah terpenci. Sesungguhnya kita tidak kekurangan SDM guru yang memiliki program yang jelas. Program Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan (mestinya, terbelakang), Terluar, dan Tertinggal (SM3T) merupakan salah satu terobosan yang patut diapresiasi. Hanya dengan intervensi program yang kuat dan jelas, kekurangan guru di daerah dapat diatasi dengan cepat. Energi lain yang sesungguhnya dapat diberdayakan oelh pemerintah adalah para guru honorer yang hingga kini belum tersentuh regulasi yang jelas. Padahal, apabila pemerintah menghendaki mereka mungkin siap ditempatkan di pelosok wilayah Indonesia dengan jaminan hidup atau diangkat menajdi guru kontrak daripada mereka menjadi tenaga honorer di perkotaan dengan jaminan penghidupan yang tidak jelas.

Keterjangkauan
Keterjangkauan nilai yang dimaksud adalah betapa sulitnya membangun sistem pendidikan yang mengedepankan nilai-nilai edukasi. Pendidikan saat ini dapat dikatakan sudah teralienasi oleh pola hidup hedonisme dan pragmatisme yang menghalalkan segala cara. Bahkan, dunia pendidikan sudah jauh melenceng dari basis nilai yang seharusnya menjadi akar penyangganya. Berbagai kasus demoralisasi dalam kehidupan akademik di berbagai jenjang menunjukkan bahwa menegakkan nilai di dunia akademik seperti menegakkan benang basah. Umumnya demoralisasi ini karena masifnya perilaku “cepat saji” yang menjauhkan manusia Indonesia dari apresiasi terhadap proses. Yang muncul kemudian adalah wajah-wajah simbolis penuh topeng. Dekonstruksi gelar kesarjanaan sedang melanda negeri ini karena permupakatan tak terpuji dari penggunan dan penyelenggara pendidikan.
Pendidikan universal yang ditawarkan pemerintah tentu saja tidak sebatas menaikkan angka tingginya pendidikan masyarakat Indonesia. Angka itu seharusnya mencerminkan kualitas dan berimplikasi pada kemampuan seseorang. Apabila angka-angka itu masih bersifat manipulatif atau pesanan karena program politis, berapa pun tingginya jenjang pendidikan tidak akan berpengaruh pada daya saing bangsa ini. Pada saat yang bersamaan, tentu saja pemerintah harus melakukan dua hal secarasinergis, yaitu meningkatkan akses masyarakat untuk memperoleh pendidikan lebih tinggi serta menertibkan berbagai praktik tak terpuji yang jauh dari jangkauan nilai dalam dunia pendidikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana komentar anda tentang artikel ini